Scroll Top

Menutup Tahun

Tepat satu tahun yang lalu, saya ingat betul sedang melakukan hal yang sama persis dengan apa yang saya lakukan malam ini. Menulis. Yang membedakan adalah ketika itu saya menulis di dalam bangsal rumah sakit demi menemani ia yang terpaksa sakit. Menjadi cerita akhir tahun yang tidak menyenangkan. Dan sekarang saya di kamar Selebihnya sama: di tengah ruangan yang gelap, beberapa waktu setelah tengah malam, ia terbaring lelap dan sepi dan membiarkan tangan saya menari di atas tuts keyboard guna membuat rangkaian kalimat untuk tulisan penutup di tahun yang sebentar lagi berganti.

Menulis rangkuman atas apa yang terjadi dalam rentang waktu terakhir seolah menjadi rutinitas bagi para penulis digital menutup tahun. Saya, entah kenapa, merasa perlu juga untuk terlibat dalam rutinitas itu. Tidak akan terlalu detail, yang penting cukup untuk suatu saat nanti membuat saya ingat ketika membayangkan memori yang terjadi di tahun dua ribu tujuh belas. Tahun yang tidak terlalu menyenangkan untuk saya.

Di awal tahun ini, saya dihadiahi dengan mundurnya seorang partner in crime di tempat saya bekerja. Salah satu yang terbaik. Kemudian satu lagi yang lain dalam waktu berdekatan dan terus. Sampai dua bulan awal di tahun berikutnya saya masih harus dipaksa oleh Tuhan untuk merayakan kehilangan ketika lagi teman terbaik saya mundur dan pergi. Yang terbaik untuk mereka tentu saja tetap saya haturkan doa, cara saya merayakan keputusan mereka, meski kursi-kursi di taman semakin sepi di siang hari dan tinggal saya sendiri.

Beberapa hal yang terjadi di tempat bekerja pun tidak melulu seperti yang diharapkan. Tapi menceritakan semuanya di sini hanya akan membuat saya tampak bodoh dan lemah.

Ketika membaca dan menulis, biasanya, menjadi pelarian saya ketika bosan, sedih atau marah, sekali lagi, tak berjalan terlalu baik di tahun ini. Target baca tidak tercapai, target menulis apalagi. Sejujurnya aktivitas menimbun buku di tahun ini salah satu yang terparah. Satu, dua dan sampai malas saya menghitung hutang bacaan. Lemari buku saya perluas hanya untuk dipenuhi buku-buku yang masih terbungkus rapi dalam plastik. Menguatkan tekad untuk tidak lagi membeli buku dalam waktu tertentu hanya menjadi pepesan kosong belaka.

Untuk dunia tulis, saya mempelajari lebih banyak hal dibanding tahun sebelumnya. Sayangnya saya tidak memanfaatkannya ke langkah yang lebih baik. Alasannya sederhana: bosan. Setelah berinteraksi banyak di tahun sebelumnya. Tahun ini saya memiliki lebih banyak teman di lingkaran penulis digital. Dan tampaknya ini bukan sesuatu yang benar-benar baik dan menarik. Di tengah berkembangnya dunia tulis digital, secara kuantitas maksud saya. Berada di dalamnya hanya membuat saya bosan luar biasa. Di linimasa, di daftar kunjungan, di grup percakapan atau di mana saja selama itu berkaitan dengan dunia tulis. Saya lebih banyak menemukan konten-konten promosi ketimbang konten kreatif. Saya salah satu pelakunya dan saya resah lalu saya muak dan saya menuliskannya. Sehingga akhirnya tulisan itu menjadi tulisan saya yang paling banyak dibaca di tahun ini. Rasa bosan itu, rasa muak itu seolah menjadi alibi yang sempurna untuk menyembunyikan rasa malas saya dalam menulis. Jumlah tulisan yang saya buat di tahun ini  sungguh menyedihkan. Kualitas? Jangan harap ada di sana.

Dan bodohnya saya, di tengah rasa malas ini saya sok-sokan membuat media alternatif untuk saya menulis ulasan hobi lain yang saya sukai: film. Alhasil, saya hanya membuat gudang kosong lain yang tak tersentuh.

Dunia kerja dan dunia tulis-baca mewakili hampir separuh dari garis kehidupan saya belakangan ini. Maka beberapa paragraf sebelumnya, saya rasa cukup untuk menjabarkan betapa menyebalkannya separuh kehidupan saya di tahun ini.

Namun Tuhan selalu maha baik. Untuk separuh kehidupan yang lain: keluarga, dan tentu saja jauh lebih penting. Tuhan memberikan hal-hal penyeimbang yang membuat saya merasa tetap harus bersyukur atas apa yang terjadi di tahun ini.

Ketakutan-ketakutan yang pernah hinggap di benak saya akibat harus hidup berjauhan dengan anak sedikit demi sedikit mulai hilang. Perkembangan Si Jagoan luar biasa mengesankan. Begitu pula cara ia memaklumi kebodohan orangtuanya yang pernah membuat keputusan sepihak. Saya luar biasa lega ketika mendapati ikatan emosional ayah-anak, anak-bunda tetap terjaga sedemikian hangat meski kami hanya bertemu sapa barang satu atau dua minggu sekali. Sedih memang untuk waktu yang berbatas, namun setidaknya kehangatan itu membuat kami lega. Dan tentu saja, bersyukur sedemikian banyak.

Mempertimbangkan apa yang terjadi beberapa tahun terakhir. Saya tidak merasa perlu untuk membuat resolusi di tahun depan seperti orang kebanyakan. Saya tidak pernah benar-benar serius menggenapi resolusi massal dengan usaha. Begitu juga dengan tahun berikutnya. Saya akan membiarkan begitu saja apa yang terjadi di hari-harinya  dengan cara yang, semoga, tetap menyenangkan.

Di luar resolusi massal, rencana-rencana hidup tetap ada. Tentu saja. Dan akan tetap saya jaga. Dan tetap akan ada upaya untuk saya menggenapinya.

Tapi jikapun saya harus untuk memiliki harapan baru di tahun yang baru. Baiklah saya coba harapan yang sederhana: semoga tempat saya menulis, blog ini, tahun berikutnya tetap ada dan terjaga.

Related Posts

Leave a comment