Scroll Top

Aktualisasi Diri

Beberapa waktu lalu, di lini masa twitter sempat ramai beredar cuitan yang berisi tentang kisah seorang muda, yang konon katanya berasal dari sebuah universitas bergensi yang menolak sebuah pekerjaan dengan imbalan 8 juta rupiah. Sebagai catatan, seorang muda tersebut baru saja menyelesaikan pendidikannya. Di waktu yang berdekatan, seorang dosen memberikan kuliah, juga melalui lini masa twitter, mengenai korelasi antara nilai kuliah tinggi dengan international exposure yang rendah adalah sebuah kemubaziran waktu. Ia bilang, nilai tinggi akan menjadi percuma jika tidak dibarengin dengan pencapaian lain yang ia beberkan dengan amat panjang.

Seperti halnya kisah ramai lain yang banyak beredar, kedua hal tersebut menghadirkan pro dan kontra di dunia maya. Sebagian berkomentar kasar, khas budaya warga di dunia maya. Sebagian lagi mendukung, mengimani berdasarkan apa yang mereka yakini. Sebagian lagi tidak peduli.

Kesemua dari respon dan reaksi tersebut adalah salah satu bagian dari fase quarter life crisis. Seperti yang dikutip oleh Tirto pada salah satu artikelnya, quarter life crisis adalah sebuah fase di mana terjadi krisis emosional pada seseorang yang melibatkan perasaan kesedihan, terisolasi, ketidakcukupan, keraguan terhadap diri, kecemasan, tak termotivasi, kebingungan, serta ketakutan akan kegagalan. Biasanya, ia dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini.

Kedua hal yang saya tuliskan di awal tulisan persis mengejawantahkan masalah nilai pada keyakinan, tentang karir pasca hubungan panjang dengan pendidikan dan tentu saja berkaitan juga dengan masalah finansial.

Pada waktu dan keadaan yang tertentu akan tiba saat di mana kita tidak lagi bisa berkeras kepala atas segala idealisme, prinsip, passion atau apa pun tentang asa, tentang cita-cita yang pernah kita gaungkan setinggi langit.Segala hal tadi, yang sebelumnya kita anggap begitu mulia, akan berbenturan dengan banyak sekali dinamika yang menarik yang memaksa kita untuk kembali menjejak bumi. Untuk bisa berpikir waras atas rangkaian utas realitas.

Saya, misalnya, sempat memiliki cita-cita tinggi untuk menjalani kehidupan dan berpenghasilan di ibukota. Keingingan itu muncul berdasarkan apa yang saya imani bahwa ibukota, dengan segala yang ada di dalamnya, adalah tempat terbaik untuk berkompetisi menjadi pribadi yang lebih berkualitas. Tujuan itu tercapai dan setelah itu, selama bertahun-tahun lamanya, saya harus menjalani rutinitas kompleks yang menyenangkan dan sekaligus menyebalkan.

Yang menyenangkan, tentu ketika saya menemukan minat yang luar biasa terhadap apa yang menjadi tanggung jawab saya. Dan saya mampu berkompetisi dan menjadi salah satu terbaik di antaranya. Menaiki beberapa langkah anak tangga sebagai bentuk capaian terbaik di dunia kerja meski dengan imbalan yang sejatinya, berada di luar pakem dari kebiasaan sebelumnya. Tapi, saya akui, saya menikmati betul di hampir segala prosesnya.

Masih seperti yang dikutip pada artikel Tirto, dari tulisan Forbes, Soal pekerjaan, generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah untuk mendapat uang semata, sementara sebagian milenial merasa pekerjaan adalah sesuatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terkait hal yang disuka atau bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Dan seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya menikmati segala prosesnya.Saya menjadi ‘saya’ yang selama ini saya cari. Tapi nyatanya hidup tidak bisa saya nikmati sendiri.

Di sisi lain ada masalah-masalah yang terus membesar bersamaan dengan segala proses tadi menjadi bagian yang menyebalkan.

Saya yang iri melihat orang bisa berkumpul utuh bersama keluarganya di saban hari. Sedang saya? Mendapati anak dan istri masih berstamina dan terjaga ketika saya pulang adalah menjadi salah satu hadiah terbaik.

Untuk masalah itu, beberapa teman pernah menyarankan untuk pindah dan tinggal di ibukota. Dari apa yang tertulis di lamudi.co.id harga properti di Jakarta sudah menginjak Rp 10.000.000 per meter. Untuk saya saat itu, nilai tersebut berada di luar nalar.

Tidak hanya itu, desakan-desakan lain dari sisi ekonomi mulai menggerogoti tujuan-tujuan yang sempat saya gemakan. Ia kerap merundung saya dari berbagai sisi: apakah imbalan ini pantas untuk apa yang saya lakukan, sedang di meja kerja lainnya masih banyak yang berleha-leha dengan kisaran angka yang sama (atau berbeda dikali dua dan tiga). Juga tentang jarak dan banyak hal lain yang memaksa neraca ekonomi selalu condong ke arah kiri.

Maka ketika berbicara tentang tanggung jawab dan ekspektasi mental saya menciut. Akhirnya saya sadar, saya harus mewajari ini: saya belum bisa mengakutalisasi diri. Saat itu saya gagal dan sembunyi.

Tapi sekarang ini biarkan saya mencoba lagi.

Catatan tambahan:

Entah berapa kali saya bersikap naif ketika saya bergelut banyak di fase buruk quarter life crisis. Entah berapa kali saya terpaksa halu ketika saya sadar ada yang menyimpang dari tujuan yang saya ambil sebelumnya. Ketika saya memiliki pilihan, yang sudah saya ambil sekarang ini, saya dihadapkan lagi oleh ketakutan yang lain: sebuah transisi perpindahan dari rasaya nyaman ke suatu hal yang baru di luar kebiasaan.

Di akhir tulisan Tirto disebutkan, Alternatif tindakan yang bisa dilakukan saat badai quarter life crisis menerpa adalah mencoba menerima hidup pada saat ini walaupun belum benar-benar sesuai kehendak seseorang. Formulanya sederhana: ingat bahwa mustahil seseorang melulu mendapatkan hal yang dimau.

Saya coba melakukannya. Dan inilah saya sekarang. Sedang bersemangat melakukan hal yang tak  saya rencanakan apalagi saya impikan.

Related Posts

Leave a comment