Frasa ‘kurang piknik’ kerap digunakan untuk menandai orang-orang yang dianggap memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suatu hal atau bahasan tertentu. Biasanya orang-orang yang dilabeli ‘kurang piknik’ itu ia yang mudah tersinggung, marah-marah tidak jelas atau baper –jika boleh meminjam bahasa kekinian- ketika dalam suatu forum diskusi, di manapun itu, membahas hal yang boleh jadi tidak ia suka dan tidak ia sepakati. Malah dalam kasus yang lebih parah orang-orang ‘kurang piknik’ itu kerap muncul di waktu tak terduka. Ia hanya melihat, atau mendengar, namum merasa terlibat. Seolah dunia terlalu senggang dan cukup banyak waktu untuk membicarakan dirinya belaka.
Sebagai makhluk yang mengkultuskan proses berdiam diri di dalam rumah, boleh jadi saya termasuk orang yang ‘kurang piknik’. Kurang piknik yang hadir bukan dalam bentuk konotasi. Saya kurang piknik, tapi pikiran saya, sepanjang yang saya sadari dan ketahui, masih cukup sehat untuk mengabaikan segala hal dan bahasan yang tidak perlu. Meskipun ada bahasan-bahasan itu berindikasi untuk menjadi hal yang menyebalkan sekalipun.
Diskusi terbuka menjadi salah satu cara. Menyampaikan opini dan argumen dengan saling berterima. Jika sudah begini, rasa-rasanya saya pun ikut piknik. Berpiknik dalam kata.
Ya, meskipun untuk sebagian orang berdiam diri terus menerus di rumah itu tidak menyenangkan. Tapi saya merasa cukup, kok, menghabiskan waktu liburan hanya sekadar meluruskan kaki dan sekujur badan di atas tempat tidur sepanjang hari sembari menonton teve, membaca buku, bermain gim atau tidur yang benar-benar tidur. Saya tidak pernah sekalipun punya keinginan terencana untuk berkunjung ke suatu tempat, melihat inilah-itulah, menyiapkan segala tetek bengek yang merepotkan demi memberi kepuasan diri. Saya menikmati hidup dengan cara saya sendiri.
Praktis, hanya sedikit sekali destinasi yang pernah saya tandai di aplikasi foursquare. Jika pun ada, ya, terpaksa. Dan tidak sengaja.
Beruntungnya, Tuhan menyayangi saya dengan cara memberikan pendamping hidup yang memiliki kebiasaan sama. Setelah menikah tidak terlalu banyak kebiasaan yang mesti saya ubah.
Namun pertama kalinya sepanjang hidup saya merasa bersalah memiliki kebiasan ini. Setelah memiliki anak dan karena satu dan lain hal membuat kami mesti berjauhan. Bertemu satu minggu sekali dengan Si Jagoan hanya untuk berdiam diri di rumah belaka? Kok tidak adil, ya? Kami harus memiliki waktu yang berkualitas. Bertiga. Saya, Ia dan ibunya tentu saja. Bertamasya adalah salah satu cara untuk memberikan kami waktu temu sembari memisahkan ia dengan rutinitas sehari-harinya di rumah. Pasal kehidupan yang mesti saya perhatikan kemudian, yang mungkin akan tertulis dalam undang-undang: Seorang anak memilik hak untuk liburan dan bersenang-senang.
Kami, saya dan istri, sepakat untuk mengambil cuti. Demi mengajak si Jagoan selama beberapa hari berkunjung ke satu dua destinasi.
Bahayanya, kebiasaan saya diam di rumah selama hampir belasan tahun membuat saya tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang destinasi yang baik. Terutama yang ramah untuk anak yang bahkan belum genap berusia tiga. Dunia sudah canggih memang, dengan menulis satu-dua kata kunci banyak hal bisa kita ketahui. Namun untuk urusan ini bertanya kepada yang ahli jauh lebih baik ketimbang mengandalkan mesin pencari. Dari beberapa orang yang saya tanyai, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa Tokopedia jual tiket event yang layak untuk dikonsumsi anak kecil. Maksudnya beberapa destinasi yang bisa saya datangi dengan anak-istri bisa dilihat melalui satu aplikasi. Lumayan. Dari daftar yang muncul, ketika tulisan ini dibuat, ada dua-tiga tempat yang cocok.
‘Ke sini aja, Bun?’ saya bertanya kepada istri. Ia melihat-lihat, membandingkan satu tempat dengan tempat lainnya. Baik-buruknya, menghitung biaya estimasi, mempertimbangkan kecenderungan anak kecil itu yang terlalu selektif dalam memilih hal-hal yang ia sukai. Selain itu ia juga menge-cek tiket kereta promo online sebagai moda transportasi yang sebelumnya sudah kami sepakati.
Pilihan sudah ditentukan. Tiga hari sebelum akhir pekan semua hal sudah dipersiapkan. Dengan begini saya resmi bisa mengurangi ke-kurang piknik-an saya.
Saya sudah pulang. Membawa sedikit banyak pengalaman tentang perjalanan panjang di akhir pekan. Kapan-kapan lah saya ceritakan.
Yang ingin saya katakan sekarang ini adalah: di tempat piknik banyak juga, kok, yang emosian, mudah tersinggung dan marah. Karena antri kek, harga mahal kek, tempat piknik yang penuh kek, eksekusi tidak sesuai itinerary kek atau karena banyak hal lain yang entah. Artinya frasa ‘kurang piknik’ untuk melabeli orang yang mudah tersinggung atau marah-marah tidak jelas karena hal sepele tampaknya kurang tepat. Karena, toh, mereka yang sering piknik boleh jadi sama saja, kok. Bahkan dari pengalaman saya, marah dan emosi itu bahkan bisa hadir ketika akan menyiapkan proses piknik itu sendiri.
Jadi, kalau ‘kurang piknik’ sudah tidak tepat. Apa dong kata yang pas untuk melabeli orang yang mudah tersinggung atau marah-marah tidak jelas karena hal sepele? Kurang otak?
Kurang piknik, hanya semacam kata yang sedang booming saja. Nanti kalo jamannya udah ganti, beda lagi penyebutannya. Kurang otak, ga terlalu buruk. Haha Salam kenal. 🙂