Scroll Top

Sepakbola Dari Ujung Teras

Senja di penghujung November, adalah rutinitas kami duduk di teras menghabiskan waktu dengan secangkir kopi untukku, dan segelas susu atau teh manis untuk dia – tentu saja, anak sekecil itu belum aku izinkan untuk terkontaminasi kafein kopi. Tak lama ibunya datang menyuguhkan pisang goreng kesukaan Daffa, nama anak itu, lengkap sudah amunisi kami untuk membunuh waktu, setidaknya sampai matahari benar benar tenggelam nanti. “Ini obrolan lelaki, Bunda” Daffa dengan sopan tapi tegas menolak permintaan ibunya untuk ikut bergabung.

“Kali ini tentang apa, nak??” aku mengeluarkan kalimat pembuka, yang selalu sama setiap Minggunya, rasa-rasanya anak ini memiliki banyak pertanyaan berbeda tiap minggunya, pernah Daffa menanyakan dampak kenaikan BBM yang dinaikan pemerintah beberapa waktu lalu, lain waktu tentang penyebab pemanasan global, cara membuat film kartun, mukzizat para Nabi, sejarah demokrasi, rasi bintang, zodiak, dan aku sampai terkejut saat Daffa bertanya “Ayah, Sasha Grey itu siapa??”. Aku terkejut karena dua hal : 1. Dengan siapa dia bergaul 2. Jangan jangan folder komputer lupa aku sembunyikan.

“Piala Dunia Ayah, di sekolah sedang ramai membicarakan itu” kalimat Daffa membuyarkan lamunanku tentang kemungkinan pertanyaan aneh lainnya. “Hahaha Ayah pikir tentang apa, lihat tadi kau bahkan mengusir ibu masuk” Aku tertawa lega topik kali ini tidak terlalu sulit nampaknya. Aku lancar menjelaskan tentang sejarah Piala Dunia, dimana pertama kali diselenggarakan, siapa juaranya, tim yang paling banyak meraih gelar juara, Daffa mantap mendengarkan sesekali dia mencatat agar tidak lupa. “Diego Si-me- … , siapa Ayah ??” Daffa kesulitan mengucapkan nama pemain tengah timnas Argentina di era 90-an akhir. “Diego Simeone nak, kau tahu David Beckham ?? Pelatih Inggris saat ini , 23 tahun yang lalu, di Piala Dunia Perancis gara gara provokasi Simeone itulah Beckham mendapat kartu merah, kau tahu ?? itu pertandingan sepakbola pertama yang Ayah tonton, nak” anak kecil itu menulis SIMEONE di kertas yang ia pegang. “Sejak pertama Ayah menonton sepakbola, sampai sekarang Inggris yang mereka sebut Tanah Kelahiran Sepakbola belum lagi menjadi Juara, rasa rasanya di Qatar tahun depan pun mereka tak mampu berbuat banyak, nah, kau mau bertaruh nak siapa juara Piala Dunia di Qatar tahun depan??” Daffa menggelengkan kepalanya, enggan.

“Kenapa Indonesia tak pernah ikut Piala Dunia, yah??”

Ada jeda beberapa saat setelah pertanyaan itu, aku gunakan beberapa detik waktu untuk meminum kopi yang mulai dingin, aku membutuhkan waktu beberapa detik lagi untuk bisa menjawab pertanyaan itu.

“Negeri ini tak mengizinkan kita untuk bermimpi, nak”

Ada jeda waktu yang lebih panjang untuk kami diam, wajah Daffa yang tampak bingung dengan jawabanku tadi menghiasi teras rumah kami, di sabtu senja di penghujung November.

“Kata mereka, di Italia 1938 Indonesia jadi salah satu peserta, Nak. Dengan nama Hindia Belanda, tapi Ayah tak pernah mau sudi mengakui sejarah itu, silahkan saja kau cari di buku apa yang kau pegang tadi ?? Ensiklopedia Piala Dunia ?? barangkali ada tertulis disana, di Italia 1938 tak pernah ada Merah Putih yang berkibar, Indonesia belum merdeka saat itu, tentu saja tak ada bendera Merah Putih, Indonesia Raya apalagi, mereka datang untuk bendera yang berbeda, hanya saja mungkin tiket kapal yang mereka pegang berasal dari Jakarta, tanjung priok atau darimanalah Ayah tidak tahu” tak pernah aku melihat Daffa begitu serius mendengarkan jawaban di sesi ngobrol sore seperti ini, dia hampir lupa dengan susu dan pisang goreng yang disiapkan ibunya, ah, boleh jadi karena sekarang inilah pertama kalinya aku menjawab dengan semangat yang sama dengan si penanya.

“Ayah tak banyak tahu tentang perjalanan sepakbola di Indonesia, yang Ayah tahu tak pernah sekalipun sepakbola negeri ini berdiri bangga di panggung Piala Dunia. Kita hidup di negeri yang selalu banyak menuntut, tentu saja kau juga tahu itu, harga bahan bakar murah, upah tinggi adalah materi tahunan yang selalu dituntut masyarakat negeri ini tiap tahun, Indonesia adalah negara yang tumbuh kembang mencintai sepakbola, nantilah sesekali Ayah ajak kau ke stadion untuk membuktikan omongan Ayah ini, tapi, Nak. kebiasaan masyarakat untuk menuntut banyak seketika hilang jika membahas tentang sepakbola negeri ini, setiap bercerita tentang sepakbola Ayah dan mungkin orang lain selalu menyisipkan kalimat Indonesia ke Piala Dunia” tanganku terangkat membentuk isyarat tanda kutip. “Tapi hanya sebatas itu nak yang kami bisa lakukan, tentulah kami tahu diri, kondisi yang ada jelas seperti, apa yang kau bilang kemarin ?? Pungguk merindukan bulan ?? Ya itu, kami tahu batas sampai dimana kami boleh menyimpan mimpi”

“Tapi Ayah selalu bilang kalau kita harus punya mimpi kan yah ?? Ayah bilang, dari mimpi kita punya kemauan untuk berusaha”

Aku tersenyum, anak ini memang tak pernah puas dengan penjelasan singkat. Aku pamit sebentar pada Daffa, masuk kedalam rumah untuk isi ulang kopi yang sudah habis diminum. Daffa mendengus tanda tak puas, nampaknya ini akan menjadi obroloan yang lebih lama dari biasanya.

Setelah beberapa menit, aku kembali ke teras rumah, Daffa sudah cemberut tak sabar. “Sampai mana tadi kita nak?? Mimpi ?? Begini sajalah, kau punya mimpi jadi Dokter atau Insinyur atau Arsitek -hei kamu belum pernah cerita tentang cita-citamu pada Ayah, kita bahas ini nanti. Betul seperti yang kau bilang tadi,  dengan mimpi kita punya kemauan untuk berusaha, belajar. Tapi bukankah belajar itu adalah proses panjang yang seharusnya tak pernah berhenti ?? Kau tak akan pernah bisa jadi sarjana hanya dengan belajar dua tiga bulan di bimbingan belajar berkelas”

“Itu yang tidak dimiliki sepakbola negeri ini, Nak, kemauan untuk belajar. Indonesia dan penikmat sepakbola didalamnya tentu punya mimpi masuk Piala Dunia, tapi sampai mana kita bisa menjaga mimpi itu jika mereka para petinggi Federasi itu seolah tidak punya kemauan yang sama dengan kebanyakan padahal karena olah pikir merekalah nasib sepakbola negeri ini ditentukan, tentu saja petinggi federasi itu yang mengatur, melakukan dan bertanggung jawab terhadap sistem sepakbola negeri ini. Petinggi federasi itu tak pernah memikirkan proses belajar jangka panjang, peduli amat dengan proses, untuk mereka yang penting hasil. Ayah menebak para petinggi federasi itu adalah mantan anak anak kost yang makan malamnya selalu dengan mie, gak mau susah, INSTANT !!!” aku menaikan nada bicara, seolah kesal.

“Padahal Ayah, mereka harusnya tahu ada proses pembuatan yang cukup panjang sebelum jadi mie instant dalam kemasan yang mereka makan” Daffa tampak tak sabar ingin berkomentar.

Sudah berapa kali anak ini membuatku tersenyum dengan pernyataannya.

“Nak, pernah beberapa waktu lalu Indonesia sempat diberi harapan tinggi lewat sepakbolanya –setidaknya untuk level Indonesia, tapi para petinggi federasi itu dengan cepat mengambil harapan itu. Dalam setiap kegagalan sepakbola negeri ini mudah saja bagi kami meng-kambinghitam-kan para petinggi Federasi, bagaimana tidak, seperti yang Ayah bilang tadi mereka lah yang membuat, melakukan dan bertanggung jawab terhadap sistem sepakbola negeri ini. Kau belum lahir saat itu nak, sekitar 10 tahun yang lalu, di Piala AFF 2010, masyarakat sepakbola negeri ini sempat dibuat senang, sepakbola negeri ini sudah mencapai final di kompetisi tersebut, kompetisi yang seharusnya menjadi ajang dominasi untuk sepakbola negeri ini, jelas saja hanya satu dua negara yang secara statistik memiliki kemampuan yang seimbang dengan sepakbola negeri ini, tapi kelakuan para petinggi federasi itu yang lagi lagi membuat senang masyarakat sepakbola kita hilang, lagi lagi sepakbola negeri ini gagal”

Nampaknya aku harus menyuruh Daffa untuk berhenti mencatat obrolan ini, terlalu panjang, dia bisa merekam dengan seluler layar sentuh milik Ibunya jika mau.

“Beberapa waktu setelah itu, kami, masyarakat sepakbola negeri ini kembali dibuat senang, kali ini beberapa wakil pemuda dari pelosok negeri berhasil menjadi Juara di Piala AFF 2013 untuk usia dibawah 19 tahun, kau tahu nak para pemuda ini bisa berkumpul dari proses pencarian panjang pelatih mereka kala itu. Lalu tebak setelah itu, alih-alih berkembang, para petinggi federasi itu malah mengeksploitasi anak-anak muda penuh potensi itu, apa istilah yang tepat agar kau lebih mengerti , oh iya para petinggi federasi itu malah memaksakan anak-anak muda penuh potensi itu untuk mengikuti kegiatan yang tak penting, stripping persahabatan mereka dijual demi hak siar, mudah saja mereka melakukan itu, siapa pula yang tak mau melihat pahlawan baru sepakbola negeri ini?? Apa yang terjadi setelah itu nak?? Di kompetisi berikutnya, anak anak muda itu hancur lebur, sama persis dengan mimpi masyarakat sepakbola negri ini yang sama sama hancur”

“Belum lagi bobroknya sistem dalam kompetisi sepakbola negeri ini, jual beli pertandingan, wasit yang disuap, kerusuhan antar supporter, tunggakan gaji hal hal tadi menjadi pemandangan biasa di kompetisi sepakbola negeri ini, rasa rasanya komisi penyiaran perlu memberi label DEWASA atau BIMBINGAN ORANG TUA untuk setiap tayangan sepakbola negeri ini. Terlalu banyak efek negatif, tidak baik untuk tumbuh kembang anak-anak yang menonton. Nak, Ayah yang tak terlalu paham sepakbola ini selalu beranggapan jika untuk masuk Piala Dunia membutuhkan proses belajar panjang, maka kompetisi sepakbola negeri ini adalah sekolah yang tepat untuk mereka belajar. Nah jika kau bersekolah dengan sistem yang rusak –guru mudah disuap, kedisiplinan rendah, peraturan yang terlalu mudah dilanggar- apa kau bisa lulus sekolah ?? Tentu saja kau bisa, tapi dengan kerusakan sistem tadi ada dampak psikologis yang luar biasa rusak untuk para lulusan, mereka tak akan pernah mampu bersaing dengan lulusan sekolah lain”

Diluar hujan sudah mulai turun. Ah, selain hujan apalagi yang bisa membuat kita bersemangat bernostalgia ?? Sore ini lengkap sudah, hujan diluaran sana, kopi panas yang baru saja aku isi ulang, pisang goreng lezat buatan tangan, dan anak pintar yang selalu ingin tahu. “Minum dulu susu itu nak, Ibumu sudah susah pAyah membuatkannya, atau kau lebih suka Ayah berhenti bercerita??” anak kecil itu mengangguk, menghabiskan susu yang ia diamkan sedari tadi.

 “Sekali lagi Ayah katakan, Ayah beranggapan bahwa kompetisi itu adalah sebuah sekolah, tempat kita menuntut ilmu, dan nantinya mereka yang terbaiklah yang mendapat kehormatan menjadi wakil negeri ini untuk bermain sepakbola di tingkat dunia.  Kau ingat yang Ayah ucapkan tadi ?? Kau tak bisa tiba tiba jadi sarjana hanya dengan belajar dua tiga bulan di pusat bimbingan belajar tak peduli seberapa mahal bimbingan belajar itu. Kau harus mulai dari awal, SD-SMP-SMA-UNIVERSITAS kemudian lulus jadi sarjana. Okelah, masih ada yang berpikiran instant dengan membeli ijazah, gelar sarjana bisa didapat, tapi apa hal itu bisa menghasilkan manusia yang berkualitas ?? Sekali lagi, proses, dari dasar, itu yang tidak dilakukan oleh para petinggi federasi itu, Nak. Mereka jelas punya hak atau bahkan kewajiban untuk membuat sebuah kompetisi yang terstruktur rapi dengan jenjang kompetisi di segala usia, menerapkan semangat juara sedari kecil. Alih alih menerapkan sistem kompetisi berjenjang yang apik, para petinggi federasi itu malah memilih predikat terbaik negeri ini secara Instant, NATURALISASI, kau tahu apa itu Nak?? Mereka yang yang berasal dari negeri orang dan tumbuh kembang di negeri ini, atau mereka yang tumbuh kembang di negeri orang  tapi memiliki garis darah negeri ini, lalu bisa bermain bola. Oleh para petinggi federasi, mereka itulah yang dipilih untuk jadi wakil negeri di pentas dunia. Hei, siapa yang tahu jika di perantauannya mereka hanya seorang wiraswasta, pedagang rokok asongan misalnya, sambil sesekali bermain bola”

“Tapi Ayah, sebagus apapun sistem yang dibuat, bukankah jadi percuma jika orang-orang didalamnya tak pernah mengikuti peraturan sistem yang sudah dibuat tadi ?? Pemain, Pelatih, Wasit, Klub apa mereka tidak bisa disalahkan atas kondisi seperti itu, Ayah??” ini sudah bukan pertanyaan dari anak kecil, aku harus mendiskusikan ini dengan istriku nanti, dari siapa anak kecil itu belajar sampai bisa berpikiran sejauh ini, untuk anak berusia 6 tahun ini berlebihan.

“Kau betul, tapi begini sajalah kau jelas akan dihukum jika kau bolos sekolah tanpa keterangan, tapi coba kau berandai jika sekolahmu tidak melarang muridnya membolos apa kau bisa dihukum ?? Sama hal nya dengan sepakbola negeri ini. Pemain, pelatih, wasit, klub semuanya hanya bidak catur yang berjalan mengikuti aturan, Nak. Jika saja hukum dan peraturan bisa dibuat hebat oleh petinggi federasi itu, klub mana yang berani berbuat salah ?? wasit menerima suap, pertandingan yang diatur, pemain titipan, mana ada yang berani ?? sekarang kau dihukum oleh federasi, sebentar lagi kau bisa bebas dari hukuman dengan alasan yang bisa dibuat. Bahkan jika kau belum tahu, federasi itu pernah dipimpin oleh orang dari dalam penjara, Nak. Apakah hukum dan sistem yang hebat memperbolehkan hal seperti itu??”

“Saking parahnya sistem sepakbola negeri ini, bahkan waktu itu pernah ada sekelompok orang yang berusaha membuat federasi tandingan, sayang sekali kelompok orang itu sama saja dengan federasi yang ada sebelumnya. Rasa-rasanya hanya negeri ini, Nak. Yang mempunyai dua federasi dua liga sama tinggi dengan sistem yang sama persis, rusak.”

“Aku belum tahu tentang dua federasi itu,Yah” anak kecil itu semakin bersemangat mendengar ceritaku.

“Nanti sajalah kau cari tahu sendiri, Ayah lanjutkan dulu cerita tadi” Aku malah lebih bersemangat daripada anak kecil itu. “Tahun 2014 beberapa bulan sebelum kau lahir, sepakbola negeri ini menjadi berita besar di mata masyarakat sepakbola dunia, tentu saja bukan karena prestasi. Kematian pemain yang tak diurus, pertandingan ala sinetron –terskenario dagelan terburuk sepanjang sejarah, ditambah tragedi hancur leburnya sepakbola negeri ini di Piala AFF 2014. Puncaknya masyarakat sepakbola negeri ini menuntut para federasi itu mundur –ini pernah mereka lakukan 3 tahun sebelumnya, berhasil, hanya saja petinggi federasi pengganti sama buruk dengan yang sebelumnya, maka kali tuntutan baru ditambahkan : bubarkan saja federasi itu.” Aku menutup kalimat sambil meminum kopi  yang lagi lagi mulai dingin.

“Lalu bagaimana yah?? Daffa menelan ludah, entahlah karena dia penasaran atau apa.

“Suasana makin memanas saat itu, tentu saja tuntutan di 2014 adalah akumulasi kekesalan masyrakat sepakbola negeri ini selama bertahun-tahun. Mau tak mau pemerintah saat itu turut campur dalam masalah sepakbola negeri ini, sayang sekali, federasi sepakbola dunia jelas menulis tak mengizinkan pemerintah campur tangan dalam masalah federasi sepakbola negeri. Setelah berulang kali lolos, kali ini sanksi dari federasi sepakbola dunia tak bisa dihindari –atau mungkin lebaih baik jangan lagi dihindari, federasi beserta sepakbola negeri ini diskorsing 8 tahun. Kau tak pernah melihat berita tentang sepakbola negeri ini bukan?? Itulah alasannya”

“Lalu kompetisi sepakbola nasional yang kau lihat sekarang” aku buru buru menambahkan sebelum anak itu bertanya. “Tentu saja bukan hasil dari pemikiran federasi, kompetisi yang ada sekarang adalah kompetisi non-professional yang dibuat sangat professional oleh anak-anak muda visioner dari organisasi gabungan pengurus klub sepakbola yang ada di negeri ini, mereka duduk bersama membahas konsep jangka panjang bernama liga , membuat sistem yang sedemikian apik, secara berjenjang, kau tahu? dalam liga ini sama sekali tak diizinkan pemain asing masuk, mereka melakukan semua itu agar sepakbola negeri bisa berdiri lari setelah mati suri”

“Para petinggi federasi itu memiliki kepentingan pribadi, Nak. Berbeda tiap masing masing kepala. Pun dengan anak-anak muda itu, mereka memiliki kepentingan pribadi, hanya saja Ayah rasa kali ini kepentingan mereka semua sama : MEMBAWA SEPAKBOLA NEGERI INI KE PIALA DUNIA”

Lembayung senja mulai samar berganti dengan malam, matahari sudah sedari tadi pergi, langit menjadi gelap dengan sendirinya. Kopi itu pun habis untuk kedua kalinya, tapi tidak dengan semangat anak kecil itu.

“Lalu bagaimana dengan hal-hal di luar sistem itu yah?? Perilaku supporter misalnya ?? Berarti sepakbola yang sekarang tidak memiliki hukum ?? Jika ada yang melanggar ?? Kapan sepakbola negeri ini lepas dari skorsing, Yah?? Serbuan pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut seorang anak kecil berusia 6 tahun.

“Kita bicarakan ini lain kali, Nak. Lihat didalam ibumu sudah memanggil, dan dari tadi keadaan di luar sudah tidak bisa kita sebut sebagai sore, kau harus meminta jadwal baru pada ibu untuk kita berdua, ngobrol malam hari mungkin, atau ngobrol sehari penuh?? Tentu saja ibumu tak akan setuju” Aku tertawa kali ini, dia tidak. “Tentang skorsing itu, dua atau tiga tahun lagi hukuman itu akan selesai, mari kita berharap banyak pada anak-anak muda tadi”

“Aku ingin membawa negeri ini ke Piala Dunia, Yah ??”

“Oh ya?? tentu saja kau bisa, itu bagus. Kau ingin jadi pemain sepakbola bukan??”

“Tidak Yah, untuk apa ?? Lagipula mana punya bakat aku di sepakbola, Aku anak Ayah, bahkan menendang bola saja Ayah tidak bisa”

Aku diam, anak ini benar. Tapi pernyataan anak kecil itu membuatku ingin tertawa dicampur kesal.

“Lalu , apa yang akan kau lakukan untuk membawa negeri ini ke Piala Dunia, Nak??” kali ini aku yang bertanya.

“Aku akan menjadi petinggi Federasi Sepakbola negeri ini”

…………

Related Posts

Comments (15)

widih. keren banget. baca ini gua jadi teringat sama novelnya tere liye. yang bercerita tentang ayah dan anak. mengalirnya bagus banget. salut deh. dan pesan moral serta endingnya epik. two thumbs up deh

wahh terimakasih sudah berkenan membaca 🙂

‘Ayahku (bukan) pembohong’ itu judulnya , iyaa emang novel Tere Liye keren keren … semoga suatu saat nanti kita bisa punya satu dua buku sebagai hasil karya

aminnnn

cieee dika sekarang nulis di blog yipiieee
ceritanya udah bagus, diteliti lagi eyd-nya ya ;D

Ehh, ada Ibu Editor 🙂

Heheehe iyaa wi, udh agak lama coret coret ga jelas di blog , sering sering mampir yaa wi.

Bawa saran ama kritik :p

Pertama kali berkunjung ke blog ini dan langsung suka dengan tulisannya tentang sepak bola indonesia… bener banget, terkadang di indonesia mimpi anak-anak yang suka bola itu cuma sampai langit-langit rumah… selalu dikandaskan oleh federasinya sndiri… tapi endingnya sangat mengejutkan, anaknya punya cita2 jadi petinggi PSSI. Salut.

Terimakasih mas Fandy, sudah berkenan membaca sampai habis

Ini ditulis pas sehabis dibantai samai Philipin di AFF kemarin, mbok yaa ga menang menang sepakbola Indonesia, meskipun di kelas AFF. meskipun ada Evan dimas, yang dianggap terbaik di generasi baru.
tapi yaa mbok ga menang menang. Lalu kenapa alasannya ??

Yaa jadilah tulisan itu 😀

Keren kak, suka sama ceritanya 🙂

Membaca cerpen ini setelah terpilih sebagai naskah pekan ini di Panditfootball dengan kurator Rossi Finza. Save the best for the last, di cerpen ini juga begitu. Bagian akhirnya mantap 🙂

Terimakasih,

Wah, saya baru tau malah kalo cerpen ini masuk #Naskahterbaikpekanini nya pandit 🙂

#Klarifikasi : saya sudah mengirimkan email kepada kurator Naskah pilihan pekan keempat Februari 2015 mas Rossi Finza. (@rossifinza)

Bahwa naskah ini tidak memenuhi kriteria sebagai naskah pilihan pekan ini , karena diposting pada bulan desember.

Semoga , dikemudian hari ada naskah lain dari blog ini untuk terpilih kembali di #Naskahpilihanpekanini Pandit Football.

Saya menghaturkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Mas Rossi Finza yang sudah memilih naskah di atas.

Keren pak,,, banyakin bahas sepak bola dong 😀

hahaha ..

kalau bola kan udah banyak di blog / portal lain :-)nntapi bola akan tetep ada kok

Jika semuanya berkutat pada regulasi kaku, maka tak mungkin kita menemukan ujung dari benang kusut. Apalagi, saat ini status La Nyalla menjadi buronan pemerintah.

Leave a comment