Scroll Top

Pembimbing Utama

Saya yang sedang mencoba mempelajari kembali Bahasa Indonesia sempat menjadi menyebalkan ketika, dalam beberapa kasus tertentu, selalu mencoba memperbaiki bahasa orang-orang di lingkaran saya, terutama bidang tulis di situasi formal, agar sesuai dengan kaidah kebahasaan. Setidaknya dengan informasi yang saya ketahui belaka. Saya cukup sebal ketika menerima surel resmi dari rekan kerja –atau malah pihak luar dengan tanda baca yang berantakan atau menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam percakapan non-formal. Lama-lama saya, yang masih bodoh, mulai memaklumi dua hal tadi. Pikir saya tidak semua orang, kan, mau atau peduli dengan kaidah kebahasaan. Jika saya sedang tidak berusaha kembali belajar, tampaknya, saya pun akan peduli setan dengan namanya kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ribet, gan!

Tapi dibanding dua hal tadi ada satu yang lebih menyebalkan: penggunaan huruf kapital berlebihan!

Saya juga pernah sedemikian menyebalkan ketika, beberapa tahun yang lalu saat saya masih begitu menggemaskan, konsisten menulis status pada beranda Facebook dengan huruf kapital yang asal. Dan saya merasa kotor anjir ketika mengingat dan atau ketika status-status lama tersebut itu tidak sengaja muncul kembali di linimasa.

Sebenarnya tak perlu mempelajari Bahasa Indonesia dengan baik untuk mengetahui bagaimana menyebalkannya penggunaan huruf kapital berlebihan dalam bidang tulis. Bahkan saya pikir di segala jenis bahasa membaca rangkaian tulisan kapital tidaklah menyenangkan. Alasannya penggunaan huruf kapital secara berlebih seolah menunjukkan segala hal keburukkan melalui tulisan. Entah itu ekspresi marah lah, perintah kasar lah. Sederhananya ia menjelma sebagai sebuah ketidaksopanan dalam tulis. Sering saya ditegur oleh teman karena polah seperti itu. Betul juga, pikir saya, dan saya bertobat nasuha: tidak akan lagi sembarangan menulis kapital dengan asal.

Giliran saya kemudian yang sering menegur orang yang masih berada di kegelapan suka menulis dengan penggunaan kapital di hampir sepanjang tulisannya. Dosa paling besar tentu ketika saya dengan sadar memarahi orangtua akibat beliau-beliau mengirimi saya pesan singkat dengan rangkaian huruf kapital memenuhi seluruh layar. Jika ‘satpam tulisan’ yang sering mengomentari tulisan (dan juga kaidah-kaidanya) termasuk dosa besar, boleh jadi saya lah yang menerima dosa paling besar. Tidak sering, memang. Tapi sekali saya melakukannya, orangtua saya lah yang menjadi sasaran. Dua-duanya sekaligus.

Tidak masalah, karena memang sudah sedemikian sebalnya saya dengan kebiasaan salah dalam menulis kapital. Urusan dosa, nanti saya tobat lagi.

MEMAKLUMI KAPITAL AKIBAT POLAH PEMBIMBINGUTAMA

Itu cerita lama, beberapa tahun lalu yang banyak. Hari ini kekurangajaran saya dalam menegur mereka-mereka yang masih senantiasa bebal menggunakan huruf kapital secara asal sudah jauh berkurang. Hampir tidak ada. Meski, ya, sebetulnya, sih, masih gatal sering ingin menegur.

Namun beberapa waktu terakhir saya seolah melupakan dan mengabaikan cerita yang saya jabarkan di atas. Saya menjadi menikmati, jika tidak bisa dibilang menunggu, rangkaian kalimat dalam huruf kapital yang dibuat oleh satu orang kurang ajar: pembimbing utama. Ia adalah akun anonim di twitter yang baru eksis seumur jagung. Brengseknya, popularitas belio sekarang ini sudah jauh melebihi khalayak yang jauh lebih dulu eksis. Termasuk saya. Yang tidak kemana-mana meski gubernur DKI sudah berganti empat kali.

Sesuai namanya, di linimasa, di awal mula ia hanya membahas tentang apa yang terjadi di lingkaran mahasiswa dengan dosen pembimbingnya. Yang membedakan antara ia dengan akun anonim yang lainnya adalah, seperti yang saya jelaskan di atas, penggunaan huruf kapital abadi. Menabrak etika dan kebiasaan para dosen pembimbing yang biasanya begitu peka dengan kaidah kebahasaan. Maksud saya, berbatas pada penggunaan huruf kapital saja. Jika diperhatikan, kata dan kalimat yang yang ia gunakan masih sesuai, kok, dengan kebanyakan kata di dalam kamus berbahasa Indonesia.

Entah siapa yang mempopuleri akun twitter dengan nama profesi. Seingat saya selain pembimbingutama masih ada beberapa akun lain yang menggunakan profesi sebagai namanya. Entahlah saya lupa. Yang saya ingat polanya sama. Mencoba membuat lelucon dari profesinya masing-masing. Mencoba cari lucu. Sampah.

Ini lah kemudian yang, saya pikir, membuat pembimbingutama masih ada dan tetap disuka. Belio mungkin tahu bahwa hidup tidak harus selalu lucu. Cuitan-cuitan yang muncul di akun pembimbingutama tampak begitu alami sebagai cuitan seorang dosen yang kerapkali dibuat pusing oleh polah mahasiswanya. Atau keseharian belio sebagai ayah dari Bagas dan Salsa atau sebagai seorang tetangga atau apapun yang seolah mempertegas bahwa Bambang Widodo, Sang Pembimbing Utama, adalah maujud yang nyata. Ia ada dan jenaka.

Ia kemudian tumbuh menjadi anonim yang cerdas. Memaksa semua yang berada di lingkaran sosialnya untuk masuk ke dalam dunia yang ia ciptakan dalam benak imaji seorang pembimbingutama. Lihatlah bagaimana kemudian netijen dibuat gregetan dengan mencoba menjawab segala monolog Sang Pembimbing. Termasuk selebritas-selebritas tanah air. Secara tidak sadar ia menjadi tenar dan besar. Ia tidak mencoba melucu namun itulah kemudian yang membuatnya menjadi lucu. Ia tidak mencoba untuk bercanda namun itulah yang kemudian membuatnya menjadi berbeda.

Saya tidak tahu siapa orang yang berada di balik akun pembimbingutama dan saya berharap ia tidak pernah diketahui. Jangan sampai ia menjadi ‘poconggg kedua’ yang berubah tidak menyenangkan setelah identitasnya ketahuan.

Dan akhirnya, setelah saya pelajari, jika dilakukan dengan tepat dan pas penggunaan huruf kapital dalam satu kata, atau satu kalimat utuh, itu cukup penting. Entah itu sebagai bentuk penegasan, perintah atau malah untuk menjadi menyenangkan seperti Pak Pembimbing. Dengan catatan, selera humor kita berada di level yang tinggi seperti belio.

Related Posts

Comments (1)

Si akun Pembimbing Utama ini, hiburan banget buatku, belakangan ini.

Leave a comment