Scroll Top

Di Tengah Kepala Tiga

Hidup laiknya perjalanan di tengah padang yang tak berujung, langkah demi langkah kita lewati di jalan yang terkadang lurus, sering kali berliku. Di awal perjalanan, kita melangkah dengan penuh semangat, mengejar mimpi-mimpi yang tampak megah di kejauhan. Sampai kemudian usia berlipat tanpa permisi dan karenanya perjalanan bukan hanya tentang mencapai tujuan. Ia membawa cerita bahwasanya langkah juga memberikan luka pengajaran, singgah dan diam yang juga memberikan arti, dan mereka yang hadir bersama nafas yang berjalan seiring. Seperti ranting yang patah tapi tetap bertunas, seperti kertas putih yang diisi dengan banyak sekali cerita, setiap usia mengandung makna, sampai nanti berakhir pada sirna.

Kini saya berada di tengah kepala tiga. Jika menggunakan angka matematika dari riwayat Sang Nabi Mulia, kini saya sudah berada di antara catu usia.

Serupa para pendaki gunung, sesekali saya melihat ke belakang, mengkhidmati tapak kaki kehidupan yang telah dipijak. Di sana, setiap tawa dan air mata bergantian mengisi catatan yang tak terucap, bertumpuk menjadi lembaran yang penuh warna dan rasa. Menengok ke depan, ada bayangan yang belum terbentuk. Rasa takut hadir bersama dengan segala beban yang dipikul oleh bahu yang dulu ringan. Namun, ada banyak sekali harapan dan kegembiraan dalam kekuatan yang tersembunyi di balik rasa takut itu. Pelajaran yang siap menyambut dan ruang untuk tumbuh dalam narasi kebijaksanaan menjadi pelengkap tanda tanya yang lambat laun harus segera saya genapi.

Menjadi tua tak pernah menjadi cita-cita. Kala muda, hidup hanyalah tentang merasakan kebebasan. Tentang berlari, mengejar mimpi, berputar-putar di dalam lingkaran yang tak pernah berhenti. Hidup adalah berjalan di atas jembatan gantung yang tipis, goyah, tapi menyenangkan. Tak pernah ada rasa takut untuk lelah, untuk kalah. Tapi, waktu punya caranya sendiri. Tua, ternyata, datang tanpa peringatan. Segala peran kini terakumulasi dalam satu badan. 

Saya, yang dulu hanya seorang anak kecil yang berlari tanpa peduli, kini harus menjelma menjadi seorang kepala di keluarga. Serupa batang pohon yang tetap harus berdiri tegar di tengah gaungnya petir yang menyambar. Sebagai ayah, saya harus menjadi pelangi, yang meski datang sebentar tapi memberikan hargapan dan kebahagiaan untuk anak-anak yang masih banyak berganti mimpi. Sebagai suami, saya harus menjadi nahkoda untuk membawa bahtera cinta ke tempat tujuan tanpa terjeda, berdua sampai nanti kami semakin tua dan sirna. Sebagai anak, saya harus menjadi lilin yang menjaga api doa orang tua agar selalu menyala, melepaskan cahaya meski meleleh perlahan sebelum nanti menjadi benar-benar padam. Sebagai adik, sebagai kakak, saya adalah benang dalam anyaman yang rapat, mengikat erat meski sering terjepit dalam simpul yang padat. Sebagai pekerja, saya laksana roda pada mesin yang terus berputar, menerobos ingar bingar yang dijejali caruk-maruk laku harian dan semakin besarnya tampuk tanggung jawab dalam setiap tahkta peran. Sebagai makhluk sosial, saya serupa ombak di pesisir pantai, yang enggan untuk tampak tapi tetap harus kuat dari riak-riak ombak yang, meski kecil, halus, tapi terus datang tak henti, memaksa saya untuk tegap berdiri di satu titik yang tak bisa saya hindari. Masing-masing peran berkelindan menjadi simpul yang tak bisa saya lepaskan. Serupa batu yang ditumpuk jadi satu di atas bahu, menambah beban di setiap langkah yang kian semakin pelan dengan kaki yang mulai merasa lelah. 

 

Pada satu titik, ketika langkah semakin berat, ada arti yang kian saya sadari dan mengerti. Bahwa hidup bukan hanya tentang menjadi pendaki tertinggi, bukan seberapa jauh puncak yang bisa kita jejak. Hidup menjadi lebih berarti untuk saya maknai ketika akhirnya saya bisa menyambut setiap ujian dengan satu titik senyuman, badai yang hebat tampak lebih bersahabat ketika saya mengajaknya berjabat erat. Ketika saya akhirnya lebih memilih untuk berserah sebagai pengganti kalah. Seperti air di sungai yang berjalan pelan untuk mencapai lautan melalui jalan-jalan yang tak terlihat. Ketika akhirnya jalan-jalan yang tak terlihat itu datang membersamai saya untuk menjalani hidup yang lebih menyenangkan. Jalan tak terlihat yang hadir atas nama ikhlas.

Setelahnya, kebahagiaan tak lagi berbentuk mimpi-mimpi yang megah, namun hadir di sela-sela diam yang indah—dalam seulas senyum yang tumbuh di tengah lelah, atau kehangatan yang memeluk dalam senja yang perlahan meredup. Karena hidup di sini tidak melulu mencari jawaban atas setiap pertanyaan. Hidup dan bahagia tidak perlu serumit itu. Karena akhirnya bahagia adalah tentang bagaimana kita bisa menerima dengan cara sederhana. Betul bahwa masih ada beberapa asa yang saya jaga untuk saya menggenapi dunia. Tapi kini saya menemukan satu garis akhir yang ingin saya ukir. 

Saya tak memiliki bongkahan berlian pun sekadar tumpukan uang dalam tabungan untuk saya bagikan sebagai warisan. Maka satu yang kini bisa dan harus saya lakukan. Saya ingin menjadi sejuk untuk setiap kepala yang tertunduk, saya ingin menjadi terang untuk setiap bayang-bayang yang gamang. Saya ingin menjadi arti dari setiap motivasi. Untuk mereka, semua langkah yang berjalan bersisian dengan saya. Hingga sampai akhirnya nanti mereka semua bisa mengenang saya dalam sunyi. Sampai akhirnya nanti, di semua benak mereka yang membersamai saya, segala laku peran yang pernah saya buat diganti dengan kata syukur tak terucap. Tercatat dalam perjalanan yang akan mereka banggakan. Agar nanti kelak, ketika kata baik masuk ke dalam lintas pikir seseorang, saya bisa berada dalam salah satu ingatannya. Siapapun mereka  itu.

Menjadi bagian dari cita-cita tentu tidak akan pernah menjadi sederhana. Kita tidak akan pernah tahu kapan waktunya sirna itu tiba. Tapi, pilihan sudah dibuat. Maka panjang atau pendeknya waktu bukan lagi soal yang penting. Sampai nanti saya bisa hidup di tempat di mana setiap jawaban akan selalu datang bersama pertanyaan. Maka jika benar saya dilibatkan dalam perjalanan kalian, izinkan saya untuk memenuhi segala tujuan yang sudah saya cita-citakan, untuk langkah yang sekarang dan langkah-langkah selanjutnya.

 

Related Posts

Comments (2)

Duh, kok aku terharu sih bacanya. Dan tak bisa disangkal terbayang sosok suamiku ^^
Demikianlah kurang lebih gambaran perasaan seorang ayah, bapak, kepala keluarga, yang penuh tanggung jawab kepada keluarganya dan orang-orang yang dicintainya.
Semoga selalu bisa menjadi manfaat buat semuanya, dan meninggalkan jejak terbaik untuk kelak dikenang.
Bisa ya dek, ya..
Salam dari geng 40-an 🤪

Seseorang yang lebih tua darimu kemudian mulai berpikir juga, betapa beruntungnya kita masih diberi usia hingga hari ini. Meskipun tiap ada kabar manusia lain yg wafat mendadak tanpa sakit atau penyebab umum, tetap aja hati ini bergetar. Bagaimana jika itu aku, atau orang terdekatku. Tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan, selamat menjadi dewasa dan menikmati hidup lebih bermakna setelah ini, yeay!!!

Leave a comment