βAnak ayah banget, ya, Dek?β pengemudi transportasi daring itu berujar setelah cukup lama memerhatikan anak kecil itu yang, sedari kami masuk ke dalam mobil, terus memelukku erat. Ia mencoba menggodanya dengan beberapa lelucon yang biasa manusia dewasa haturkan kepada anak kecil. Percuma, untuk membuatnya berbicara, memang membutuhkan waktu atau kau harus menemukan bahasan yang ia sukai atau kau hanya akan didiamkan serupa batu belaka. βDede mau kemana? Pulang ke rumah, ya?β pengemudi itu gigih mencari perhatian. Satu detik, dua detik, ia diam, lima detik, dan masih diam. βMau pulang ke rumah, De?β kali ini aku yang bertanya. Ia merespon dengan satu tatapan galak, sampai satu detik kemudian ia menjawab βKan, ihh, mu ke umah mamahβ.
***
Setiap aku harus kembali ke kota rantau, untuk bekerja, selalu ada sandiwara yang harus aku lakukan. Entah dalam bentuk aku pura-pura tidur, sampai ia ikut tertidur, pura-pura ke kamar mandi, meminta paman atau bibinya untuk mengajaknya bermain ke luar, membelikan ice-cream kesukaannya, atau apa pun. Yang pasti, ia tidak boleh melihat aku dan istriku pergi atau ia akan menangis buncah sedemikian parah. Jika aku bisa pergi sembunyi-sembunyi, paling tidak, ia hanya menolak makan malam dan juga mengabaikan panggilan telfonku barang satu-dua hari belaka. Dengan cara itu ia menyampaikan kekecewaannya pada kami, orangtua yang tak tahu diri.
βYah, gak leh keja, Dede kutβ
Siang hari satu minggu kemudian, ia tiba-tiba merajuk sedemikian rupa ketika kami sedang asyik bermain bola. Ia melakukannya lagi di minggu kemudian, dan di minggu kemudiannya lagi, ia memberikanku dua pilihan belaka: tidak bekerja atau mengajaknya serta. Aku, tentu saja, mengambil pilihan ketiga yang tidak ia tawarkan. Kerja dan tidak mengajaknya. Ia menjawabnya bukan hanya dengan tangisan yang buncah tapi juga dengan rumah yang menjadi berantakan serupa kapal pecah.
Suatu hari, di balik selimut yang hangat serta kamar yang dibiarkan gelap, aku berdiskusi dengan istri untuk mempertimbangkan mengambil cuti kerja yang agak lama. Mengajaknya ke sini, ke rumah yang baru beberapa kali ia jejak, pergi bermain bersamanya atau apa pun entah demi mencurahkan waktu untuknya, penuh, sementara bisa. Hitungan detik bahkan terlalu lama untuk ia menjawab: βAsyik, satu minggu, Yah, cukup?β aku mengangguk dan membiarkan lengannya memeluk leherku hangat. Apa yang terjadi kemudian kapan-kapan, lah, aku ceritakan.
***
Β βYah, iyat, Dede!β aku sedang lengah saat dengan santainya ia memanjat pintu teralis rumah. Aku terperanjat, loncat, khawatir ia terjatuh. Dari ketinggian atas pintu, jika terjatuh, tentu saja cukup untuk membuat, setidaknya, benjol di kepala atau sekadar keseleo di sekujur badan. Dan untuk anak seusianya, terjatuh, tentu bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
Ia berlari ke dalam kamar kemudian, menaiki motor kecil miliknya. Banyak tingkah, ia tidak merasa cukup untuk berpura-pura jatuh sekali dua. Ia tertawa bahak saat berhasil jatuh dari motor dengan cara yang memesona. βRocii, Yahβ katanya. Tak cukup sampai di situ, ia mengambil mobil remot kecil yang baru aku dapat dengan cuma-cuma. Ia berlari ke sana kemari mengikuti arah mobil yang ia kemudikan sembarang, jika sempat ia tabrakan mobil itu ke ayah bunda. Bentuk kekurang-ajaran yang menyenangkan dari seorang anak kecil. Rumah yang belum terlalu banyak perabotan di dalamnya membuat ia lebih leluasa untuk berekspresi. Ia lelah, tentu saja, tapi tidak serta membuat ia harus diam. Ia ambil gitar, maksudku, menyuruhku mengambil gitar yang kusimpan rapi di atas lemari tempatku menyimpan koleksi jersi bola. Merebutnya paksa untuk lantas ber-despacito ria, benar-benar hanya kata despacito belaka yang ia dendangkan. Alih-alih dipetik, ia merasa cukup gagah berdendang dengan gitar yang ia pukul. βAyah, dudud ajaβ katanya sambil menujuk kursi kecil di sudut ruang.
Aku mengajaknya berkeliling. Berjalan-jalan santai dengan celana pendek dan sandal jepit. Meski sesekali aku harus berlari mengejar anak itu yang merasa harus untuk menakut-nakuti setiap kucing yang lewat namun terbirit ketika kucing itu membalasnya. βLagi cuti, Mas?β kata tetangga yang heran melihatku ada di rumah di waktu sore di hari kerja, itu saat aku sedang berada di rumah yang memiliki kolam ikan di halaman rumahnya, tentu saja kami mendapat izin dari Si Pemilik untuk tamasya ikan yang sedang berebut makan.
βIya,β aku menjawab βmumpung anak lagi ada di rumahβ.
Di dunia yang normal, kalimat βmumpung ada di rumahβ lazimnya diucapkan oleh istri atau anak yang memiliki ayah dan suami yang luar biasa bebal dengan kesibukan pekerjaan. Tapi kami berada di dunia di bawah normal, tak ada salahnya sesekali bertindak di luar batas kelaziman, kan?
Dan dia masih asyik bermain denganku saat bunda sedang gossip-gosip manja dengan sesama bunda di dekat rumah. Beberapa di antara mereka mencoba menggodanya. Ia acuhkan dengan begitu santainya. Sesekali ia berlari-lari kecil saat teman bunda coba untuk gendong. Ia tolak, tentu saja. Dan mereka sebal namun keukeuh untuk menggoda.
βAnak ayah banget, dehβ kata teman bunda.
βKalau lagi sama ayahnya, jangan harap bisa ngajak main, dehβ kata bunda kemudian.
Dan ia, beberapa meter dari situ, tertawa bahak setelah sekali lagi berhasil menghindari gendong dari teman bunda. βyee, ebatβ katanya.
βYah, ana, yu!β ia menunjuk ke suatu arah.
βKemana?β kutanya.
βPulang, ke umah Dedeβ
***
Dua jam sebelum tengah malam saat kami masih terjaga dan berbaring di atas karpet bermotif lapang sepak bola, karpet kesukaannya. Selepas makan tadi, kami masih bisa untuk bermain dan bercanda. Menyebutkan nama-nama hewan yang ia lihat di Taman Safari kemarin, berteriak lantang dan berlari ke sana ke mari saat ada cuplikan pertandingan sepak bola. βgol, gol, gol, golβ teriaknya berulang-ulang. Dan di sinilah ia sekarang, berbaring manja di antara dada dan lenganku. Lenganku yang lain mengusap rambutnya, memeluknya, seraya dalam hati aku mengucap syukur kepada Tuhan untuknya, hadiah terbaik yang Tuhan beri kepada kami.
βBobo, De. Besok pagi kan kita pergi, ke rumah mamaβ aku berbisik ditelinganya. Ia menjawab dengan senyuman yang memesona, βga mu, ah. Mu di cini aja. Ama ayah, ama Ndaβ.
Di sebelah kami, bunda yang mendengar jawabannya mulai mengeluarkan air mata tanpa suara.
Besok, rumah ini kembali sepi.
Epilog:
βOm, iyat, om. Min-yonβ ia menujuk ke suatu arah di seberang jalan. Masih dari kursi penumpang depan transportasi daring yang kami naiki. Di arah yang ia tunjuk, ada sebuah toko yang memperlihatkan koleksi mainan di depannya. Mainan tokoh kartun berwarna kuning yang menggemaskan, tokoh yang anak itu sukai betul. Setelah beberapa kali usaha sia-sia, Si Pengemudi sekarang ini berhasil mengambil perhatiannya. Meski lebih banyak obrolan satu arah, Si Pengemudi bertanya dan anak kecil itu mengacuhkannya, setidaknya ia mulai menunjukan ekspresi bersahabat.
βEh, iya. Lucu, yaβ Si Pengemudi menjawabnya.
βIyat, Om. Ama, ama Dedeβ ia menunjukan jam di pergelangan tangannya. Jam dengan model yang sama dengan tokoh yang ia tunjuk.
βEh, iya. Dede juga punya, ya? Dibeliin siapa? Bunda?β kali ini Si Pengemudi bertanya. Interaksi dua arah pertama di antara mereka berdua di sepanjang perjalanan kami siang ini.
βKan, ih, bliin ayah!β ia menjawab senang.
βDasar, anak ayahβ Si Pengemudi tertawa.
Anak ayah. Pun demikian dengan si K. Anak Abah banget… Tiap abahnya rehat kerja digelendotin. πππ
Kalau baca cerita kayak gini, jadi kebawa suasana, memikirkan keluarga sendiri. Kebetulan belum punya anak, dan kebetulan punyak adek, masih kecil, kayaknya seumuran, tiap pulang ke rumah bawaanya gelendotan mulu, maklum sekarang jarang banget pulang. :’)
Menyentuh, ya :’)
Jadi pengin ketemu Daffa, deh. Semoga nanti gak usah sembunyi-sembunyian lagi, ya, kalau mau pergi kerja ke kota rantau. Jadi pengin punya anak juga wkwkwk sweet, haru, nano-nano gitu kayaknya rasanya.
ayo, ateuu, kapan-kapan ketemu, ya π
Anak ayah menggemaskan. Anak Ummi memabukkan…
Bisa-bisanya curhat di sini. Bedebah. :-))
Anak Ayah banget dan akhirnya Pak supir bs ngobrol juga sama Daffa….
Ponakanku ngumpul sama ortunya. Daffa jarang2. Kuat banget ya
Dad is son’ superhero
Senang sekali Daffa bisa memiliki Ayah yang menghabiskan waktu berkualitas dengannya..
Meski jarang bertrmu jika berkualitas akan selalu dikenang. Banyak penelitian tentang bounding anak ortu dan kualitas lebih berarti daripada kwantitas
Manis dan ikut terenyuh pisan euy bacanya, yang penting memang selalu menyempatkan quality time sama keluarga. Pun apalagi nanti dari pihak ayah pasti banyak memberi pengajaran2 hidup apalagi buat laki-laki. Salam buat Daffa ya, jangan ngambekan muyuuuu π
Maaf yaa, mas Dhika…
Aku jadi punya persepsi berbeda dengan yang mas Andhika tulis. Hiihi….abisan parenting banget deeh…
Semoga dede sehat terus yaa….
Tumbuh jadi anak hebat, kuat dan cerdas.
In syaa Allah.
Ayo Mbak, Bahas. Di mana? Japrian WA saja kah? :_D
Amin buat doannya
Semoga Daffa sehat-sehat terus ya, Dhik. Begitu juga Dhika sekeluarga. Semoga Daffa bakal bisa menetap satu atap terus sama ayah bundanya. aamiin.
Aku mau ikutan komen andalan: selalu suka sama cara Dhika menulis.
Allow dedek imutt
Anak ayah π
Kayaknya in dulu pernah disogok biar lebih dekat ke ayah dibanding I hahahahaha..
Itu anaknya imut banget mas dika. Gemes, untung dia ga di sini. Kalau di sini mungkin dah habis aku cubitin eheheheheee…
Aiiiiiiiih anak ayah baaaangeeeet
Aku ada tuh, saudara, cewek, yang dia anak ayah juga. Kalau tidur, harus dibekap sama ketiak ayahnya wkwk
Kalo aku dan adek, keduanya anak ibu. Soalnya ayah gak berani gendong kami pas kecil, agak kaku gitu kalo sama anak kecil, juga nggak bisa becanda sama anak. Hahha
Jadinya kami anak ibu semua deeeeeeeh
Apa2 nyantolnya ke ibu
Tapi akhir2 ini, ayah udah berani tuh gendong adik kecil, ngajakin main adik kecil, si fatim. Hihihi…. Lucu lah pokoknyaaaa….. Seneng…
Ya Allah Daffa, teu acan pendaknya. Sakitu neneknya dan neneknya Alma ini rajin reuni.
Kalau Alma kebalikan Daffa, dia mah masuk mobil sopir online udah langsung colek-colek ngajak bercanda. Wkwk
Kerasa dulu pas harus ke Depok untuk kerja dari Bandung, dulu mah ibunya yang cirambay karena belum ngarti anaknya. Sekarang anaknya juga anak Bapak banget, tiap bapaknya mau ngantor drama dulu.
daffa berbakat jadi pemain gitar tabuh (main gitar tapi di pukul kaya tamtam dangdut) hahaha…
Sabar ya dek,
Yang tabah juga buat ortunya.
Anak sgitu emang cari perhatian banget.
Mia ngerasain gimana sering ditinggal2 ortu, giliran ada, gak mau lepas, tapi ya mereka kudu ngelaksanain tugas negara. Semangat buat ka dika dalam mencari nafkah di negara seberang, buat bunda kudu teteup setrong
Uii uiii… Si anak ayah. Aku jadi kangen alm ayahku. Soalnya aku juga termasuk anak ayah, mungkin karena paling kecil dan perempuan satu-satunya.
Anak Ayah?
Haruslah!
Siapa lagi yang bisa dijadikan tempat berlindung dan tempat mencontoh, kalau bukan orangtuanya?
Daffa usianya berapa tahun, Kak Dhika?
Setahu saya, anak usia 3-6 tahun harus dekat dengan orangtuanya,dan perlu memperbanyak aktivitas bersama.
Kalau usia 7-10 thn dekatkan anak sesuai gendernya. Aktivitasnya pun lebih banyak disesuaikan dengan gendernya.
Dan untuk usia 11-14 tahun barulah menukar kedekatan dengan lintas gender..
Semoga ke depannya, Daffa bisa berkumpul dengan ayah dan bunda untuk merajut cinta bersama keluarga ya… Aamiin..
Sun sayang untuk Daffa :))
happy banget kalau udah punya anak..
rumah rame, ada yg bisa digodain..
apalagi kalau sudah bisa ngomong,walau masih blm jelas.. tapi seneng bisa digodain terus..
kalau rumah kami masih sepi.. belum ada anak umma dan anak abi..
hiks
Wahh jd kasian ama ibunya haha anaknya saking deketnya ama si ayah. Tp lucu juga sih biasanya anak mah deket ama ibunya ini ama si ayah jarang jarang saya liat begitu
Damai rasanya membaca tulisan ini. Seperti menyaksikan secara langsung. Rengekan manja anak-anak, kelucuan mereka, dan aneka sikap yang sangat menghibur menunjukkan negeri ini masih damai-damai saja. Semoga selalu demikian.
Anak saya lebih sering menyebut dirinya ” anak ayah ” atau “anak bunda ” sebagai ganti namanya . Itu bentuk rasa ia merasa sangat disayang dan diperhatikan oleh karena itu berdua.
Bahagia dengarnya.
Wah ada anak ayah. ada anak ibu… saya selalu menyebut anak saya bergantian anak ayah dan ibu. jadi merasa dekat dengan keduanya.
[…] yang berbeda di kali ini aku merantau pulang. Tak ada drama sembunyi-sembunyi. Tak ada tangisan di tengah jalan. Untuk pertama kalinya, ia membiarkanku pergi dengan senyuman. Karenanya ada rasa takut yang muncul. […]