Jam dinding berdetak menawarkan bunyi syahdu di tengah malam yang temaram. Dari kejauhan, sayup-sayup asma Tuhan menggema bersahutan. Di antara banyaknya makhluk Tuhan yang terjaga, di atas sajadah yang tak terlalu panjang seorang insan baru saja menggenapi malamnya yang terlambat. Ia menolehkan kanan-kirinya sebagai salam untuk dunia. Ia merapikan duduknya kemudian. Tangannya terangkat perlahan, menengadah, demi ritual yang jarang ia lakukan. Nafasnya terhela. Bersamaan dengan itu, segala yang pernah ia lakukan berkelebat bersama takut yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Nafasnya semakin terhela pelan.
***
Satu yang ia yakini bahwa hidup adalah tentang salah benar yang seimbang.
Dengan apa yang ia imani tersebut, lima kali sehari ia jedakan waktu, di hampir segala kondisi ia coba untuk memberikan segala sujudnya kepada Tuhan sebagai haturan terima kasih atas segala kebaikan hidup yang ia dapatkan, menjadikan sujudnya rutinitas penggugur kewajiban sebagai hamba. Dengan apa yang ia imani tersebut, ia juga senantiasa suka untuk melakukan tindak cela. Memanfaatkan segala bentuk kesenangan di kesempatan hidup tunggal yang ia dapatkan. Tak peduli, misalnya, bahwa apa yang ia lakukan adalah perwujudan bentuk jahil segala hasutan.
Bukan sekali dua, ia datang ke tengah surau di pagi buta dengan jalannya yang sempoyongan akibat dari putaran gelas yang diminum bergantian. Ia tak merasa malu membasuh mukanya dengan air suci meski mulutnya mengeluarkan aroma yang memuakkan. Tak peduli, misalnya, apa yang ia lakukan menjadikan dirinya serupa penghamba Tuhan sekaligus setan di sekali jalan.
“Bodoh” sesekali ia diucap demikian demi upayanya memanipulasi bentuk pahala atas pembenaran dosa-dosa yang ia lakukan. “Empat puluh hari” kata mereka kemudian. “Menjadi percuma sujud syukurmu setelah kamu menenggak ciu. Percuma juga kau bertakbir jika keluar dari mulut yang berbau bir. Kamu malah tampak tolol karena beribadah bersama alkohol”. Ia mengangkat bahunya pelan. Sekali lagi, tak peduli dengan segala kemunafikan juga untuk segala keburukan lain yang ia lakukan kemudian. Yang ia tahu, sebagai hamba, hanya itu yang bisa ia lakukan. Dan sebagai manusia, hanya itu caranya menggunakan kesempatan. Tentang dosa dan pahala untuk surga dan neraka, ia jadikan urusan yang belakangan
Dan satu lagi ya ia yakini bahwa Tuhan Maha Pemberi, sekaligus Maha Tahu, jadi ia merasa tidak perlu –untuk meminta lebih kepada-Nya. Karenanya, ia tak pernah berlama-lama duduk di akhir salam. Ia selalu menjadi yang pertama meninggalkan barisan di setiap lima kesempatan. Pikirnya, ia tidak mau menjadi makhluk terkutuk sialan yang meminta banyak permintaan di tengah hidupnya yang serampangan. Satu-satunya yang ia haturkan di tengah duduknya yang singkat sehabis salam adalah satu semoga yang terbaik untuk dua orang yang kepada mereka Tuhan titipkan. Untuk dirinya sendiri? Nanti saja. Tuhan Maha Tahu segalanya, kan?
Kealpaannya dalam doa dan semoga juga keimanannnya sebagai penghamba ganda terakumulasi untuk belasan tahun kemudian. Menjadikannya kebiasaan yang tak terelakan. Ia semakin yakin dengan keseimbangan salah benar yang ia lakukan. Benarku, katanya, akan menggugurkan salahku. Salahku, menurutnya, akan diimbangi dengan benarku. Menjadikannya seimbang satu banding satu.
Yang ia lupa, bahwa tentang hubungan hamba dengan Tuhan, tentang salah dan benar, ada hitungan yang jauh dari rumusan kebiasaan. Benarnya tak pernah benar-benar bisa menghapus salahnya. Atau malah, tumpukan salahnya yang luar biasa besar membuatnya tak pernah bisa melakukan hal yang benar.
Sampai di satu kesempatan yang getir. Tuhan menamparnya sampai ke titik nadir. Halus namun cukup untuk dapat membuatnya kembali berpikir. Ia salah, tentu saja. Bahwa hubungan insan dengan Tuhan nyatanya tak pernah sesederhana rumusan matematika. Satu yang ia syukuri di kemudian hari, bahwa Tuhannya selalu berbaik hati, di balik segala dosa yang telah dilakukan, Ia masih sudi membukakan pintu hati untuk hambanya kembali berbenah diri.
Maka satu janji dibuat di awal pagi, ia akan menyisakan banyak waktu di malam-malam suci untuk berupaya mendekatkan diri. Dan jika pada saatnya malam-malam itu tergenapi, maka di ujung kesempatan ia akan mencoba hadir sebagai hamba yang berdoa dan bersemoga, dengan sungguh-sungguh, untuk pertama kali.
***
Ia mengubah bentuk duduknya. Formasi tangan yang menengadah ia ubah berulang-ulang. Sajadahnya kusut akibat gerak yang gelisah. Sementara di luar asma Tuhan semakin nyaring bersahutan ia masih kebingungan dengan lafalan yang mesti ia haturkan. Janjinya telah tergenapi. Kini di tengah malam yang masih menyisakan waktu yang panjang ia bersimpuh untuk doa dan semoga.
Ia tidak memiliki rasa percaya diri untuk berucap bahasa yang tertulis di kitab suci. Ia juga tidak memiliki kemampuan mumpuni untuk mengikuti apa-apa yang dicontohkan para kiai. Bahkan, ia tak mampu mengucap sedikit patah katapun dengan bahasa pribumi. Nyatanya masih masih tersisa urat malu atas keimanan semu yang ia gebu. Atas segala hal yang ia kini anggap dosa ia merasa kerdil untuk meminta, atas segala kesalahan yang ia bela kini ia merasa malu untuk berdoa. Kalimatnya tertahan dengan segala kebimbangan. Mulutnya terbujur kaku karena akumulasi rasa malu.
Tangisannya membuncah di atas sajadah yang tak terlalu panjang. Malamnya tergenapi bukan dengan haturan semoga. Doanya ia ganti dengan banyak sekali pengakuan dosa.
Tuhan, katanya pelan, maaf untuk semua kesombongan.
[…] saya lupa, usaha giat itu tidak disertai dengan doa. Saya memang kurang pandai dalam melafal doa. Dan ketika saya memulainya, dengan coba-coba tanpa sengaja, ternyata Tuhan menjawabnya dengan luar […]