“Laiknya sebuah kejutan, kita tidak pernah bisa memilih seperti apa kejutan yang kita dapatkan, dan hidup dalam keluarga ini adalah kejutan terbaik yang Tuhan berikan untuk kami.”
Jadi minggu kemaren pas balik ke rumah, gue, adek, babeh sama ibu ngobrol, yaa obrolan singkat keluarga lah yang selalu kita usahain rutin tiap isi rumah lagi lengkap. Kebetulan adek gue baru balik dari gaweannya di ujung timur Indonesia sebelah sana.
Awalnya kita bahas tentang apa yang harus kita lakuin kedepan, rencana kita sebagai anak, dan harapan mereka sebagai orang tua, ini jadi obrolan yang cukup “berat” karena menyangkut sebuah pertanggung jawaban maha besar dikemudian hari, dan gue ga bisa ceritain itu disini. Dan Babeh, selalu berhasil bikin suasana obrolan makin anget, makin bikin males keluar rumah lagi, kali ini beliau “ngebawa” kita ke masa-masa saat gue dan adek gue masih kecil.
Saat kami cukup kesulitan, bahkan untuk sekedar ngerasain enaknya makan nasi …
Pernah dirumah ga bisa nonton TV ?? Bukan karena dilarang karna tontonan yang tidak mendidik kaya jaman sekarang, tapi karena emang dirumah ga ada TV. Bahkan ngelewatin rutinitas makan 3 kali sehari pun kami pernah, Alhamdulillah, seenggaknya kami masih bisa makan di tiap harinya.
Gue ngelewatin kebahagiaan yang berbeda di masa kecil, bukan sebagai anak yang dicukupi segala keinginannya sama orang tua, tapi sebagai anak yang dikenalkan “cara hidup” bahkan saat kami`masih ingin bermain bebas seperti anak-anak seusia kami. Saat tiap pagi nya “mereka” asiknya menonton TV , kami bangun lebih pagi lagi untuk mengantarkan beberapa bungkus gorengan untuk dititipkan di warung warung deket rumah. Selain itu, kami pun sempet bawa termos es ke sekolah, jualan es untuk bisa dapet uang jajan. Tapi itu satu-satunya cara untuk kami bisa bertahan hidup. Emm lebih halusnya, itu cara kami untuk hidup. Malu ?? Pikiran saat itu , yaa , gue malu , gue iri dengan kehidupan mereka yang boleh jadi lebih enak buat dijalanin, ga perlu susah susah untuk dapet uang jajan, tamasya bareng keluarga, seneng seneng, gue iri ?? iyaa saat itu gue iri.
Dengan materi yang terbatas, segala konflik yang terjadi di rumah boleh jadi akan lebih besar kemungkinannya, perceraian kedua orang tua sebagai resiko terburuknya beberapa kali hampir datang. Tanpa ketenangan babeh dan ibu, bisa jadi gue gak tumbuh besar dalam pengawasan mereka, atau bisa jadi gue malas untuk tumbuh besar. Dalam suatu waktu gue pernah marah sama Tuhan, karena dia yang memutuskan gue ada disini, di keluarga ini.
Dan , tunggu dulu, hei !? Bukankah Tuhan sutradara terbaik !? penyusun skenario terhebat, Maha Perencana. Dengan segala kesulitan yang kami alami saat itu, Banyak hal hal yang Dia tanamkan di pohon kehidupan keluarga kami, untuk kami petik sekarang atau mungkin nanti. Dia memilihkan jalan yang terjal untuk kami, agar kami bisa berhati hati ketika kami bertemu jalan mulus, nanti. Dia memilihkan gunung yang curam untuk kami daki, membiarkan kami untuk belajar membuat strategi agar kami cepat sampai ke atas dengan selamat. Dalam pendakian itu mau ga mau kita harus sering melihat kebawah, untuk berhati hati agar tidak terperosok jatuh, untuk bisa menghargai semua usaha di setiap langkah perjalanan untuk bisa sampai ke atas, untuk bisa membantu mereka yang berjalan lebih lambat agar bisa beriringan, untuk sesekali turun kembali kebawah agar bisa menanjak bersama, dan untuk kita ingat kalau kita pernah dibawah, ditempat itu, tempat paling dasar di gunung bernama kehidupan yang Tuhan ciptakan.
Dan jika puncak itu masih terlalu jauh, dan waktu kami habis untuk melanjutkan perjalanan, setidaknya kami telah berusaha untuk itu, bisa merasakan kesempatan yang Tuhan kasih untuk menikmati serunya perjalanan yang Dia diberikan, Untuk belajar dari setiap langkah yang dibuat, untuk mensyukuri bahwa kita masih bisa berjalan sampai sini, ditempat ini. Jika waktu itu datang, setidaknya kami bisa beristirahat di langkah terakhir yang kami pijak, dan bersyukur telah sampai sini, ditempat ini, sembari menikmati invetaris tanpa batas yang Tuhan sediakan, dengan semua pertanggungjawaban yang akan ditagih saat semua dikembalikan pada-Nya nanti.
—————
Laiknya sebuah kejutan, kita tidak pernah bisa memilih seperti apa kejutan yang kita dapatkan, dan hidup dalam keluarga ini adalah kejutan terbaik yang Tuhan berikan untuk kami. Seperti halnya sebuah kejutan ada yang menyenangkan ada yang membuat kita marah, tapi jika kita tahu maksud dari ini semua adalah bentuk sayang, bentuk kepedulian, kita tentu akan lebih menerimanya, boleh jadi kita bisa tertawa dan menikmati bersamanya, tapi jika emosi yang lebih dulu kita tunjukan, mungkin akan menimbulkan kekecewaan atau kemarahan dari si pemberi kejutan.
Andai saat itu gue tetep membiarkan semua emosi untuk menjawab maksud Tuhan mungkin gue kurang bisa menikmati perjalanan ini, boleh jadi gue lupa seutuhnya kalo gue diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan tertentu. Boleh jadi gue berenti sebelum berbuat untuk bikin orang tua gue tersenyum. Bukan ga mungkin gue jadi orang yang lebih berantakan dari gue yang sebelumnya, atau mungkin sekarang gue lagi terperangkap di titik paling dasar di gunung kehidupan tadi, atau mungkin lebih dasar lagi, apa namanya ? bawah tanah kehidupan ?? Entahlah.
Andai saat itu gue terlambat sadar akan skenario Tuhan yang Dia tulis untuk kami, mungkin saja gue bakal tetep jadi peran antagonis di film gue sendiri, film kehidupan untuk gue dari Tuhan. Yah meskipun ga semua film happy ending tapi seengganya Tuhan memberikan kami kesempatan untuk menyisipkan adegan drama, komedi, atau scene tanpa dialog yang penuh nasihat untuk kami, sehingga film ini ga melulu tentang air mata yang berlebihan yang biasanya mereka gunakan untuk mencari simpati, tanpa usaha. Atau ah , sudahlah, Kau memang benar benar Sutradara terbaik, Tuhan.
Dan Tuhan, sekali lagi, terimakasih atas naskah ini, naskah yang kau tulis untuk keluarga ini, dan bimbing kami untuk tetap berperan maksimal, agar kami bisa menjadi pemeran terbaik dalam film yang kau buat ini.
Terimakasih…
Tuhan