Sudah beberapa hari berlalu dan ternyata benar, yang paling menyebalkan dari kembali bekerja setelah libur cukup panjang bukan tentang bagaimana menghadapi rutinitas hidup yang membosankan. Untuk urusan itu aku sejauh ini, seperti bagaimana biasanya, bisa mengatasinya. Tapi yang sulit adalah ketika aku, seperti sekarang ini, merasa amat sangat kehilangan atas kebiasaan sesaat yang kulakukan ketika dalam masa-masa liburan: menghabiskan waktu bercanda bertiga dengan Si Jagoan juga bunda dengan perutnya yang semakin besar.
Cuti
“Permisi!” Malam yang teduh. Bintang entah disembunyikan oleh siapa. Awan atau gelap. Tidak jelas. Menyisakan langit di atas sendirian. Bulan yang pemalas juga belum datang. Tanpa lampu, sulit untuk menebak suara siapa yang muncul tiba-tiba dari luar pagar. Aku bangkit dari dudukku di teras rumah. “Sebentar, ya, ada tamu,” sahutku ke anak kecil di dalam layar telepon genggam.
“Sudah ngajuin cuti?” Bulan ketiga di tahun ini. Sudah waktunya mempersiapkan segala sesuatu untuk menepikan sejenak rutinitas demi membagi waktu untuk Si Kecil yang akan berulang tahun di bulan depan. Setidaknya, itulah yang biasa kami lakukan di tiga tahun terakhir ini. “Sudah. Kamu, sudah?” pertanyaan itu kembali padaku. Aku menggeleng, menunggu momen yang pas, kataku kemudian. Rencananya memang di minggu-minggu ini aku baru berencana mengajukan cuti. Birokrasi pengajuan cuti di tempatku bekerja memang tidak terlalu sulit. Namun, mengingat kekosongan beberapa posisi di divisi tempatku bertugas, aku harus memutar otak untuk alasan cuti yang masuk akal.
Frasa ‘kurang piknik’ kerap digunakan untuk menandai orang-orang yang dianggap memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suatu hal atau bahasan tertentu. Biasanya orang-orang yang dilabeli ‘kurang piknik’ itu ia yang mudah tersinggung, marah-marah tidak jelas atau baper –jika boleh meminjam bahasa kekinian- ketika dalam suatu forum diskusi, di manapun itu, membahas hal yang boleh jadi tidak ia suka dan tidak ia sepakati. Malah dalam kasus yang lebih parah orang-orang ‘kurang piknik’ itu kerap muncul di waktu tak terduka. Ia hanya melihat, atau mendengar, namum merasa terlibat. Seolah dunia terlalu senggang dan cukup banyak waktu untuk membicarakan dirinya belaka.
“Anak ayah banget, ya, Dek?” pengemudi transportasi daring itu berujar setelah cukup lama memerhatikan anak kecil itu yang, sedari kami masuk ke dalam mobil, terus memelukku erat. Ia mencoba menggodanya dengan beberapa lelucon yang biasa manusia dewasa haturkan kepada anak kecil. Percuma, untuk membuatnya berbicara, memang membutuhkan waktu atau kau harus menemukan bahasan yang ia sukai atau kau hanya akan didiamkan serupa batu belaka. “Dede mau kemana? Pulang ke rumah, ya?” pengemudi itu gigih mencari perhatian. Satu detik, dua detik, ia diam, lima detik, dan masih diam. “Mau pulang ke rumah, De?” kali ini aku yang bertanya. Ia merespon dengan…
Dalam rentang waktu satu minggu terakhir saya mengambil cuti dari tempat saya bekerja. Dalam rentang waktu tersebut saya juga menyengajakan diri keluar, untuk sementara waktu, dari dunia daring. Media sosial, grup-grup aplikasi percakapan, bahkan surel kantor, yang biasanya harus saya tanggapi, kini terpaksa saya abaikan. Tentu saja ada pengecualian yang saya lakukan untuk beberapa hal yang amat sangat mendesak. Pada periode waktu tersebut, saya melakukan beberapa hal yang tidak biasanya saya lakukan. Seperti misalnya menyalakan televisi di pagi hari. Ini menarik, karenanya saya jadi mengetahui Arsya, anak kedua dari Mas Anang dan istri, telah lahir dengan begitu menggemaskan. Ia, diberitakan,…