Akhirnya! Setelah beberapa waktu terakhir terpaksa mengurung diri di rumah, keluar hanya ke tempat-tempat yang jaraknya hanya sepelemparan batu belaka. Untuk pertama kalinya, semenjak si kecil lahir, kami berani untuk bergerak ratusan kilometer demi memenuhi undangan di kota jauh. Kami memutuskan untuk menyewa mobil. Untungnya mencari sewa mobil di jakarta lepas kunci tidak terlalu sulit. Sedikit berlebihan dalam persiapan. Memastikan kondisi si kecil baik dengan istirahat yang harus cukup. Dan: kakek-nenek, kami datang.
Jika tidak salah ingat mungkin ini adalah periode waktu terlama untuk kami, saya dan keluarga, tidak berkunjung ke rumah orangtua. Sedikit lagi saya menunda, gelar anak durhaka bisa saja datang tanpa diminta.
Komunikasi masih berjalan mulus seperti sedia mula. Hanya saja kadang rindu tidak bisa diselesaikan hanya dengan bersenda gurau melalui media maya belaka. Kakak, dengan usianya yang menginjak empat sudah tentu memiliki ikatan emosional yang lebih dengan kakek-nenek. Sejak ia diberitahukan rencana perjalanan ini, ia semangat luar biasa. “Ini udah sabtu belum, yah?”, ”Ayah cuti aja”, “dua hari nginepnya, Yah?”. Ia juga membuat daftar fana mainan-mainan yang harus ia bawa untuk ia banggakan di depan kakek-nenek.
Adik? Nama panggilannya ‘adik enggak mau di dalam’. Di hampir setiap pagi, juga petang, tangisnya akan membuncah jika diam di dalam rumah. Saya atau bunda, harus bergantian menemaninya keluar rumah, meski untuk beberapa jengkal, hanya untuk memastikan tawanya tetap ada. Dan dengan perjalanan jauh pertamanya, ia tertawa bahak di hampir setiap persiapan. Di jalan? Ia hanya tidur belaka.
Sudah saya katakan, kan? Persiapan kami berlebihan. Untuk satu hari menginap ada tiga atau empat tas besar yang ikut bersama kami. Itu belum termasuk setumpuk kantung plastik yang berisi camilan. Saya yang (dulunya) terbiasa santai jadi tertawa melihat kondisi kali ini.
Kami, seperti biasanya, tidak memberi kabar kakek-nenek tentang kedatangan kami. Sepulang dari undangan, yang kami datangi sangat sebentar sekali, saya langsung memacu pedal gas demi datang sesuai rencana dan tepat di saat matahari sedang berada di puncaknya, mengirimi bumi panas yang menyengat luar biasa, kami sampai di rumah kakek-nenek. Pintu mobil dibuka dan kakak langsung berlari memanggil nenek sekencangnya.
“Sehat bu?” untuk kemudian saya peluk cium wanita mulia yang melahirkan saya beberapa tahun yang lalu itu.
Mungkin bukan hal yang aneh ketika kakek-nenek bertemu cucu, sudah tidak ada lagi jatah untuk anak berbagi rindu. Hirarki keluarga tampak percuma. Anak, hanya ada sebagai pelengkap struktur belaka. Dan seperti itulah yang terjadi berikutnya. Berjam-jam waktu dihabiskan oleh nenek untuk bermain dengan kaka, juga adik yang masih bingung dengan tamasya yang ia lihat. Kakek terlambat datang karena kesibukannya. Resiko yang harus kami ambil ketika datang tanpa kabar. Dan ketika kakek datang pun keadaan tidak berubah.
Ada ada rona bahagia atas apa yang saya lihat ketika itu.
Kakak dengan angkuhnya yang lucu membanggakan mainan yang sudah ia siapkan lama. Menyebut banyak sekali jurus yang entah apa saya tidak hafal. Sesekali ia berteriak dengan lantang memeragakan jurus itu. Sekali dua ia jatuh, lalu tertawa. Adik, dengan muka polosnya hanya tertawa tidak jelas melihat apa yang dilakukan kakak. Muka adik yang menolak gendong begitu menggemaskan. Kakek-nenek tetap berusaha mencoba namun ia masih bersembunyi di bawah peluk ayah membuat gemas yang melihatnya. Saya bersedia membayar seisi dunia untuk selalu melihat tawa bahagia dari mereka semuanya. Mereka yang menjadi alasan untuk saya tetap ada.
Yang menyebalkan ketika berjauhan adalah jarak yang memaksa membatasi waktu. Dengan apa yang harus saya lakukan, saya tidak pernah bisa benar-benar berlama-lama di sana. Temu kembali harus terjeda, membiarkan rindu datang kapanpun ia mau. Kami harus kembali pulang.
Tapi paling tidak, meski tak sempat saya berkata-kata, rindu ini sedikit terbayar. Besok lusa, kesempatan itu pastilah masih ada.
Kakek, Nenek. Kami pulang dulu.