Scroll Top

Terang Bulan Juli

Tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni. Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu. Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni. Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Tersebut, adalah penggalan puisi ‘Hujan Bulan Juni’ sebuah mahakarya dari salah satu penulis terbaik yang dimiliki negeri ini: Sapardi Djoko Damono. Saya, jika diizinkan, ingin memaknai puisi tersebut sebagai rangkaian analogi dari sebuah penantian atas banyak sekali rindu, keragu-raguan, dan segala keniscayaan yang gamang. Oleh Djoko, hujan dibuat sebagai kawan yang menguatkan rasa rindu itu, sebagai teman yang mengiringi keragu-raguan itu, sebagai sahabat yang menyimpan segala gamang itu. Yang kesemuanya itu kemudian diejawantahkan dalan bentuk yang terang. Seperti yang biasanya terjadi setelah hujan berhenti.

Atau paling tidak makna itulah yang saya imani. Setidaknya untuk saat ini. Saya sedang menikmati fase lanjutan dari hujan bulan juni. Saya sedang menikmati nikmatnya terang di bulan Juli.

Di bulan Juli ini saya mendapatkan jawaban atas segala yang saya sebutkan tadi. Rasa rindu, keragua-raguan dan hal-hal lain yang sempat membuat saya gamang. Ditambah banyak lagi kejutan, membuat saya pantas mensyukuri apa yang terjadi di bulan ini.

Hampir semuanya dari porsi-porsi kehidupan sebagai manusia, di bulan ini, mendapatkan giliran yang menyenangkan. Semuanya itu, tentu saja dengan senang hati, sudah dan, akan saya bagi. Dalam bentuk cerita, tentu saja.

Mari kita mulai.

Dua tiga tahun terakhir kegiatan tulis menulis di dunia digital ini mulai saya tekuni. Dalam arti, di waktu itu saya mulai bersedia mempelajari banyak hal. Membaca, mengamati bahkan memodifikasi gaya dari banyak sekali teman yang memiliki minat sama. Saya mulai belajar juga mengenai tampilan dan tata letak. Tidak cukup di situ, saya juga bahkan mulai mencari tahu garis hubungan antara dunia tulis dengan robot-robot digital yang kerap menjadi tolok ukur nilai dan kualitas sebuah blog sebagai medium dunia tulis digital. Hal-hal yang biasanya saya persetankan.

Kamu tahu apa yang paling berkaitan dan bertanggung jawab jika membahas tentang dunia digital? Google? Tentu saja kita akan sama-sama menyepakatinya tanpa perlu bermusyawarah banyak. Dan untuk dan dari semua yang terjadi selama dua-tiga tahun terakhir di dunia tulis menulis digital ini, saya mendapat kesempatan untuk dapat berkunjung ke kantor perwakilan Google di negeri ini.

Berlebihan? Boleh jadi iya. Karena untuk sebagian orang yang lain hal ini mungkin adalah hal yang biasa. Beberapa yang lain bahkan mungkin menjadikan fenomena ini sebagai bagian dari rutinitas. Tapi untuk saya -atau kami lebih tepatnya diundang dan kemudian diperkenalkan salah satu program dan fungsi baru yang akan diluncurkan, tentu menjadi sebuah kesempatan yang membanggakan.

Jadi, bolehlah kiranya jika saya (atau kami) menanggapinya dengan sedikit berlebihan.

Lalu kemudian.

Sebagai seorang yang lama mengabdikan dirinya ke satu tempat bekerja tentu, pada titik tertentu, akan mulai merasa jemu. Mulai merasa susah diri ketika satu persatu teman mengundurkan diri dan pergi. Ditambah keluhan-keluhan lain yang muncul setiap kali bertambah tua di tengah jalan. Karenanya, saya mencoba mencari celah dan peruntungan untuk mengubahnya. Banyak upaya yang saya coba. Tak sempat juga saya menghitung berapa banyak bilangan yang saya jadikan tujuan. Saya tidak salah menulis bilangan di kalimat sebelumnya. Karena tujuan itu menjelaskan dua makna dari kata ‘bilangan’. Baik sebagai satuan angka atau sebagai lokasi. Dalam prosesnya, saya yang berlatarpendidikan apa adanya kerap gagal. Bahkan kadang sebelum saya sempat mencoba.

Sampai akhirnya saya bisa menutup laci dan bangkit berdiri dari bangku yang kiri-kanannya telah kosong tak berpenghuni. Saya mendapat giliran untuk mengundurkan diri dan pergi. Berkesempatan untuk mengakhiri separuh perjalanan dan memulai cerita untuk separuh yang lain. Lagi, jawaban itu hadir di bulan Juli.

Satu yang lain kemudian hadir berurutan.

Saya mungkin bisa berbangga dan berbahagia dengan pencapaian-pencapaian tersebut. Kasus lain, saya terkadang dan membusungkan dada untuk apa yang saya lakukan dan untuk apa yang saya miliki. Kecuali satu yang sering membuat saya murung. Satu yang sering membuat saya linglung. Dalam banyak hal, satu inilah yang senantiasa membuat saya merasa gagal. Satu ini juga yang menjadi alasan untuk apa yang saya pikirkan dan rencanakan kemudian.

Jika kamu termasuk ke dalam mazhab kurang kerjaan, yang sering berkunjung ke sini, kamu pasti bisa menebak satu hal itu. Atau agar tulisan ini bisa saya ringkas beberapa ratus kata saya sampaikan saja satu hal itu: tentang saya yang hidup berjauhan dengan sang jagoan.

Terima kasih untuk Tuhan yang Maha Baik. Sekali lagi di bulan Juli, akhirnya saya bisa memangkas waktu dan jarak. Kini mungkin akan sedikit sekali durasi panggilan video yang menjadi kebiasaan di hampir setiap malam. Tidak ada lagi drama-drama panjang di akhir pekan setiap kali saya harus berpamitan. Tidak lagi rasa rindu yang harus diendapkan untuk kemudian dilampiaskan setiap kali waktu temu. Sekarang rindu itu bisa diejawantahkan kapan pun saya mau. Tiga kini telah menjadi satu. Oh, bahkan, di bulan ini juga saya mendapatkan satu jagoan baru. Kini empat menjadi satu.

Untuk yang terakhir, tentu saja sudah dengan tangis bahagia saya ceritakan.

***

Hujan bulan Juni tidak abadi sebagai puisi. Ia kemudian bertransformasi menjadi bentuk narasi panjang. Sampai kemudian diceritakan kembali ke dalam bentuk visual. Dalam kedua bentuk itu, ia bercerita tentang lika-liku lain yang lebih rumit layaknya hidup yang tidak cukup hanya tentang dua-tiga perkara belaka. Ia bisa saja bercerita tentang kisah cinta yang lain, tentang janji-janji kehidupan, tentang mimpi dan pengharapan dan tentang hal-hal yang sudah atau belum dibicarakan. Dan ia tidak menutupnya dengan satu jawaban pun dengan kesimpulan. “Demikianlah maka Surat Takdir pun dibaca berulang kali…” katannya di akhir cerita. Menjadikannya serupa kata sambutan untuk segala hal lain yang mungkin muncul belakangan.

Apa pun itu. Paling tidak untuk saat ini, untuk semua terang benderang di bulan Juli dan untuk semua yang telah tersampaikan, mari kita mengulang puisi itu sekali lagi.

Tak ada yang lebih tabah, dari hujan bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni. Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu. Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni. Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

Related Posts

Leave a comment