Beberapa waktu yang lalu, sebelum saya pergi meninggalkan kota asal untuk bekerja di kota rantau, saya sempat berbisik pada Si Jagoan, “Dek, nanti ayah jemput, ya. Terus kita jalan-jalan, deh”. Ia tersenyum sebagai tanda sepakat dan tentu saja dengan harapan yang besar untuk Ayah menepati janji. Sore tadi, dua minggu setelahnya, saya melakukan panggilan video kepadanya, bertatap muka jarak jauh, untuk sekadar melepas rindu. Panggilan tersambung setelah nada tunggu ketiga. Neneknya yang menerima untuk kemudian beliau teruskan kepada Si Jagoan. Ia berlari ke arah yang berlawanan, menjauhi telfon genggam. “Gak mau” katanya kepada nenek. “Marah, Yah,” kata Nenek, “Ayah janji jemput, kan? Dia nagih, tuh”.
“Bonus enggak jadi cair, Bun” kubilang pada istriku setelah makan malam beberapa hari sebelumnya. “Kenapa, Yah?” ia bertanya. Ada sedikit ekspresi kecewa di wajahnya.
Aku menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu. “Ada, sih. Katanya. Cuma mungkin enggak di bulan-bulan ini. Paling cepat bulan dua di tahun depan” kataku berusaha menenangkan.
Awal mula kami berencana mengambil cuti tiga-empat hari di dua minggu sebelum penghujung tahun. Alasannya di minggu-minggu tersebut, biasanya, adalah minggu di mana aku mendapatkan jatah bonus tahunan dari tempat aku bekerja. Besarannya cukup untukku mengajak anak dan istri melepas penat ke pulau seberang, lengkap dengan akomodasi dan tetek bengeknya bahkan ada sedikit sisa untuk keperluan yang lain. Tagihan bulanan kubiarkan saja nanti menggunakan jatah gaji di akhir bulan.
Rencananya demikian. Namun, minggu pertama di bulan terakhir sebuah pesan masuk ke surel kantor yang mengatakan bahwa bonus tidak dikeluarkan di akhir tahun ini. Sebuah pesan yang tidak cukup baik yang boleh jadi berdampak pada rusaknya rencana yang sudah disusun sejak lama.
“Terus gimana dong, Yah? Enggak jadi dong ngajak dede main?” tanya istriku. Piring-piring telah dicuci bersih. Makan malam terasa hambar dengan berita yang tidak menyenangan seperti ini. Kami melanjutkan obrolan tadi di dalam kamar dengan lampu yang masih benderang. Badan kami di atas ranjang namun pikiran kami mengawang-awang jauh ke berbagai kemungkinan. “Cutiku sudah di-approve, Yah” lanjutnya.
Aku tersenyum, mengangguk. Sama, bahkan keputusan cutiku diterima oleh atasan sudah kudapat sejak dua minggu yang lalu. Tepat di hari kedua aku mengajukan cuti tersebut. Tidak masalah, tidak ada proyek penting yang kukerjakan. Urusan kantor masih bisa ditinggalkan sebentar.
“Kasihan, sih, Bun kalau sampai enggak jadi,” aku menjawab ragu-ragu, “tahu sendiri anak itu kalau sudah dijanjiin. Bahaya banget kalau sampai enggak jadi. Lagipula kita juga butuh refreshing, Bun. Pusing kerja terus”.
“Terus gimana? Mau pakai uang tabungan aja?” katanya memberikan solusi sederhana. Tampak ia sedang berhitung di luar kepala serupa siswa yang sedang mengikuti cerdas cermat di ibukota. “Masih ada anggaran yang bisa kita pinjam di uang tabungan? Kalau ada, boleh sih. Nanti aku ganti kalau bonus cair”.
Ia mengangguk, “Ada. Cuma beberapa poin dari anggaran harus kita hapus. Atau paling tidak, kita ganti dengan budget yang lebih murah” satu tangannya kini lincah memainkan telfon genggamnya untuk keperluan entah. Tangannya yang lain masih mencoret-coret beberapa poin di daftar rencana liburan yang sudah kami buat sebelumnya. Untuk urusan seperti ini, kuakui, ia memang juara. Mata dan pikirannya bisa digunakan bersamaan tanpa mengurangi sedikitpun kualitasnya.
“Ada nih, Yah. Promo tiket pesawat murah dari Airy, mau coba?” ia memberikan solusi. Ekspresi wajahnya sudah seperti sediakala, kembali cerah dan optimis kalau liburan yang kami rencanakan tidak jadi kami batalkan. “Coba lihat ini, ada diskon tiket pesawat Batik Air ke destinasi liburan yang kita tuju juga, Yah. Lumayan, nih, kalau aku hitung masih masuk harganya meskipun anggaran kita potong” ia menunjukan tampilan di telfon genggamnya. Yang ia bicarakan benar. Ada promo menarik yang bisa menyelamatkan liburan kami namun tetap tidak mengganggu, secara nyata, tabungan kami. Tidak terlalu merepotkan jika bulan depan uang tabungan itu harus langsung kami ganti.
“Boleh, Bun. Berarti hari minggu kita jemput Dedek, ya” aku tersenyum lega.
***
Epilog:
“Oh, jadi dedek marah sama ayah?” aku mencoba menggodanya, mengajak ngobrol ia yang sedang bersembunyi di balik punggung neneknya. “Bener, nih? Yaudah, ayah enggak jadi jemput, ah” ada sedikit perasaan sedih ketika mengetahui anak sekecil itu sudah bisa marah karena janji yang tidak tepati. Tapi di satu sisi, aku gemas melihatnya. Wajahnya yang sengaja dibuat masam begitu menggemaskan. Lihatlah ia semakin marah.
“Enggak kok, hari minggu ayah jemput, ya. Kita main. Mau naik apa? Pecawat?”
si jagoan naik pecawat euy… duh, saya mah belum ngerasain jadi ayah, jadi harus belajar banyak dari om nih…
*Bundanya pengertian.
Bundanya jago ngatur keuangan nih ya 😀
Selamat berlibur!
Cheers,
Dee – heydeerahma.com