Scroll Top
Setelah 17 April

Halo, teman! Bisa minta waktunya sebentar? Barangkali ini bisa menjadi alternatif bacaan untuk kamu yang setiap hari menghabiskan waktu untuk mencari informasi yang mungkin kamu gunakan sebagai senjata menjatuhkan lawan atau untuk menguatkan argumentasi kamu sehingga kamu tampak penuh wawasan dan menjadi arogan atau untuk kamu yang sekadar menganggap segala kebangsatan ini sebagai sebuah hiburan. Benar, tentang segala omong kosong yang kamu haturkan, tentang segala cerita yang kamu bagikan, tentang data yang kamu tunjukkan, tentang orang yang kamu harapkan akan menjadi pemimpinmu ke depan.

Namun, sebelum masuk ke masalah utama, izinkan saya mengawalinya dengan satu frasa yang menawan: PERSETAN KALIAN!

Saya tahu mendukung dan mengidolakan seseorang tidak pernah menjadi sesuatu yang salah. Saya juga memiliki daftar beberapa nama yang saya idolakan, kok. Hanya saja yang terjadi belakangan, yang membuat saya muak luar biasa, di dunia politik saat ini yang terjadi bukan lagi memperlihatkan bentuk dukungan pada umumnya. Alih-alih ‘mendukung’ atau ‘mengidolakan’ mereka, para pendukung pasangan calon itu, lebih suka berekspesi dengan cara yang berbeda: menghina.

Kamu bisa melihat di linimasa semua media sosial yang kamu miliki. Sekarang. Silakan. Dan jangan lupakan juga kolom komentar yang disediakan. Pertarungan sengit para fanatik dari dua kubu yang bersebrangan yang dengan konsisten saling menunjukkan ketololan yang maksimal selalu ada di hampir semua waktu.

Tak peduli di waktu ketika sebagian besar orang masih tertidur pulas atau di waktu sebagian orang hendak berangkat tidur atau bahkan di waktu kebanyakan orang sedang tidur. Di waktu makan pagi, makan siang, makan malam atau bahkan di waktu-waktu orang tidak biasa makan adu argumentasi tahik kucing itu senantiasa ada. Caci maki, tipu daya, kesesatan logika, tautan penunjang asal-asalan kerap bergantian (atau bersamaan) hadir di arena debat. Lucunya, kebanyakan dari mereka itu bukan mengekspresikan diri dengan cara memberikan dukungan kepada pasangan yang mereka dukung dan idolakan. Tampaknya, bagi mereka itu, menghina pasangan yang tidak mereka dukung jauh lebih menyenangkan.

Saya bahkan curiga, apa itu yang mereka lakukan memenuhi nafsu syahwat? Merasakan kegairahan yang mengerikan dari ujaran kebencian dan untuk senantiasa taat dalam ibadah saling hujat lantas bermasturbasi dengan khidmat.

Sumber gambar: empathy dot club

Parahnya, yang semula caci-maki itu hanya ditujukan untuk pasangan calon pemimpin, makin ke sini makin bergeser. Caci maki akan berlaku juga untuk pasangan calon dan sesiapapun yang ada di belakangnya. Termasuk juga para pendukungnya. Sehingga tak segannnya mereka untuk saling melabeli serupa binatang.

Najis, ya? Iya. Semenjijkan itulah memang para pendukung garis keras pasangan calon pemimpin negeri ini.

Beberapa hari yang lalu sempat muncul kalimat seperti ini di media sosial: ‘Dipertemukan oleh media sosial, didekatkan oleh layanan pesan singkat, dipisahkan oleh pilpres’.

Saya tersenyum getir membaca kalimat tersebut. Menyebalkan tapi, ya, seperti itulah kondisinya saat ini. Nyatanya, dari banyak sekali contoh yang ada, fenomena tersebut bukanlah sebuah mitos belaka. Tidak sedikit rusaknya pertemanan atau persaudaraan hanya karena berbeda pilihan. Dimulai dari unggahan media sosial, kemudian saling berbalas komentar yang menyudutkan pihak yang bersebrangan. Imbasnya paling tidak, ya, saling diam karena malu ketika temu jumpa. Jumlahnya? Tak terhitung.  Itu kasus yang paling sederhana. Yang paling parah? Untuk kamu juga ketahui, sudah ada korban jiwa dari fenomena bangsat ini. Lalu pertanyaannya yang muncul: sampai kapan ‘kalian’ akan seperti ini terus?

Dan hitungan mundur sudah dimulai. Tinggal bilangan hari sampai puncak dari pesta demokrasi. Pertanyaan yang kemudian muncul. Apakah setelahnya kegaduhan ini akan berhenti?

Saya tidak yakin.

Bukan saya pesimis. Tapi hampir lima tahun yang lalu saya pernah menulis hal yang mirip, jika tidak bisa dikatakan sama. Tentang bagaimana muaknya saya dengan kecenderungan orang yang senantiasa suka untuk saling cela hanya karena berbeda pilihan.

Dengan sedikit perbaikan kata, dalam satu paragraf pada tulisan tersebut saya menulis:

Reaksi positif dan negatif dalam pesta demokrasi ini berjalan beriringan. Dalam kasus ini, ketika satu manusia telah menentukan pilihannya. Maka hormon-hormon di sekujur tubuhnya akan terus bereaksi untuk mencari pembenaran atas apa yang mereka pilih, Demi secuil harga diri atau sebuah arogansi mereka tak akan sudi menerima hal negatif atas apa-apa yang telah mereka pilih. Salah satu pihak yang tidak terima akan membalas mencari pembenaran dan, tentu saja, celah untuk mencari poin negatif dari pihak yang bersebrangan. Meskipun cuma setitik akan menjadi efek bola salju, terus begitu sampai menjadi siklus.

Dan sekarang, bisa kita lihat. Pembenaran tersebut kini telah menjadi siklus. Menjadi rantai yang tak kunjung putus. Serupa pasir hisap, pola tersebut menarik paksa orang-orang yang berada didekatnya untuk terlibat masuk ke dalam sebuah budaya busuk.

Siapa yang bisa mengubahnya?

Sumber gambar: futurism dot com

Kita. Saya, kamu, mereka. Dan semua yang masih mau berpikiran waras. Yang mau berjiwa besar dan sadar bahwa pemilihan umum, pilpres dan juga segala turunannya, hanyalah sebuah pesta demokrasi belaka. Dan layaknya sebuah pesta, seharusnya ia dibuat untuk menjadi menyenangkan. Menyenangkan untuk semua yang hadir dan terlibat di dalamnya. Tak peduli dengan siapa atau untuk apa ia datang. Pesta, tetap harus menyenangkan.

Berhenti mencaci! Karena percayalah, masing-masing dari kita adalah solusi untuk menyudahi elegi demokrasi.

Jika kamu pikir tulisan ini terlalu beromong kosong. Silakan saja buka kembali kitab sucimu atau buku-bukumu. Karena agama, tak peduli Tuhan mana yang paling benar menurutmu, atau buku dan ilmu, tak peduli seberapa panjang gelar di belakang namamu, semuanya tak pernah mengajarkan dan membenarkan dendam dan kebencian. Agama yang kau imani dan ilmu yang kau kuasai tak akan pernah sudi dijadikan dalih dan alasan untuk saling membenci.

Pemimpin pilihanmu tak akan pernah peduli sebagaimana rusak hubungan kamu dengan temanmu, dengan saudaramu dengan orang-orang di dekatmu. Sebagaimana juga ia tidak peduli seberapa besar sakit hati yang kamu terima ketika kamu mendapat cela. Sebagaimana juga ia tidak peduli seberapa besar dosa yang kamu buat hanya karena saling hina. Sebagaimana juga ia tidak peduli dengan bagaimana nasibmu nanti.

Apapun hasilnya nanti. Setelah 17 April, kita sendirilah yang akan menentukan arah langkah hidup yang kita pilih. Dan, orang-orang di sekitar kita, yang sekarang ini kita hina, adalah orang yang akan pertama kali tahu dan mungkin juga membantu, jika kita merasa perlu, atas apa-apa yang terjadi di hidup kita.

Apapun hasilnya nanti, dan siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri ini, semoga yang terbaik untuk negeri ini. Kita doakan bersama-sama. Jika pun hasilnya tidak selalu seperti yang kita harapkan, tidak sama dengan yang kita inginkan, mari menjadi pengomentar yang cerdas dan berkelas. Dengan kita memulai untuk tidak saling menghina hanya karena kita berbeda, kita bisa menghentikan siklus kebencian yang terkutuk.

Berhentilah.

Sekali lagi, saya mohon dengan sangat. Jika bukan demi anak cucumu agar kelak tidak juga menjadi pembenci, setidaknya tolong demi salah satu sila yang mendasari negeri ini: Persatuan Indonesia.

Catatan:

  • Mungkin ada beberapa kata dan kalimat di atas yang juga kurang pantas diucapkan. Saya mohon maaf karenanya. Itu saja.
  • Dan untuk puan dan nyonya ‘di sana’ yang memiliki banyak sekali kepentingan, bersikaplah serupa manusia. Jangan gunakan ambisi kalian untuk mengadu domba kami yang ada ‘di sini’. Masalah di akar rumpun bermula dari keegoisan kalian dalam memilah kata. Jika pun sulit untuk menjadi manusia. Jadilah patung belaka. Diam. Tutup mulutnya rapat-rapat.

Related Posts

Leave a comment