Telepon genggam bagaikan dua sisi mata pisau yang memiliki sifat berlawanan. Di satu sisi, ia memberikan banyak sekali kemudahan untuk penggunananya. Banyak hal yang dulu harus dilakukan melalui berbagai medium, sekarang bisa diwakili oleh satu perangkat saja. Di sisi lain, ia juga hadir sebagai medium yang adiktif, memberikan efek ketergantungan yang luar biasa, menyita hampir dari separuh waktu umat manusia. Negatifnya, hampir semua dari kita, seringkali lebih memilih asik dengan telepon genggam ketimbang dengan kehidupan sosial di sekitar sehingga melahirkan sebuah frasa baru: ‘generasi menunduk’.
Ketika saya menjadi orangtua, sama seperti orangtua lainnya, saya memiliki keinginan mulia untuk mencoba menjauhkan anak dari telepon genggam. Terlebih ketika masa-masa pertumbuhan. Ingin saya, ia lebih banyak berinteraksi dengan orangtuanya, untuk memberikan pengajaran terbaik yang bisa kami lakukan sebagai orangtua. Bersenandung kecil, melafal angka dan huruf, menunjuk bagian-bagian tubuh dan banyak lagi metoda kolot yang, saya anggap, sekarang ini malah lebih dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Sebagai gantinya kami sebagai orangtua pun bersepakat: ‘tidak boleh memegang telepon selama berinteraksi dengan anak’. Tujuannya sederhana, anak amat sangat mencontoh polah orangtuanya, cara termudah untuk tidak mengenalkan telepon genggam ke anak, adalah dengan tidak membiarkan ia melihat kita beraktivitas banyak dengan telepon genggam. Berhasil? Tentu saja. Setidaknya sampai keputusan itu dibuat.
Interaksi dan komunikasi orangtua dengan anak adalah hal yang teramat penting. Pun ketika kami mulai hidup berjauhan, komunikasi tetap harus kami lakukan. Karena tidak mungkin kami berkomunikasi melalui tulisan, maka telepon genggam menjadi satu-satunya peratara untuk kami dapat tetap merasa ‘dekat’. Panggilan suara dan terutama panggilan video wajib kami lakukan setiap harinya. Keingingan saya (dan istri) di awal menjadi gagal total. Secara tidak sengaja, anak saya mulai melihat telepon genggam juga menggunakannya.
Ketika kami memutuskan untuk ‘menitipkan’ anak di rumah neneknya, secara otomatis kami pun memberikan hak kepada neneknya untuk memberikan pola asuh sesuai dengan yang beliau yakini. Maksudnya, kami sudah cukup kurang ajar dengan menganggu waktu istirahat nenek, di usia senjanya, dengan harus mengasuh anak kami. Kurang elok rasanya jika kami harus menambahkan tetek bengek pola asuh sesuai dengan yang kami yakini. Dalam batas-batas tertentu kami suka meminta agar anak kami diperlakukan ‘ini itu’ namun untuk kesehariannya, nenek memiliki hak sebagaimana mestinya. Termasuk dengan lingkungan sosialnya. Dan ketika sudah menyentuh lingkaran sosial, lebih banyak lagi yang tidak bisa kami batasi.
Ketergantungan manusia kepada telepon genggam sudah menyentuh segala lini usia. Lingkaran sosial nenek, termasuk di antaranya. Begini ilustrasinya: nenek hidup bertetangga, masing-masing tetangga memiliki anak atau bahkan cucu dan berkumpul. Satu saja dari kumpulan itu membawa telepon genggam maka semakin besar katalisnya untuk anak saya lebih kenal dan dekat dengan telepon genggam. Nyatanya, di usianya yang ketiga, ia sudah cukup mahir untuk membuka youtube, melewati tahapan iklan bahkan untuk memilih dan mengunduh video yang ia suka. Sesuatu yang, sampai saat ini, nenek tidak bisa lakukan. Ia juga tahu fungsi untuk menyalakan telepon dan mengaktifkan paket data ketika sengaja kami matikan. Yang mengerikan, ketika di satu panggilan video ia meminta: “yah, biin kuta, dede mau utub”.
Ketergantungan manusia kepada telepon genggam sudah menyentuh segala lini usia. Begitu juga dengan anak usia tiga tahun itu. Di satu waktu yang menyebalkan, ia bisa menghabiskan baterai telepon genggam yang baru selesai diisi hanya untuk yutuban. Bahkan, ketika kami terjebak lelah menemaninya beraktivitas seharian sedangkan tenaganya masih banyak tersisa, ia akan membawa telepon genggam sebagai medium pengantar tidur. Dalam nuansa kamar yang gelap, tentu saja itu pilihan yang buruk. Sesekali saya sampai harus memarahinya agar dia berhenti.
Tidak, saya tidak akan menyalahkan lingkaran sosial di sekitarnya. Setiap lingkaran sosial memang memiliki pola pengasuhan, pengajaran dan penghidupan yang berbeda dan tentu di luar jangkauan saya untuk mengubahnya. Lagipula, toh, sebenarnya akar masalahnya memang dari kami juga yang kurang tepat dalam mengambill keputusan. Dan kesalahan itu tidak boleh dibiarkan terlalu jauh. Paling tidak, saat ini ada PR besar yang harus kami lakukan. Menyelamatkan kebiasaannya.
Kami tidak bisa menghentikan begitu saja aktivitasnya dalam menggunakan telepon genggam selama lingkungan sosialnya, termasuk kami juga di antaranya, masih aktif menggunakan telepon genggam. Kembali ke paragfraf pertama tulisan ini, berarti kemungkinan itu hampir tidak mungkin. Yang bisa dan harus kami lakukan, menguranginya. Caranya? Kami coba dengan memperbanyak mainan fisik. Robot-robotan, mobil-mobilan, lego palsu, bola dan banyak hal. Kami juga mempersilakan ia untuk bermain kotor di luar. Sepeda, bola (lagi), naik kuda, main tanah pun silakan selama ada yang mengawasi. Bulan lalu, kami ajak ia main ke sawah, bergaul dengan lumpur pesawahan. Dan ia suka. Sempat kami belikan tumpukan buku, sayangnya, hanya beberapa saja yang ia buka sampai sobeknya. Sisanya, masih tersusun rapi dalam lemari.
Untuk telepon genggamnya sendiri, kami perlakukan sedemikian rupa. Memastikan tidak ada dokumen, gambar atau video ‘aneh’ adalah salah satunya. Termasuk aplikasi-aplikasi yang memiliki kecenderungan menampilkan iklan yang ‘aneh’. Kami tidak memiliki kebiasaan yang banyak untuk bermain gim di telepon genggam. Kalau pun ada, kami memang lebih suka memainkan game yang agak kekanakan. Sejauh ini, untuk gim, aman. Untuk youtube, sebagai aplikasi yang paling sering ia gunakan, kami siasati dengan mode terbatas di tambah pengkhususan pemakaian. Maksudnya, aplikasi youtube hanyak boleh dipergunakan oleh ia seorang. Kami, orangtuanya, kakek-neneknya, paman dan tantenya, sebisa mungkin tidak perlu membuka youtube di telepon genggam, jika pun harus, gunakan peramban dan rutin melakukan penghapusan riwayat pemakaian. Tujuannya? Agar video yang muncul pada riwayat, rekomendasi, dan feed utama hanya sebatas video yang biasa ia mainkan. Baby Shark, Upin & Ipin, Adit Sopo Jarwo, dan Bob The Train menjadi penghias youtube kami.
Telepon genggam bagaikan dua sisi mata pisau yang memiliki sifat berlawanan. Dalam porsi yang pas, telepon genggam juga (ternyata) dapat membantu sensor motorik anak. Terima kasih untuk Bob The Train dan siapa pun yang berada di belakangnya. Karenanya, ia mampu lebih cepat menghafal bagian tubuh, nama-nama binatang dan warna dalam dua bahasa, suaranya, beberapa lagu yang menyenangkan, serta tarian yang menggemaskan. Upin & Ipin, sebelum tokoh-tokoh Ultra-Man muncul, pun membantu banyak untuk anak melafal doa, berdialek dan juga (lagi) menari dan bernyanyi.
Sudah sejak lama kami, orangtuanya, alfa memegan telepon genggam di depan anak kecuali untuk satu tujuan: berfoto. Ia yang terlalu sering difoto, sekarang ini malah ogah-ogahan. Ia bosan menjadi objek, maka sekarang ini, ketika orangtuanya mengambil foto, direbutnya itu telepon genggam, dimintanya orangtua untuk bergaya. Lalu, ia sendiri yang akan mengambil foto. Lucunya, beberapa foto memperlihatkan hasil yang baik untuk anak seusia itu. Baik dari sudut pengambilan, timing, dan pencahayaan. Kalau kamu melihat bagaimana ia mengarahkan kami sebelum berfoto. Astaga, begitu menggemaskan. Di bawah ini ada beberapa contoh foto yang bisa saya publikasikan.
Alternatif paling ampuh adalah dengan cara mengalihkan fokus anak agar tidak terlalu “ingat” HP. anak kami sangat mudah teralihkan dengan mainan “lego palsu” , bola (seperti yang di tempat mandi bola), dan paling ampuh adalah dengan naik odong-odong (disini sekali naik 10 rebu sepuasnya asal gak malu sama anak lain yang ngantri).
Tapi saya setuju juga bahwa anak sekarang dapat lebih cepat berkembang dengan belajar dari HP.