-Halaman sebelumnya : Awal cerita-
***
2013 berikutnya
Entah bagaimana aku harus berterimakasih kepada semua rencana Tuhan. Penundaan mimpi lewat pertanyaan sulit itu setidaknya membuat aku berpikir banyak. Apa yang bisa dia dapatkan jika ketika itu kami memutuskan untuk menikah, mempersetankan semua jawaban dari pertanyaan itu. Lelaki yang egois, abai terhadap tanggung jawab, tak sudi membagi waktu, astaga menyedihkan sekali jika aku harus membayangkannya. Sebagai sepasang kekasih aku mengenal semua kebaikannya, begitu juga sebaliknya. Aku mencintai betul semua kebaikan itu. Tapi kekurangannya?? Yang tidak mungkin tidak ada, apa aku telah mengenalnya?? Bersedia menerimanya dengan baik?? Selagi sempat, aku selalu menemuinya ketika masih menjalani cinta yang berjauhan. Terlalu sedikit waktu itu. Mana bisa aku mengenal semua keburukanya lewat waktu yang sedikit itu. Lagipula, hei, kami baru bisa bertemu berbilang minggu, bahkan terkadang berbilang bulan. Bukankah bersenang-senang, membicarakan mimpi baik tentang kehidupan adalah cara terbaik melepas rindu?? Seperti halnya ketika jatuh cinta untuk kali kesekian terhadap orang yang sama. Begitulah kami ketika itu setiap kali sempat bertemu. Omong kosong dengan sifat buruk.
Dan semenjak minggu lalu. Jarak itu sudah sempurna terbunuh. Kami siap untuk menjalani hubungan cinta berdekatan, untuk pertama kalinya semenjak janji itu disepakati. Meskipun dari atap yang masih berbeda, setidaknya sekarang ini banyak hal yang bisa kami bicarakan, banyak cerita yang bisa kami siapkan.
“Terimakasih sudah datang. Konsepnya sederhana, kami ingin gambar yang biasa saja tidak perlu berlebihan. Jika bisa terlihat seperti bukan foto pra-nikah itu lebih baik” aku menyalami kedua juru foto yang sudah sampai duluan. Ini sudah di penghujung tahun, beberapa waktu yang lalu kami bersepakat untuk mengambil paket yang ditawarkan tentang lokasi gratis untuk pengambilan foto pra-nikah. Beruntung dengan waktu yang terbatas kami juga mendapat rekomendasi juru foto yang harganya tidak terlalu mahal dengan kualitas yang baik. Sesuai janji mereka datang lebih dulu, dua jam sebelum kami datang, demi menentukan sudut terbaik untuk pengambilan gambar. Empat jam berlalu begitu cepat. Tiga lokasi yang berdekatan dengan beberapa variasi busana santai. “Hanya seperti itu saja, Kang??” pada salah satu sesi juru foto bertanya, menepuk dahinya melihat aku yang berpakaian santai sekali. Celana pendek, kaus sobek dan seperti itulah. Aku mengangkat bahu “Ya, beginilah”. Batal, juru foto itu memberikan sedikit rekomendasi yang lebih baik. Tidak buruk, kami tidak salah memilih.
“Kapan mau dipakai fotonya??” juru foto bertanya lanjut setelah sebelumnya menjelaskan teknis pemilihan gambar, proses edit, hasil cetak yang kami dapatkan, metoda pelunasan dan lain sebagainya. Aku tertawa, lupa memberi tahu hal penting yang biasanya aku sampaikan kepada semua penyedia jasa pendukung pernikahan yang aku sambangi. “Simpan saja dulu, aku beritahu lagi kalau nanti sudah dapat tanggalnya” aku menjelaskan. Yang bertanya tersedak, menepuk dahinya lagi tak percaya mendapat pelanggan seperti ini.
***
2014
Awan berarak perlahan sore itu. Menutupi sebagian larik cahaya matahari di awal tahun yang bersinar gagah. Aku memerhatikannya dari kejauhan, gadis itu, yang sedang duduk termangu menunggu lelakinya datang menjemput. Dalam waktu berbilang bulan, ini menjadi kebiasaan baru kami yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya. Antar-jemput setiap kali berangkat kerja. Jam kerja kami sedikit berbeda, sehingga ada sedikit waktu yang dikorbankan demi memuluskan ritual antar jemput ini. Aku yang harus berangkat lebih pagi untuk mengantarnya, dan ia yang harus menunggu lebih lama untuk pulang. Tidak masalah, ini bisa menjadi pelajaran yang pertama. Sedikit banyak ritual kecil ini membantu kami untuk berbagi waktu. Sesuatu yang dulu sebenarnya sangat aku abaikan.
Kami sama-sama bekerja. Masing-masing tentu memiliki waktu yang harus dihargai, kesibukan pribadi apalah atau sekedar urusan lain kehidupan (hidup tidak melulu tentang cinta saja, bukan??). Ketika kami berjauhan, ketemuan adalah sesuatu yang langka. Bisa saja sebetulnya untuk dilakukan setiap minggu. Tetapi demi beberapa alasan, kami hanya bertemu selagi sempat. Maksudku, aku hanya menemuinya ketika sempat. Setelah kami berdekatan ada sesuatu yang aku pelajari tentang waktu, pelajaran pertama. Perkara waktu dalam sebuah hubungan tentu saja adalah penting, bukan perkara sempat tidak sempat, terlebih ketika kalian sudah merencanakan untuk kehidupan di masa depan. Bukankah sangat menyedihkan jika tetap sendirian setelah hidup berdua hanya karena alasan tidak ada waktu?? Dan berikutnya adalah bagaimana kita sebagai seorang pecinta harus bisa meluangkan waktu. Untuk apa?? Untuk hubungan yang tentu saja harus kita hargai.
Gadis itu masih menunggu di seberang sana. Duduk di bangku kayu kecoklatan dengan wajah lugu penuh pengharapan, harapan menunggu lelakinya segera datang. Lihatlah, sudah beberapa kali ia melihat arloji di tangannya. Aku mengambil gawai layar sentuhku, melakukan panggilan telfon, menyuruhnya melihat ke seberang. Sambil berbicara aku melambaikan tangan. Aku datang, mari kita pulang.
Yang terjadi di waktu setelah itu adalah sebuah pertentangan, konflik, rasa kecewa, keputusasaan dan seperti itulah. Semenjak berdekatan banyak sekali amarah yang kerap kali meledak begitu saja. Penyebabnya sederhana karena satu-dua hal yang dibicarakan berlebihan, tentang mimpi-mimpi yang tertunda itu, tentang aku yang masih saja terkurung dalam sosok lelaki pengecut. Dua tahun semenjak restu itu diminta, dan selama itu pula aku belum beranjak dari ketakutan. Penyebabnya dari semua amarah itu sebetulnya sederhana, ia yang meminta janji itu ditepati dan aku yang kerapkali menjawab nanti. “Sampai kapan kamu mau nyuruh aku nunggu!!??” sekali dua ia menanyakan itu sambil terisak, terbalut emosi dengan air mata yang tertahan. Aku tidak punya ide. Karena emosi kami beberapa kali berpikir untuk berhenti, menyudahi semua mimpi-mimpi ini. Bagaimanalah, irasionalitas manusia muncul karena dua hal : jatuh cinta dan saat terluka karena cinta.
Situasi ini memang tidak menyenangkan. Berbilang bulan, hampir setiap minggunya kami melempar amarah. Lucu rasanya, situasi ini bertolak belakang sekali dengan saat kami berjauhan. Ketika itu yang ditunggu adalah siapa yang duluan mengucap rindu, sekarang ini yang ditunggu adalah siapa yang duluan berujar maaf.
Pelajaran kedua. Dalam setiap hubungan, mudah saja menemukan segala kebaikan lalu mencintai semua kebaikan itu dengan dalam, bersenang-senang karenanya, memimpikan hal indah bersamanya. Tetapi bagaimana jika keburukan itu muncul, menjadi nila dalam belangga cinta yang putih. Kita memang selalu ingin bersenang-senang dengan segala kebaikan dalam bercinta. Aih, siapa pula yang sudi mengharapkan keburukan. Tetapi bagaimanalah, ia akan muncul pasti tanpa diminta dalam setiap hubungan. Sekali saja kita menolak keburukan cinta atas dasar ketidaksiapan, rusaklah itu semua mimpi-mimpi kehidupan. Maka yang harus kita lakukan untuk semua kekurangan, semua keburukan -yang muncul dari ego, sifat keras kepala, kebiasaan atau apapunlah itu adalah berkompromi, menerimanya lalu mencintainya sama halnya ketika kita mencintai segala kebaikan. Aih, lagipula bukankah manusia menjadi menarik justru karena segala kekurangannya bukan??
Berita baiknya adalah, aku mulai paham bagaimana cara untuk mempelajari ini semua.
Di penghujung bulan kelima 2014
Cinta butuh dipelihara, melakukan segala cara untuk bisa jatuh cinta pada orang yang sama untuk kali kesekian, sejauh ini berhasil, ia masih disini sekarang. Dan berterimakasihlah aku pada semesta atas apa yang terjadi belakangan, untuk segala kecewa, untuk segala amarah yang terlampias, untuk segala mekanisme yang membuat kita semakin bertahan, menguatkan. Cinta yang sekarang ini bukan lagi tentang utang perasaan yang harus dibayar, bukan lagi tentang waktu yang berinvestasi, bukan. Lebih besar dari itu, cinta yang sekarang ini adalah cinta yang membuat kita lemah saat sendirian, cinta yang membuat kita bisa memahami dalam diam, cinta yang membuat kita bisa memaafkan dalam pelukan, menanfikan semua amarah, cinta yang aku didalamnya bersedia untuk bertanggung jawab penuh atas semua nafas yang ia hembuskan.
“Terimakasih, besok sore saya hubungi lagi. Ah, iya. Mohon maaf menunggu lama sekali” panggilan suara itu terputus beberapa kalimat setelahnya. Ada beberapa hal yang harus aku konfirmasi membuatku harus menjauh dari meja tempat ia duduk, bersantai melepas penat di akhir pekan. Di meja itu ia dikelilingi banyak sekali kertas kecil berserakan disamping dua buku besar yang sudah mulai kumal. Catatan perencanaan, hutang-piutang, pengeluaran dan seperti itulah. Aku mendekati meja tempat ia menunggu, bergabung. Sudah tiga jam lebih kami di tempat ini, sekedar nongkrong santai kekinian, dengan ditemani kudapan beserta kopi panas dan dingin yang datang bergantian setiap kali habis.
“Tentang mimpi itu, aku percaya Tuhan akan menjawabnya di waktu yang tepat. Dalam waktu dekat?? Boleh jadi, beberapa hari terakhir aku memimpikannya berulang kali, bukankah ini sebuah isyarat??” ia berkata penuh semangat, meski gurat wajahnya sendu. Ada upaya menghibur diri didalamnya. “Aku besok ada perlu, mungkin sampai menginap” hanya itu yang bisa aku jawab, mengalihkan topik, menyudahi obrolan hari ini.
***
Matahari menyambutku dengan sulur keemasannya yang lembut, membiaskan semua menjadi kemilau yang hangat. Sepagi ini aku sudah bergegas, memacu kencang sepeda motor di angka delapan puluh konstan, berganti bus kemudian, berpindah kota. Jalanan lenggang, jauh dari kebiasaan ibukota. Mesin bus menderu lebih kencang, semua panorama jalan berkelebat, embun di sela rerumputan sudah tidak mungkin lagi terlihat. Pukul delapan lewat empat puluh tiga. Pintu diketuk berirama, aku yang melakukannya. Tiga ketukan sebelum pintu itu dibuka pelan-pelan. Demi melihat siapa yang ada di balik pintu pemilik rumah itu tercengang. Ragu-ragu menyuruhku masuk. “Jadi, sepagi ini kau sudah datang. Kabar apa yang akan kau sampaikan, Nak?” pemilik rumah itu, lelaki separuh baya yang sama, bertanya halus namun tegas. Situasinya kali ini berbeda, tidak ada gadis yang menatap berkaca-kaca sambil penuh pengharapan yang duduk di samping lelaki itu, “Bapak tahulah, sama seperti sebelumnya, aku ingin mempersunting anak Bapak, menjawab pertanyaan yang dulu sempat aku diamkan.” tak ada lagi keraguan dari kalimatku barusan, tegas, tanpa banyak kalimat rencana yang aku siapkan seperti waktu sebelumnya. Lelaki itu menatapku lamat-lamat, bersahabat, tersenyum penuh penghargaan.
“Jadi, kau sudah siap bertanggung jawab untuk kehidupan anakku yang sekarang dan yang nanti??”
Aku tersenyum, mengangguk. Tanpa keraguan setitikpun.
Berikutnya mudah sekali. Pembicaraan kami mengalir begitu saja, setiap pertanyaan itu terjawab. Tentang kebijaksanaan, sifat adil, ikhlas dan tentang sesuatu yang aku yakini, tentang mimpi-mimpi, cerita kehidupan di masa depan. Dan paling penting tentu saja tentang tanggung jawab.
“Aku tidak bisa menjanjikan banyak kemewahan dunia. Aku juga tak bisa menjamin kebahagiaan anak Bapak di kehidupan yang ini dan kehidupan yang nanti, tidak bisa, Pak. Tetapi percayalah, Pak. Di setiap pembicaraan kami tentang mimpi, tentang masa depan, kami telah bersepakat untuk itu semua, berencana atas banyak hal. Dan iya, tentu saja aku akan bertanggung jawab untuk semuanya. Dengan segenap rasio dan akal sehat, aku mencintai anak Bapak dengan dalam. Untuk semua kebaikan dan kekurangannya.”
Lelaki itu bangkit dari duduknya, memelukku dengan erat. “Aku merestuimu, Nak.” Air mataku menetes perlahan, sedikit sekali. Air mata bahagia ini tak akan aku hamburkan, biar ia menetes di waktu yang tepat. “Baiklah, mari kita membicarakan detil berikutnya. Tanggal, tempat, acara dan tetek-bengeknya. Nampaknya aku harus berunding dengan keluargamu juga.” nada ketegasan dari lelaki itu hilang begitu saja, berganti dengan nada penuh semangat. Aku mengggeleng dengan sopan.
“Empat minggu dari sekarang, Pak. Jika Bapak setuju, malam ini surat undangan aku cetak”.
Lelaki itu menepuk dahinya. Tertawa tidak percaya. Mengangguk, menyepakati semuanya.
***
21 Juni 2014
Pagi adalah sebuah berkah yang indah, tak masalah ia datang dalam cerah atau mendung karena bagaimanapun pagi adalah awal untuk memulai sesuatu yang disebut kehidupan. Pun dengan pagi ini, ketika aku akan memulai sebuah cerita panjang kehidupan. Di bawah pohon beringin besar yang terbaris rapi –yang seolah dipaksa untuk tumbuh berdekatan burung-burung gereja berkicau riuh. Satu dua malah hinggap dekat trotoar pejalan kaki. Berloncat-loncatan saling menggoda pasangan. Aku memerhatikannya, terpesona melihat burung-burung yang sedang mabuk cinta. Nyayian mereka menyenangkan. “Sudah siap??” seseorang itu kembali bertanya. Aku menarik nafas dalam sekali, lalu tersenyum, ada jeda beberapa saat sebelum aku sempat untuk menjawab, kemudian kututup dengan anggukan kecil.
Suasana di ruangan ini berubah seketika. Beberapa diantaranya berubah cemas, dengan wajah yang mengeras. Satu-dua matanya menyembung menahan air mata yang siap turun, senang?? takut?? entahlah. Beberapa yang lainnya menunduk, mukanya merah sekali setelah barusan salah seorang lelaki meneriaki mereka dengan pengeras suara, menyuruh mereka diam. Ruangan ini menjadi begitu tenang. Sekali dua terdengar isak tangis yang tertahan. Darimana sumbernya aku tidak punya ide. Dalam sekejap, suara itu hilang. Berganti dengan angina yang berhembus pelan, menyentuh manja semua yang ada di isi ruang, menenangkan.
Aku mengkhidmati suasana ini dengan mata terpejam. Menarik nafas dalam-dalam, mengabaikan banyak hal untuk fokus pada satu suara. Lalu mataku membuka, beriringan dengan kalimat yang mengalir begitu saja dengan tangan sambil berjabat : “Saya terima nikahnya anak kandung Bapak dengan mas kawin seperti yang disebutkan dibayar tunai.”
Epilog
Suara gemericik air terdengar begitu syahdu ketika sedang dituangkan ke dalam gelas. Kopi hangat yang kedua malam ini, aromanya mengurung ruangan ini dengan nuansa kehangatan. Kopi memang pasangan terbaik untuk menemani kudapan yang sedari tadi belum habis kumakan. Di depan layar monitor komputer aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Ini berlebihan gak sih, Bunda??” aku baru saja menyelesaikan satu naskah malam ini, meminta wanita yang baru datang membawakanku secangkir kopi untuk berkomentar, bahkan sebelum kopi itu disimpan ke tempatnya.
“Ini tentang kita??” ia bertanya.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah, beberapa bagian mungkin mirip dengan apa yang kita alami. Beberapa diantaranya tidak.” Aku menjelaskan sekenanya. “Yang kita alami?? Yang bagian mana??” aku memperlihatkan keseluruhan paragraf dari naskah yang aku tulis, menunjukan beberapa detil dari beberapa paragraf. Dia mengangguk, tersenyum.
“Berlebihan?? Boleh jadi, tapi tergantung siapa yang membaca naskah ini. Beberapa diantara mereka yang memiliki kasus serupa akan menyukainya. Beberapa yang lain boleh jadi malah jijik” ia memeluk leherku dari belakang, mengucapkan kalimat itu lalu tertawa. “Jijik?? Astaga, separah itukah tulisan aku, Bunda??” aku mengerenyitkan dahi.
Ia tertawa lagi, melepaskan pelukannya. Memutar kursi, sehingga sekarang kami saling berhadapan. Lantas, ia memegang tanganku erat, menciumnya dengan lembut. “Terimakasih untuk semuanya. Selamat ulang tahun pernikahan yang kedua” ia tersenyum.
Aku mengecup keningnya. Memeluknya sebentar. “Terimakasih, Semoga yang terbaik untuk keluarga kecil kita”
Itu minta ijin nya enak banget, ya. Alhamdulillah lancar. Tapi pertanyaannya nyess banget. Apa yang disiapkan utk masa depan, bukan perihal harta tapi setelah kematian nanti😭😭 anak cewe ya di lepas, bapaknya kudu menitipkan anak nya ke lelaki yang benar2 pas dan siap lahir batin.
“enak banget” ?? Aih, dalam situasi kaya gitu tetep aja tegang banget sih kalau udah face to face. 🙂
Menjadi suami itu berat sekali ya tanggung jawabnya, bukan cuma saat di dunia tapi di akhirat nanti. Selamat ulang tahun pernikahan. Semoga langgeng terus sampai kakek nenek, dan terus bersama sampai akhirat.
Iya, Mbak. Itu yang di tekankan berkali-kali “tanggung jawab”.
Terimakasih doanya, amin.
Pernikahan adalah ikatan suci, bukan kompetisi. Bukan hanya sekedar ya atau tidak melainkan tanggung jawab dan bukti..Keren 👍👍👍
banyak yang seru ya. selamat ultah hari pernikahan ya mas. langgeng dan selalu penuh cinta dan keberkahan 🙂
Duhh ceritanya menyentuh banget Cha…
Meski panjang banget sampai harus klik halaman dua 😂😂
Jadi ingat pas pacar aku ketemu Papa pertama kali hahaha 😂
Hahaha, kepanjangan yaa. Semoga tidak membosankan :'(
Membaca postingan ini seperti reminder
Tersentuh banget jadinya…
Iya…. kalau wanitamu menangis, yang muda atau yang tua, dengarkanlah. Jangan menyela. Biarkan ia lega dan mengungkapkan rahasia terdalam. ~_☆
ah elah kan jadi baper. sebel bener ah….
ah :((((((((((((((
Baper karena tegang Ben pas nanti mau ngelamar ?? Eh, gimana ?? 🙂
Ceritanya dalem banget dan nyentuh di hati
Huhuhu aku nangis….
Nanti kalo ada lelaki yg ngelamarku gmn? Bs gak dia tanggungjwb sma kehidupan kita nanti? Bagaimana bapakku?
Akuh baperrrr
Beneran nangis ?? Astaga :-))
Insya Allah bisa, kalau dia udah siap. Mari berdoa yang terbaik untuk kita semua.
Ah yaampun aku mau komen apa yah kak dika heheh.
Aku suka ini ” Tentang kebijaksanaan, sifat adil, ikhlas dan tentang sesuatu yang aku yakini, tentang mimpi-mimpi, cerita kehidupan di masa depan. Dan yang paling penting tanggung jawab.”
Yah semoga saja kelak……ah amin ehehehe.
Ehm oke selamat ulang tahun pernikahan kedua kak dika. Barakallah :’)
Owwhh, ada kalimat keramat >,<
"Kapan nikah?" hahahaha
Mas Dika keren ih, pacarannya lama juga 😀
Ya ampun terharu 🙁
Membaca tulisan ini kayak ada seorang teman atau kakak laki-laki yang bercerita secara langsung.
Semoga pernikahannya langgeng, membawa keberkahan, bahagia dunia akhirat.
Bahagiain selalu istrinya kak :’)
Pasti donk. Semoga.
Mau diceritain langsung juga boleh, kapan-kapan.
Ya ampun…lama banget pacarannya.
Happy anniversary anyway, Dhika. Semoga senantiasa jd keluarga yang penuh barokah sampai di surga ya. Aamiin…
bentar bacanya mesti diulang lagi, lagi, dan lagi..
Tulisannya bagus banget kak, mengalir. Ya ampun semoga aku bisa selancar ini dalam meminta restu sama bapaknya :’)
Di doain, Fandy. Semoga ga langsung diusir pas pertama dateng ke Bapaknya ya. :-))
Abis baca otomatis ngucap shodaqollahuladzim wkwkwkwk
Jadi inget waktu abi ketemu papa
Hepi enipersari bang andika dan istri
hahahaha .. karena kepanjangan yaa ?? 🙂
Terimakasih mbak Febi
Janji suci pernikahan adalah hal yg sakral, bukan hal yg biasa. 🙂
Waahhh, always interested sama ceritanya. Btw, happy 2nd wedding anniversary , semoga langgeng..
Mas, tulisannya bagus banget. Ayi gatau mau komentar apa :’)
Ga dibikinin novel aja mas?
Semoga ada rezekinya buat bikin novel. Duh, nulis segini aja udah panas otak. Gimana lebih panjang lagi ya.
Beruntungnya masih ada yang mengingatkan kita soal pernikahan, Ibu. Dari setiap jengkal kalimatnya pasti menuturkan ridho akan tanggung jawab kepada anaknya.. dan pernikahan itu adalah bentuk dr pengorbanan tanggung jawab seorang anak sebagai baktinya..
pernikahan itu adalah ikatan janji antara pasangan laki laki dan perempuan. semoga langgeng mas di hari pernikahan itu
Subhanalloh lama banget pacarannya, Happy anniversary Kang Dhika 🙂
#request, kalo bisa jadiin novel aja kang 😀
Semoga ada rezekinya mas untuk bikin novel. Doakan saja, Kang.
Selamat ulang tahun pernikahan ya mas dhika, semoga kian langgeng.
Semoga, para lajang segera menemukan jodohnya, dan menikah 😆😆😆
Suka dengan kisahnya, Mas.
Pernikahan…ahh gimana yaa….sulit untuk mengungkapkannya. Tapi saya berkeyakinan pernikahan hanyalah masalah waktu, kelak semua akan indah pada waktunya. Aamiin.
Akoh bapeeeeerrrrrr……Kak Ucha, tanggung jawab! :’D
Hahaha, bagaimana bentuk tanggung jawabnya ?? Ga nyuruh nyediain calon kan ??
alhamdulillah semakin diberkahi dengan kehadiran si kecil hehe.. duh deg2an yaa kalo membaca kisah begitu ijab kabulnya 🙂
happy anniversary yak mas andhika smg samara dan dikaruniai anak lagi hehe 🙏🏻
Aminnnn ..
Mudah-mudahan dikasih rezeki lagi, nunggu Daffa mengerti dulu.
21 Juni hari spesial, selamat ya mas
Semua postingannya sangat menarik, saran dari kami postingannya lebih diperbanyak lagi, terima kasih..
Terimakasih atas kunjungannya. Amin, mudah-mudahan saya bisa menambah kuantitas postingan tanpa mengurangi kualitasnya 🙂
Mbuh kok aku mewek ya, apalagi baca epilognya. Duh, aku lemah :'(
Loh, kenapa mewek wi? Kenapa epilognya? 🙂
Tulisannya ga akan dikritik bu? #ngarep
Ternyata bukan cm drama korea yang bisa bikin mata saya berkaca-kaca, tapi kisah ini juga :’)
Yawlaaa KUA dimana KUA!!!
aelah jadi pengen ahhh :'(