Populasi adalah sekumpulan individu dengan ciri-ciri sama (satu spesies yang sama) yang hidup dalam tempat dan waktu yang sama. Kemudian ia tumbuh bersama-sama bersama satu atau dua atau lebih kumpulan itu melakukan hubungan timbal balik dengan habitat atau lingkungannya sehingga timbul suatu kesatuan ekologi yang dinamakan ekosistem. Saya ingin membahasnya lebih jauh. Tetapi biologi, sudut keilmuan yang membahas tentang rangkaian individu-populasi-komunitas-ekosistem, adalah salah satu mata pelajaran yang paling saya benci. Saya mendapatkan remedial di hampir setiap ulangan. Jadi saya akan mencoba membahasnya dari sudut pandang keilmuan yang lain. Yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai individu, sebagai manusia. Dari sudut pandang sosial.
Akan ada nalar yang beririsan ketika kita membahas rangkaian individu-populasi-komunitas-ekosistem dari sudut pandang sosial. Bahkan dari sudut pandang keilmuan apapun deskripsi tentang individu -sebagai turunan terendah dalam rangkaian ini, sampai dengan komunitas akan tetap sama. Baru kemudian di bagian akhir, akumulasi dari semua proses, itulah yang berbeda. Jika dalam biologi kita menemukan ekosistem sebagai akhir dari semua rangkaian proses. Di ilmu statistik, kumpulan individu-populasi-komunitas membentuk sebuah inferensi data. Maka, jika diperbolehkan, bolehlah kiranya saya mengasumsikan bahwa dalam kehidupan sosial rangkaian ini semua akan menghasilkan sebuah budaya.
Maksudnya begini, individu adalah sebuah substansi yang unik. Masing-masing dari mereka memiliki perilaku, pola pikir dan cara pandang yang berbeda. Hal tersebut, disadari atau tidak, akan menjadi sebuah kebiasaan masing-masing individu yang akhirnya terbawa menjadi sebuah karakter. Bahkan saat individu tersebut sedang berada dalam sebuah kelompok, dalam sebuah populasi. Lalu, dalam populasi, kebiasaan dan karakter yang jamak tersebut akan saling memberi pengaruh kepada masing-masing individu sampai akhirnya terseleksi oleh alam dengan sendirinya. Memilah mana yang sesuai dengan habitat, yang dianggap dapat bermutualisme dengan baik. Karakter dan kebiasaan yang lemah akan dikurangi bahkan sampai benar-benar hilang. Sebaliknya karakter dan kebiasaan yang kuat akan menjadi sedemikian menonjol, dilakukan dengan senang hati berulang kali. Ketika sebuah populasi (ataupun komunitas) bersepakat kepada satu dua karakter dan kebiasaan, maka ia akan bertransformasi lagi menjadi sebuah dogma. Menjadi sebuah budaya.
Sayangnya, karakter yang kuat yang terseleksi menjadi sebuah budaya tidak selalu hal baik.
Misalkan ada satu populasi yang di dalamnya terdiri dari sepuluh individu, delapan diantaranya bebal, keras kepala, angkuh, arogan dan apalah entah hal-hal buruk lainnya yang bisa Anda pikirkan sendiri. Maka karakter seperti itulah yang akan tampak dari populasi tersebut. Yang kemudian nantinya akan bertransformasi menjadi sebuah budaya ketika populasi itu tumbuh dan berkembang. Dua orang yang tersisa yang, katakanlah memiliki sifat mulia, santun, baik hati dan sifat-sifat lain yang bisa merepotkan malaikat di sisi kanan, itu menjadi tidak berguna.
Budaya dan Pasir Hisap
Budaya adalah produk dari kumpulan individu, namun kumpulan individu itu sendiri adalah produk budaya. Dengan kata lain, budaya ada karena individu yang menciptakannya dan individu dapat hidup ditengah budaya yang diciptakannya.
Kembali ke awal. Jika perilaku individu menghasilkan sebuah kebiasaan, lalu kebiasaan menghasilkan sebuah karakter dan karakter menghasilkan sebuah budaya. Maka berikutnya siklus akan berjalan terbalik. Ketika budaya sudah menjadi sedemikian lekat, kebiasaan dan karakter tidak lagi ditentukan oleh individu. Budaya yang sudah kadung tumbuh akan menentukan banyak sekali kebiasaan, karakter bahkan sampai perilaku masing-masing individu yang berada di dalamnya. Budaya yang merupakan hasil dari kesepakatan kolektif akan memaksa individu untuk turut patuh dalam pedoman-pedoman mengenai perilaku yang layak dalam budaya tersebut. Sesiapapun yang melanggar akan dijatuhi sanksi sosial dengan dalih norma dan etika. Budaya itu menjelma menjadi sebuah pasir yang menghisap habis semua karakter masing-masing individu yang bergerak dan terlibat di dalamnya. Untuk melebur individu yang bineka menjadi hanya satu sifat belaka.
Seperti analogi di atas. Ketika suatu budaya dihasilkan dari karakter individu yang bebal. Maka individu tersisa, yang memiliki karakter berbeda, akan menjadi tidak berguna. Dalam arti, selama ia berada dan terlibat di situ, sedikit demi sedikit karakter dan perilakunya akan berubah mengikuti budaya yang ada di sekitarnya. Bahkan untuk individu yang memiliki karakter dan prinsip yang kuat sekalipun akan ikut terhisap habis karena ogah melanggar norma dan etika kebudayaan hasil kesepakatan kolektif tersebut. Bukan karena lemah, bukan karena pengecut. Hanya terkadang sanksi sosial atas pelanggaran norma dan etika lebih menyebalkan ketimbang sanksi hukum. Ya, meski sebenarnya norma dan etika sendiri tidak pernah memiliki standar yang benar. Semua bergantung pada mereka yang bersepakat.
Lalu, jika begitu, apa cara terbaik untuk tidak tersedot masuk oleh pasir hisap? Betul. Diam.
Diam yang berarti diam. Diam yang berarti tidak mau peduli dengan arus yang ada di dalam budaya tersebut. Diam yang berarti menunggu atau meminta seseorang untuk membantu kita keluar dari pasir hisap budaya. Atau, jika beruntung, diam yang berarti menunggu individu-individu bebal di dalam budaya tersebut membuat kesepakatan kolektif baru yang membuat budaya berjalan kearah yang semestinya.
Jika Anda sedang berada dalam budaya yang baik. Sudikanlah diri untuk terhisap habis ke dalamnya.
Sedangkan saya? Saya sedang diam. Diam untuk segala arti. Diam untuk membiarkan waktu menjelaskan apa yang akan terjadi nanti di budaya yang sudah kadung busuk ini.
Teruntuk seseorang. Ada yang mendengarkan saya?