Hari pertama setelah libur cukup panjang. Aromanya masih terasa. Malas untuk beraktivitas di luar rumah. Satu minggu terakhir, di jam yang sama, aktivitas rutin yang saya lakukan adalah bermain tonjok-tonjokan dengan Si Jagoan. Membiarkan seluruh badan saya ditonjok pelan untuk kemudian saya balas dengan gelitikan. Sesekali kami bermain ke luar, mengunjungi destinasi kesukaannya, taman hiburan, kebun binatang dan semacamnya. Merelakan diri untuk dimonopoli waktu olehnya, sesukanya. Yang sama berikutnya, selama liburan saya (hampir) menutup diri dari dunia maya, Seperti biasanya. Yang berbeda, kali ini lebih banyak pesan masuk yang saya abaikan. Jauh lebih banyak.
Biasanya, saya membiarkan pesan masuk menumpuk, untuk saya buka kemudian di akhir waktu liburan ketika saya sudah harus kembali beraktivtias rutin. Namun kali ini, ada jeda waktu Piala Dunia tengah malam yang membuat saya bisa terjaga dan masuk sementara ke dunia maya. Dua aktivitas utama di malam hari di dunia maya adalah: menuliskan cuitan untuk mengutuk tim jagoan yang bloon di Piala Dunia dan membuka aplikasi pesan singkat berwarna hijau. Terakhir, yang saya ingat, ada beribu pesan dari puluhan kontak atau grup yang belum saya baca. Saya buka sekilas dan tampak isinya sama: maaf memaafkan. Saya tutup sebelum sempat saya baca utuh semuanya. Malas.
Semenjak penyedia layanan telekomunikasi memberikan sejumlah SMS gratis di hari raya, maaf memaafkan dalam bentuk pesan yang dikirimkan secara kolektif menjadi rutinitas wajib di hari raya. Saya ingat, ketika layar ponsel masih belum berwarna, saya menulis draf selama berjam-jam demi membuat konten pesan yang tidak sama. Pada waktunya, pesan itu dikirimkan ke banyak nomor, dari yang dekat sampai yang jauh, yang akrab sampai yang sebatas kenal belaka. Sebagian gagal terkirim, saya ulang, sebagian dari sebagian itu masih gagal terkirim, terus saya ulang sampai jatah SMS gratis itu habis. Itu pesan keluar, pada waktu yang bersamaan, banyak juga pesan yang masuk. Isinya lebih kurang sama, beberapa memiliki variasi yang unik. Brengseknya, draf yang saya pikirkan berjam-jam tadi, dikirim balik ke saya dengan nama yang diubah. Andhika dan keluarga diganti dengan siapa pun mereka yang berkehendak. Sialan.
Berikutnya, ketika pesan singkat digantikan dengan pesan instan berbasis data, rutinitas ini menjadi lebih masif. Orang tidak terlalu peduli dengan jumlah gratisan. Selama terhubung dengan jaringan internet, pesan bisa dikirimkan kapan pun, tidak perlu khawatir tidak terkirim. Dan tak cukup pesan dalam bentuk kata, kini variasinya bertambah menjadi gambar dan atau juga video. Isinya? Ya, gitu-gitu juga, hanya medianya saja yang berbeda.
Maaf memaafkan menurut saya adalah prosesi spiritual yang sakral. Momen terbaik hari raya adalah ketika adegan orangtua-anak atau adik-kakak atau suami-istri atau variasi di antaranya saling menjabat seraya berangkulan setelahnya. Dengan ucapan maaf yang tulus, dengan banyak sekali doa yang terlibat di sana. Untuk beberapa momen khusus, isak tangis pasti membuncah ketika maaf itu terucap. Dan ketika saya menyadari betapa berharganya momen tersebut, saya menjadi malas dan muak untuk mengikuti pola maaf memaafkan dalam bentuk digital. Yang seolah hanya menjadi sebuah seremonial. Ketika pesan itu ditulis, apakah kita benar-benar berniat meminta maaf? Ketika balasan itu terkirim, apakah kita benar-benar tulis mengirimkan maaf?
Tapi kan tidak setiap waktu kita bisa bertemu dengan orang yang mungkin pernah kita sakiti.
Ya tidak masalah, sih. Minta maaf lah sana. Dengan cara meminta maaf yang baik. Jika perlu melalui jalur digital. Lakukanlah dengan cara yang lebih intim. Orang ke orang. Buat narasi yang lebih personal. Tidak melalui pesan kolektif. Apanya yang minta maaf jika satu kalimat dikirim ke banyak. Sekali lagi, apa yang kita lakukan dalam proses ini akan menunjukkan maksud dari maaf itu sendiri. Apakah bentuk dari kerendahan hati atau salah satu bagian dari selebrasi.
Saya serius menuliskan ini, tapi Anda tidak usah terlalu serius menanggapinya. Masing-masing dari kita punya sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi dan menyikapi sesuatu. Boleh jadi, yang saya tuliskan berbeda dengan apa yang Anda pikirkan. Jika Anda merasa maaf memaafkan secara massal tidak masalah, ya lakukanlah.
Saya pribadi selalu percaya bahwa kita sebagai manusia memiliki fitrah untuk bisa saling memaafkan, apakah kemudian kita ‘melupakan’? itu menjadi urusan lain. Oleh karenanya, sebesar apa pun salah yang pernah orang lain lakukan kepada kita, dalam waktu tertentu pasti akan begitu saja termaafkan. Maksud saya, dengan fitrah manusia yang selalu memaafkan, tanpa adegan seremonial seperti itu pun, setiap salah (yang kecil) di antara kita pasti saling termaafkan. Kalau salahnya terlalu besar? Mungkin sulit untuk dimaafkan begitu saja, ya apalagi minta maafnya lewat pesan digital.
Ia kang setuju, yang dapat menggugurkan dosa teh berjabat tangannya, bukan sekedar ucapan kata maaf, apalagi brodkes wassapp
Wkkka jleb banget apalagi via digital ya. Hmm jadi gimana gitu. Aku punya salah sama orang pantesan didiemin pas minta maaf di hari raya
Aku dulu jg nulis draft panjang biar SMS maafnya gak sama kaya yg didapat. Untungnya gak sampai ada yg kirim balik pakai nama mereka
Tahun ini gak byk kirim pesan maaf2 fan lewat digital. Maunya sih ketemu langsung dan jabat tangan atau pelukan hangat. Karena kondisi, jdnya by digital dan itu beberapa grup aja
karena susah untuk bertemu secara tatap muka, saya meminta maaf dengan tulus lho kong. walaupun via digital 🙂 tapi jikalau suatu masa kita bertemu, saya akan meminta maaf dengan menjabat erat tangannya Mas Andika
Alhamdulillah tahun ini saya sudah mengurangi maaf-maafan digital. Dan berhasil memperbanyak jabatan tangan dengan silaturahmi secara langsung. Memang terasa lebih bahagia.
Aduh mas, kebayang gimana rasanya pesan kita dipake dengan ganti nama bawahnya saja heheee…pahalanya banyak lho tapi 😀
Bermanfaat
Jaman sudah banyak berubah.
Tahun demi tahun permintaan maaf ini mengikuti tren yang ada.
Tahun ini tampaknya tren menuliskan kata “Maaf” melalui foto sekeluarga ((apabila sudah berkeluarga)).
Dan saya pun mengirimi gambar (bukan foto keluarga) untuk kolega dan handai tolan.
Berharap asa yang saya rasa tersampaikan karena keterbatasan keadaan untuk bertemu langsung bertatap muka.
Aku antara setuju nggak setuju sih, karena ya nggak semua orang bisa langsung berjumpa untuk minta maaf, nggak semua keluarga punya momen untuk berkumpul bersama.
Dan masalah orang yang minta maaf itu mau broadcast atau enggak, itu pilihan dan hak dia kan, kita sepatutnya menerima tanpa ada judging apapun, dia mau ikhlas apa enggak urusan dia. Kitanya yang bersikap untuk menerima pesan-pesan itulah yang penting, belajar untuk melihat segala sesuatunya dari sisi positif.
Gitu sih kalo aku. :p
Mohon maaf lahir batin yaaa 🙂
Sama pas liburan kemarin, pas bgt keluarga pada kumpul semua di rumah, jd agak males buka2 email. Tp WhatsApp tetep buka deh, sekalian buat janjian bukber 😀
Aku juga pernah mengalami kegetiran yang sama. Apalagi yang minta maaf di grup dengan pesan kolektif pula. Rasanya nggak kayak orang minta maaf tapi orang cari perhatian
Nah! Gue aja ampe dua hari mengabaikan pesan yg isinya sama. Mau itu pesan dari teman dekat, klien, rekan kerja, semua gue abaikan. Terkesan basa basi banget isinya.
Maaf-memaafkan dengan berbagai cara, bukan lagi kirim pesan dengan fitur SMS, tapi melalui sosial media yg semakin banyak. mungkin saja mereka (atau saya) menyadari bahwa kesalahan semakin banyak dilakukan, bahkan kesalahan terhadap orang yg belum pernah ditemui sekalipun. haha
Baru pertama kali baca tulisannya langsung suka.