Berbilang empat-lima minggu semenjak penguasa mengumumkan kasus Corona pertama di negeri ini. Maklumat yang tentu menampar habis sikap abai yang dipertontonkan segelontor pejabat dengan segala narasi canda yang menjemukan beberapa waktu sebelumnya. ‘Sedia Payung Sebelum Hujan’. Masing-masing kita tumbuh dengan memaknai pepatah itu. Kita diajarkan betul bagaimana seharusnya kita mempersiapkan banyak hal untuk setiap masalah yang mungkin muncul kemudian. Di kasus ini, ‘hujan’ telah datang, dan kita sama-sama tahu bahwa banyak hal yang sama sekali belum kita siapkan. Corona, nama ‘hujan’ itu, benar-benar membuat kita kebasahan.
Banyak hal yang membuat kita sadar bahwa sekarang ini kita sedang tidak baik-baik saja. Tengok saja bagai timbunan masker sekarang ini jauh lebih berharga daripada investasi emas atau reksadana sekalipun. Suara batuk dianggap lebih merundung ketimbang gelegar petir di waktu mendung. Belum lagi kenyataan bahwa kita hidup di negara di mana para penguasa, sebagai lini terdepan untuk membuat kebijakan, tampak terlalu percaya diri -jika terlalu kasar untuk saya katakan tidak peduli. Sudah cukup, kan, hal ini menjadi alasan untuk kita takut dan waspada?
Untuk ukuran penyakit, Corona mungkin bukan yang kali pertama yang memaksa kita untuk selalu waspada. Namun, untuk saya pribadi, baru kali ini saja saya menghadapi wabah dan kemungkinan terserang penyakit dengan rasa takut yang luar biasa. Saya tidak sekadar berbicara tentang tingkat kerusakan yang mungkin muncul untuk para penderitanya. Yang lebih saya takutkan adalah tentang bagaimana sifatnya yang dapat bermigrasi dari satu orang ke orang lainnya tanpa sempat diketahui. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana misalnya, dalam kemungkinan amat buruk, saya menularkan virus terkutuk itu ke orang-orang yang saya cintai tanpa sedikitpun saya sadari. Betul, ia jelas tidak selalu menunjukan gejala pada para penderita. Bisa saja ia membiarkan kita tampak sehat untuk kemudian sembuh atau malah mati. Di rentang waktu ketidaktahuan itu, ia dengan bebasnya pindah dan tumbuh di tubuh orang di dekat kita.
Hal ini kemudian yang memunculkan gaung-gaung tentang pembatasan sosial yang lalu memaksa kita untuk selalu berjaga jarak demi menambah kemungkinan hidup jutaan orang yang banyak. Para penguasa juga, meski terlambat, mengamininya dan lantas membuat sebuah imbauan -bukan kebijakan mengenai keharusan menjaga jarak. Kebijakan dari banyak sekali lembaga menyusul kemudian sehingga beberapa waktu terakhir kita tidak asing dengan tagar #DiRumahAja, #SocialDistancing atau hal-hal lain yang menjadi simbol perlawanan terhadap si Corona sialan ini.
Cukup? Belum.
Karena nyatanya virus itu sudah kadung meluas. Ditambah dengan masih adanya sebagian orang yang tidak bisa dan atau tidak mau membatasi kehidupannya untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan khalayak ramai. Tidak bisa, karena untuk sebagian orang ‘interaksi sosial’ menjadi satu-satunya cara untuk ia bertahan hidup. Tidak mau, ya karena masih saja ada orang-orang nakal yang bebal.
Tentu hal seperti ini membuat angka penyebaran semakin sulit diprediksi. Buktinya? Satu persatu Kepala Daerah telah memerahkan wilayahnya yang berarti berbanding lurus dengan angka-angka korban yang terus bertambah. Di antara angka-angka itu beberapa di antaranya berbuntut dengan kematian. Belum lagi birokrasi pemeriksaan yang Panjang dan memusingkan menambah besar sekali kemungkinan ribuan calon penderita yang belum terangkum ke dalam data.
Kemarin ini saya membaca sebuah warta berita. Tertulis bahwa di suatu tempat ada tindakan tak menyenangkan berupa penolakan dan perundungan dari masyarakat terhadap penderita Corona. Tidak hanya satu, ada beberapa jenis berita yang sama. Selain kemungkinan kita menjadi pembawa penyakit tanpa diketahui, hal seperti ini jugalah yang menjadi poin menakutkan lainnya dari Corona: ‘sanksi dan intimidasi sosial untuk para korban’.
Saya bukan pakar medis, bukan juga orang yang paham banyak tentang psikologis. Tapi yang saya tahu tekanan, intimidasi dan ketidakadilan sosial jelas mampu mempengaruhi pikiran. Pikiran yang berantakan akan bertautan dengan ketahanan tubuh. Sepanjang yang saya saya ketahui, ketahanan tubuh amat sangat mempengaruhi kesembuhan untuk mereka yang terjangkit virus Corona.
Penguasa harus bergerak cepat dengan segala ketegasan terhadap banyak sekali kebijakan. Berhenti membuat kesimpangsiuran dengan narasi yang tidak perlu. Tumbuhkan kembali rasa percaya masyrakat yang kadung hilang. Respon positif penguasa terhadap penanggulangan menjadi kunci untuk mengurangi dampak penyebaran Corona. Namun tak kalah penting, pada akhirnya peran aktif dan kepedulian kita terhadap lingkungan sosial kita yang nantinya juga akan menentukan.
Dan mari kita semua bersemoga agar bumi dan seisinya dapat kembali ke sedia mula. Dan, kita masih menjadi bagian dari bumi yang itu.
Cepat sembuh, Bumi.