“Sudah ngajuin cuti?”
Bulan ketiga di tahun ini. Sudah waktunya mempersiapkan segala sesuatu untuk menepikan sejenak rutinitas demi membagi waktu untuk Si Kecil yang akan berulang tahun di bulan depan. Setidaknya, itulah yang biasa kami lakukan di tiga tahun terakhir ini.
“Sudah. Kamu, sudah?” pertanyaan itu kembali padaku. Aku menggeleng, menunggu momen yang pas, kataku kemudian. Rencananya memang di minggu-minggu ini aku baru berencana mengajukan cuti. Birokrasi pengajuan cuti di tempatku bekerja memang tidak terlalu sulit. Namun, mengingat kekosongan beberapa posisi di divisi tempatku bertugas, aku harus memutar otak untuk alasan cuti yang masuk akal.
***
“Aman,” kataku di saat makan malam beberapa hari kemudian. Permintaan cutiku diterima. Satu minggu penuh. Dengan catatan, ada seseorang yang bersedia menggantikan tugas pembuatan laporan mingguan dan utang-utang proyek diselesaikan sebelum cuti. Tidak masalah, sebelumnya aku sudah berkoordinasi dengan teman. Bulan delapan dia cuti, gantian aku yang mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Itu juga kalau aku masih ada di kantor ini, dan belum kemana-mana.
Sepasang mangkuk sup hangat sudah tersedia di depan muka. Rawit yang dipotong kecil-kecil menjadi penambah rasa yang memesona. Pedas, luar biasa. Beberapa buah kerupuk menjadi penawar, ditambah pula satu gelas teh manis hangat. “Jadi mau kemana?” kataku sambil menghabiskan sedikit sup yang masih tersisa, “ada ide?” Ia mengangkat bahu, belum tahu, katanya. Sebetulnya bukan kebiasaan kami berbicara ketika makan. Maka, setelah kalimat itu. Beberapa menit setelahnya dihabiskan tanpa kalimat. Hanya mulut yang bergerak teratur demi makan malam yang luar biasa nikmat.
Kami berpindah ke teras rumah. Teh manis hangat tadi digantikan dengan secangkir kopi panas. Dia bermain dengan ponselnya, sedangkan aku memainkan sembarang asap rokok yang kuhembus pelan. Kombinasi yang pas untuk melewati malam dengan gerimis yang sedari sore tidak mau berhenti. “Enggak usah jauh-jauh ya” katanya memecah sepi. Aku menoleh, mematikan batang rokok yang tersisa setengahnya. “Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Iya, nanti liburan enggak usah jauh-jauh. Cuaca lagi enggak bagus juga” katanya menjelaskan.
Aku sepakat, tanpa perlu banyak berdebat. Sayang sekali rasanya jika bepergian jauh, dengan biaya berlebih, dan seharian hanya harus berdiam diri di kamar akibat hujan. Aku merekomendasikan beberapa tempat di sekitaran ibukota. Dia juga. Kami berdiskusi memilih tempat yang bisa untuknya bermain tapi sekaligus juga untuk belajar. Tak ada yang lebih menyenangkan untuk orang tua ketika anak dapat meraih manfaat di setiap mainnya.
“Ini bagaimana?” ia memperlihatkan satu artikel yang berjudul Tiket Promo Dufan 2018. Aku menimbang-nimbang, memperhitungkan kesukaan anak kecil itu dan kebiasaannya beberapa waktu terakhir. Dufan bukan pilihan yang buruk. “Selain Dufan? Ada lagi? Kan sudah pernah kalau ke Dufan”aku meminta alternatif tempat. Yang ditanya menepuk dahinya. Lupa. Katanya.
Ada beberapa alternatif tempat serupa. Yang di sekitar ibukota atau pun yang di dekat rumah neneknya. Nama terakhir terpaksa dicoret karena baru beberapa bulan yang lalu kami ke sana. “Coba lihat harga tiket Jungleland,” kataku meminta tolong. Harga, bagaimanapun, menjadi salah satu poin penting untuk kupikirkan. Ia yang berulang tahun di tengah bulan memang kurang berjodoh dengan isi dompet yang sudah mulai menipis. “Ini,” beberapa daftar harga terlihat di layar lima koma lima inch miliknya. Termasuk potongan harga yang ada dari berbagai promo.
Kubandingkan dua tempat yang terpilih. Memilah mana yang lebih menarik –untuk anak kecil itu dan lebih murah –untuk kehidupan kami tiga minggu setelahnya.
“Bingung juga, ya.” Kataku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. “Lebih suka kemana ya dia?” tanyaku padanya.
“Kamu download dulu aja foto-fotonya. Minggu depan kita pulang, kita kasih lihat. Dia lebih suka yang mana.” Katanya memberi usul.
“Ide bagus.” Jawabku.
Aku mengambil satu batang rokok dari bungkusnya yang tergeletak. Diskusi serius tampaknya sudah selesai. Aku nyalakan, dan kuhembuskan pelan. Di luar, gerimis masih belum mau berhenti. Aku memandang kopi yang sudah dingin akibat ditinggal ngobrol yang cukup lama. Ia melihat ke arahku. Tersenyum. “Sebentar, aku bikinin lagi” katanya mengerti tanpa perlu kuberi kode.
Aku tersenyum. Dasar istri idaman. Kataku dalam hati.