Back

Awal Cerita

“Memang Abang punya blog ??” Adit tak puas,  membuatku yang baru saja berniat untuk beranjak pindah ke ruang tamu, terpaksa harus menundanya sementara waktu. Aku menatap wajah perempuan itu. Dalam waktu yang hampir bersamaan mata kami bertemu, saling menatap tidak terlalu lama. Lalu kami berdua menunduk, tersenyum, mencoba mengingat kembali darimana awal semua cerita ini bermula.

Ruang keluarga berukuran empat kali empat meter itu lenggang sejenak. Empat orang anak kecil –yang telah berhasil kubuat menjadi penasaran sedang diam tertegun menunggu jawaban. Sedangkan, yang ditanya sedang khidmat membolak-balik secuil kenangan yang tiba-tiba datang menggelitik. Memang seperti itulah jika kita berbicara tentang kenangan, ia bisa datang kapan saja tanpa perlu mengenal situasi, waktu dan juga tempat. Seperti sekarang ini, aku mungkin akan lebih memilih diam lalu hanyut bersama arus kenangan itu kalau saja salah seorang dari empat orang anak itu tidak menggangguku dengan pengulangan pertanyaan yang kali ini dilakukan dengan nada yang lebih tinggi.

“Bang, memang Abang punya blog ??.”

***

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Sampai mana tadi kita ?? Ah, iya. Anak-anak, menulislah seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer tadi. Menulis adalah sebuah cara terbaik untuk kalian dikenang sepanjang masa. Maksudnya begini, ketika kalian membagi ide, cerita, gagasan atau fantasi kalian dalam sebuah tulisan. Ia akan dibaca oleh banyak orang dan boleh jadi jika tulisan itu menarik, orang yang membacanya akan membagikannya kepada orang lain dan terus seperti itu sampai tak terhingga. Suatu ketika nanti, boleh jadi semesta akan lebih mengingat tulisan kalian ketimbang nama kalian sendiri.” Bapak Hedi, guru Bahasa Indonesia sekolah kami, yang semenjak jam pelajaran dimulai semangat sekali menyuruh kami untuk menulis, menulis dan menulis. Entah berapa kali kata menulis diulang. Dan sebagai bumbu penyedap, beliau mencomot kisah dan kutipan para sastrawan berpengaruh yang aku tak hapal siapa saja namanya.

Untuk membaca cerita sebelumnya,  Anda bisa melihat pada tautan berikut : Bermain dengan tinta

“Bahkan, film tentang penyihir cilik yang kalian sukai. Siapa itu namanya, Susi ?? Astaga, Saya lupa. Betul, Harry Potter. Cerita itu berawal dari sebuah novel. Dari sebuah tulisan” Pak Hedi mantap menambahkan.

Aku mendengus, bosan. Melihat jam dinding di atas papan tulis hitam yang masih bersih akibat Pak Hedi hanya bercerita sepanjang pelajaran. Masih tiga puluh menit lebih sampai jam bahasa selesai. Untuk cerita yang terakhir itu tadi aku tahu. Dua minggu yang lalu saat aku menonton serial keenam Harry Potter, aku sempat membaca pada teks penerjemah jika Hogwarts dan seluruh isinya adalah sebuah adaptasi dari novel. Yang aku tidak tahu, seorang guru yang sudah hampir memasuki usia pensiun bahkan menyukai film yang aku anggap sangat membosankan, jika bukan karena menemani gadis yang aku sukai, aku lebih memilih bermain bola. Sudah lama sekali aku tidak berolahraga.

Diary, Pak” Ajeng, gadis berambut panjang yang posisi duduknya berada tepat di depanku menjawab. Ternyata Pak Hedi telah berhenti bercerita. Sekarang beliau sedang bertanya acak kepada semua murid tentang media digunakan untuk menulis dan ramai dibaca orang. Diary?? Astaga, Ajeng. Itu kuno sekali dan bukankah diary itu bersifat pribadi?? Mana bisa dibaca banyak orang. Lihatlah, hampir semua murid yang sempat memperhatikan jawaban Ajeng ikut tertawa mendengarnya. Ajeng ikut tertawa. Strategi yang baik, ketika satu-dua orang menertawakan tentang kesalahan yang kau buat. Ikutlah tertawa bersamanya, sebelum semua orang lain sadar dan menertawakanmu habis-habisan.

Pak Hedi menyuruh muridnya untuk diam. Berhenti menertawakan Ajeng. Kemudian beliau berkeliling, menunjuk satu demi satu murid untuk pertanyaan yang sama. Jawaban mereka beragam. Koran, tabloid, majalah dinding sampai dengan friendster. Bahkan Jajang, ketua kelas kami, ketika sempat ditanyai oleh Pak Hedi, dengan pede dan lantang ia menjawab “Pengumuman, Pak” yang jelas saja disusul dengan gelak tawa semua murid tanpa terkecuali. Kali ini Pak Hedi pun ikut tersenyum. Jawaban Jajang tadi nampaknya membuat Pak Hedi merasa cukup atau putus asa untuk kembali mengulang pertanyaan yang sama. Beliau sudah duduk di kursinya sekarang, bersiap mengakhiri pelajaran hari ini. Tinggal sepuluh menit lagi sampai jam bahasa selesai.

“Masih ada lagi, Pak” suara kecil dari sudut kelas, barisan meja paling belakang. Suasana hening yang terjadi setelah Pak Hedi duduk membuat suara kecil itu cukup terdengar sampai ke meja guru. Seorang sukarelawan, tipikal murid yang disukai guru karena bersedia menjawab sebelum sempat ditanya. Astaga, tinggal delapan menit lagi sampai jam selesai tapi dia, eh, sebentar. Siapa dia?? Seorang gadis berkacamata dengan rambut diikat kebelakang. Aku tidak mengenalnya?? Murid baru?? Aku tidak tahu ada murid baru dikelasku. “Pindahan dari Jakarta. Baru masuk kemarin pas lu lagi sakit” Ipang menjelaskan, seolah mengerti kebingunganku melihat gadis yang… emm, cantik.

Dengan isyarat tangan, Pak Hedi mempersilakan gadis itu berbicara. Menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah berhenti ditanyakan. Seisi kelas diam memperhatikan. Beberapa orang acuh tidak perduli, berkemas. Memasukan buku kedalam tasnya. Tinggal tujuh menit sampai pelajaran bahasa selesai. “Kita bisa menulis di Blog, Pak. Mulai banyak digunakan dan memungkinkan dibaca banyak orang” gadis itu menjawab dengan intonasi yang baik. Blog ?? Apa itu?? Sekarang seisi kelas benar-benar diam memperhatikan tak ada lagi yang sibuk memasukan buku kedalam tas. Perhatian tertuju kepada gadis itu. Syukurlah, aku tidak perlu khawatir ketahuan karena sejak tadi mencuri-curi pandang. Penasaran dengan murid baru itu.

Pak Hedi mengangguk, tersenyum. “Betul sekali. Aku lupa menyampaikannya. Nah, bisa kau jelaskan sekalian tentang blog?? Lihatlah, seisi kelas memperhatikanmu. Karena mereka tidak tahu apa itu blog atau karena alasan lain?? Entahlah. Hei !! Doni, betulkan posisi dudukmu !!” Doni tersentak kaget, tertangkap basah karena memutar kursinya seratus delapan puluh derajat demi melihat gadis cantik itu. Yang lain kembali tertawa melihat muka merah Doni. Aku melemparnya dengan kertas.

“Sama seperti kita menulis pada diary atau binder atau mungkin lebih tepatnya seperti menulis pada majalah dinding berkali-kali. Karena ketika kita memutuskan menulis di blog berarti kita ingin atau setidaknya berharap tulisan kita dibaca oleh orang banyak. Yang membedakan adalah jika menulis di majalah dinding kita masih menggunakan metode manual –dengan pulpen dan kertas. Di blog, kita menulisnya di dunia digital, internet, tadi sempat ada yang menjawab friendster kan?? Kurang lebih seperti itu, hanya saja tidak ada batasan pertemanan. Meski sama-sama bersifat personal seperti friendster tapi karena tidak ada batasan pertemanan tadi blog menjadi lebih memungkinkan untuk dibaca banyak orang bahkan untuk mereka yang tidak mengenal kita sama sekali.”

Anda bisa membuka tautan berikut : Menerka Arah Tinta. Pada tautan tersebut Saya membahas fungsi blog.

Dalam satu dua tarikan nafas gadis itu menjawab dengan sangat-sangat baik. Tenang, tak sedikitpun rasa gugup meski ia baru beberapa hari bergabung dengan sekolah kami. Dan untuk kalian ketahui, sudah menjadi tradisi setiap ada murid baru yang masuk kelas kami, akan dikerjai dan diledek habis-habisan oleh seisi kelas dalam kesempatan apapun. Doni dan Nunik pernah merasakannya berkali-kali ketika tengah tahun lalu masuk kelas ini. “Semacam ospek kecil-kecilan lah” kata Jajang ketika saat itu kutanya alasannya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya tak ada sedikitpun nada celaan untuk gadis itu. Semua mata sepakat menatapnya dalam-dalam. Entah karena jawabannya yang memuaskan atau karena wajahnya yang cantik. Doni sudah kembali memutar kursinya. Tinggal satu menit lagi pelajaran bahasa selesai. Tapi seisi kelas bersikap tidak seperti biasanya. Seolah tidak perduli jika harus ditambah satu dua jam lagi.

Pak Hedi mengacungkan jempolnya. Memberikan apresiasi untuk penjelasan yang singkat namun jelas. Beliau menambahkan sedikit penjelasan tentang blog. Fungsi, tujuan dan manfaat menggunakan blog sebagai media alternatif untuk menulis. Gadis itu menimpali, juga menambahkan. Dialog singkat tercipta sampai beberapa menit setelah pelajaran bahasa selesai. Rekor baru tercipta untuk kelas yang biasanya sudah bubar bahkan sebelum pelajaran benar-benar seperti selesai. Lucunya dialog itu seperti langit dan bumi, mendengarkan suara Pak Hedi yang menyebalkan dibalas jawaban gadis itu yang menyenangkan. Kepala seisi kelas seperti sedang menonton tenis, melihat kedua arah bergantian. Aku (dan juga Doni) tidak termasuk diantaranya. Aku lebih memilih diam di satu arah yang tepat. Kalian tahulah yang mana.

“Kamu punya blog??” Pak Hedi bertanya kepada gadis itu. Pertanyaan yang sebenarnya ingin juga aku tanyakan.

“Tidak pak” gadis itu menggeleng sopan. “Hanya saja kemarin sempat diskusi sama teman setelah nonton film yang diangkat dari perjalanan hidup seorang blogger, Pak.”

“Untuk kamu yang tidak memiliki blog tapi memiliki pengetahuan sebanyak itu. Luar biasa. Anak-anak ternyata kalian harus lebih banyak membaca tentang informasi terbaru di sekitar kalian. Nah, atau mungkin diantara kalian ada yang sudah membuat blog??” Pak Hedi mengkonfirmasi. Beliau sudah berdiri, peralatan tulis yang sedari tadi tersimpan rapi di meja guru pun dibawa serta. Kelas benar-benar akan berakhir, terlambat lima belas menit dari waktu seharusnya.

Pak Hedi menatap seisi ruangan, menunggu jawaban. Nihil, hampir semuanya diam.

“Saya, Pak”

Astaga apa yang aku lakukan. Kenapa aku tiba-tiba mengangkat tangan?? Blog?? Astaga. Padahal baru siang ini aku mengetahui apa itu blog dan fungsinya. Benar ternyata yang ayah sampaikan kemarin lusa di taman kota. Pada waktu-waktu tertentu, insting serta keberanian seorang laki-laki akan muncul ketika berhadapan dengan gadis yang menarik perhatiannya. Dan tentang blog ?? Nol besar. Gadis itu boleh jadi satu-satunya alasan syaraf mulut dan tanganku bergerak tanpa perlu menunggu perintah.

“Saya pernah mendengar Kamu sempat menulis puisi dan cerita di mading sekolah. Tapi Pak Syarif pernah bercerita kalau nilai komputermu sangat memprihatinkan. Sebuah kejutan Kamu punya blog” Pak Hedi menggaruk rambutnya yang kebanyakan sudah memutih, nampak tidak percaya.

“Iya, Pak. Baru dibuat. Itupun lama sekali saya menghabiskan waktu di warnet. Dan juga masih kosong, belum diapa-apain. Bingung, Pak. Soalnya tidak ada yang ngajarin. Tapi sekarang kayanya saya tahu harus belajar sama siapa, Pak” aku melihat ke arah gadis itu. Ia tersenyum, mengangguk ragu. Aku ikut tersenyum.

Anak-anak yang lain tidak. Sebaliknya, sekarang banyak kertas sedang dilempar ke tempat aku duduk.

***

“Kerjakan PR-mu dulu, Adit. Kakak lihat dari tadi kamu hanya bermain game. Kalau tidak salah ada PR matematika kan?? Tentang apa?? Bilangan bulat ?? Minta diajari sama Abang. Setelah selesai PR-mu baru boleh lihat-lihat blognya Abang.” perempuan itu menjawab tegas menolak permintaan adiknya yang ingin melihat isi blog yang sudah cukup lama tidak aku perbaharui. Aku mengangguk, menyuruh Adit membawa buku catatan tugasnya. Playstation dan laptopnya sudah dimatikan. Teman-teman Adit pun pamit pulang mengerjakan tugas sekolahnya di rumah masing-masing.

Sebenarnya matematika bukan pelajaran yang aku kuasai. Tapi memalukan sekali jika aku menolak mengajari Adit dengan alasan tidak bisa. Lagipula perempuan itu ikut membantu. Sesekali kami bercanda, menertawakan apa saja yang bisa ditertawakan. Menggoda Adit tentang gadis yang ia sukai. Nilai rapor matematikanya yang semester lalu berwarna merah. Apa saja. Adit mendengus kesal, ngambek karena hanya ia yang menjadi objek penderita. Sebagai gantinya aku janji akan membelikan dia eskrim setelah tugasnya selesai. Masalah selesai, kami kembali berdamai. Tiga puluh menit kemudian tugas Adit selesai. Perempuan itu yang lebih banyak mengajarkan Adit, aku hanya ikut menganggukkan kepala sambil menghabiskan camilan di meja.

“Kenapa Abang menulis di blog??” Adit mengembalikan topik bahasan. Aku mengacak-acak rambutnya, anak kecil ini tidak mau beristirahat sebentar saja.

“Karena Abang suka”

 pencil

andhikamppp
andhikamppp
http://andhikamppp.com
Lelaki yang menulis ketika anak dan istrinya sudah tidur | Pembaca buku yang lambat | Pemimpi yang arogan | Karyawan swasta yang ingin pensiun | Mau liburan tapi gak punya cuti | Percaya bumi itu, bulat atau datar? | Terimakasih telah berkunjung, semoga menyenangkan. Jika berkenan, silakan baca tulisan kami yang lainnya. Untuk bisnis dan kerja sama silakan hubungi saya melalui halaman kontak

41 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *