Mari temani saya sebentar. Kita sedikit berbicara tentang harapan, cita-cita dan mimpi besar lainnya. Dua tiga minggu yang lalu mimpi-mimpi dan harapan itu dikonversi oleh khalayak menjadi sebuah resolusi. Hal yang lazim dilakukan oleh hampir semua umat manusia di dunia. Yang diucapkan kali ini kembali terucap di tahun berikutnya. Lalu untuk kemudian dilakukan berulang kali di tahun yang banyak kemudian. Pertanyaannya. Apakah segala hal yang tidak tercapai itu adalah benar tentang mimpi yang kita inginkan? Atau malah kita mendapat apa-apa yang tidak pernah kita pikirkan?
Kerja
Beberapa waktu lalu, di lini masa twitter sempat ramai beredar cuitan yang berisi tentang kisah seorang muda, yang konon katanya berasal dari sebuah universitas bergensi yang menolak sebuah pekerjaan dengan imbalan 8 juta rupiah. Sebagai catatan, seorang muda tersebut baru saja menyelesaikan pendidikannya. Di waktu yang berdekatan, seorang dosen memberikan kuliah, juga melalui lini masa twitter, mengenai korelasi antara nilai kuliah tinggi dengan international exposure yang rendah adalah sebuah kemubaziran waktu. Ia bilang, nilai tinggi akan menjadi percuma jika tidak dibarengin dengan pencapaian lain yang ia beberkan dengan amat panjang.
“Kamu yakin bersedia bergabung di perusahaan ini?” tanya seorang ahli ketika saya berkesempatan untuk hadir di sesi wawancara panggilan kerja beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan yang sama hadir di kesempatan berikutnya saat penawaran dan kontrak kerjasama diajukan. Dua kali pertanyaan itu ditekankan karena saya memiliki catatan yang panjang bekerja di satu perusahaan. Sepuluh tahun tentu bukan waktu yang sebentar untuk saya bisa begitu saja mengiyakan sebuah tawaran. Namun di dua kesempatan itu saya, dengan banyak sekali hal dan tetek bengek lain yang sudah dipertimbangkan, menjawabnya dengan mantap: “Ya, tentu, saya bersedia”.
Aku menatap kosong ke tengah taman yang lenggang. Di sana, di tengah taman itu, terdapat sebuah bangku tempat kami biasa bercengkerama, dalam rentang waktu satu-dua tahun terakhir satu persatu bangku telah kehilangan pemiliknya. Gelas-gelas yang biasanya berputar jauh, kini kembali lebih cepat. Akumulasi asap yang terkepul sudah menjadi sedemikian bias. Aku tersenyum. Rasa-rasanya baru kemarin taman ini ramai dengan tawa penghidupan. Sekarang semuanya berbeda. Aku bangkit berdiri. Menengok ke arah sana sekali lagi. Giliranku kali ini.
Sudah beberapa hari berlalu dan ternyata benar, yang paling menyebalkan dari kembali bekerja setelah libur cukup panjang bukan tentang bagaimana menghadapi rutinitas hidup yang membosankan. Untuk urusan itu aku sejauh ini, seperti bagaimana biasanya, bisa mengatasinya. Tapi yang sulit adalah ketika aku, seperti sekarang ini, merasa amat sangat kehilangan atas kebiasaan sesaat yang kulakukan ketika dalam masa-masa liburan: menghabiskan waktu bercanda bertiga dengan Si Jagoan juga bunda dengan perutnya yang semakin besar.
Di hampir setiap bulan Ramadhan, dari semenjak pertama kali saya bekerja, selalu ada perubahan jadwal jam kerja. Entah itu perubahan jam masuk atau jam pulang yang lebih cepat. Dan tampaknya perubahan itu berlaku juga untuk banyak sekali perusahaan baik swasta maupun instansi pemerintahan. Pun dengan yang terjadi di Ramadhan tahun ini. Perubahan jam kerja terasa sedemikian nyata. Tandanya? Hari kedelapan belas di bulan Ramdhan tidak sekalipun saya telat. Dikurangi empat hari libur akhir pekan. Artinya empat belas hari berurutan saya tidak pernah telat barang sekali. Untuk saya pribadi ini sebuah pencapaian yang membanggakan.