Saya cukup banyak melewatkan detail-detail pada banyak sekali hal yang terjadi selama lebih kurang sepuluh hari terakhir. Kematian Chester Bennington, misalnya, saya hanya mengetahui sekelebat belaka informasinya. Untuk detail? Tidak sama sekali. Sama halnya dengan banyak informasi lain yang saya lewatkan. Perangkat genggam yang rusak ditambah jaringan internet yang busuk menjadi salah satu alasannya. Alasan lain? Saya sedang berada dalam tugas yang luar biasa menguras waktu, tenaga dan juga pikiran. Di tempat yang jauh dari rumah. Sebelah timur Indonesia, ibukota Sulawesi Tenggara. Kendari.
Ini adalah kunjungan saya yang kedua. Sebelumnya saya berkunjung ke Kendari di awal tahun dua ribu empat belas yang lalu. Yang saya ingat ketika itu, bandara Haluoleo masihlah bandara yang menyedihkan. Areal yang sempit dan kotor membuat saya merasa cukup kesal ketika check-in jauh sebelum waktu keberangkatan pesawat. Namun, dalam waktu tiga tahun terjadi perubahan yang cukup besar. Selain arealnya yang menjadi lebih luas dan pemandangan yang tampak bersih, bandara Haluoleo juga melakukan perbaikan dalam segi fasilitas. Hal ini tentu saja menjadi impresi positif yang luar biasa. Setidaknya untuk saya pribadi.
Secara garis besar tugas yang saya terima kali ini sama dengan beberapa tahun sebelumnya. Memperbaiki dan mengembangkan sebuah sistem kerja. Namun kali ini saya mendapatkan tugas tambahan untuk mengembangkan kompetensi beberapa orang yang ada di sini. Secara teknis dan juga dokumentasi. Yang artinya, kali ini saya mendapatkan kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan manusia, bukan alat atau pun komputer belaka seperti di kesempatan sebelumnya.
Dari beberapa orang yang pernah berkunjung ke Kendari saya mendapatkan kabar berita jikalau pribumi Kendari adalah orang yang keras. Dalam artian kurang bersahabat, sulit diatur, kasar dan hal-hal negatif lainnya. Tak disangka, yang saya terima dan saya lihat justru sebaliknya. Mereka begitu ramah, sama sekali jauh berbeda dengan berita-berita miring yang saya dengar. Gaya bahasa mereka yang cepat dan bersemangat mengingatkan saya ke teman-teman di Banjarmasin. Untuk diketahui, selama berkeliling ke berbagai tempat di Indonesia, sejauh ini, suku Banjar, dengan gaya bahasanya yang menyenangkan, adalah suku favorit saya.
Saya memiliki tubuh yang sensitif terhadap perubahan cuaca yang drastis. Sialnya beberapa hari pertama saya di Kendari, cuaca di sini berubah-ubah seenaknya. Dari semula dingin luar biasa akibat hujan tiba-tiba menjadi panas luar biasa setelah hujan reda. Hanya dalam hitungan belasan atau puluhan menit saja. Dan bisa ditebak berikutnya, perubahan cuaca sedemikian parah, ditambah beban pikiran dari tugas pekerjaan membuat saya hanya bisa berbaring nista sesampainya saya di penginapan. Di hampir setiap harinya. Menyebalkan, bukan?
Yang menyebalkan lainnya adalah masalah variasi makanan yang ada. Untuk urusan ini, saya termasuk orang yang amat sangat sulit.Saya tidak makan ikan, banyak variasi olahan daging sapi yang tidak cocok dengan lidah saya, tidak terlalu suka dengan makanan berkuah santan dan banyak lagi lainnya. Celakanya, di Kendari ini pilihan makanan yang gampang ditemukan adalah yang saya sebutkan di atas. Alhasil, selama hampir sepuluh hari terakhir saya memanjakan perut dengan ayam tepung belaka, siang dan malam hari. Untungnya waktu sarapan saya masih memiliki alternatif makanan berupa sereal coklat dan roti bakar yang saya dapat sebagai bagian paket yang ditawarkan dari penginapan. Seperti sarapan di penginapan pada umumnya.
Ah, iya. Apa yang terjadi di penginapan pun cukup menarik. Semenjak hari pertama menginap di kamar yang saya tempat tidak disediakan handuk. Maksud saya seharusnya ada, tetapi pihak penginapan selalu lupa. Saya tentu saja menyampaikan keluhan setiap harinya. Sampai di hari keempat saya luar biasa marah. Lalu apa yang saya dapat? Hanya permintaan maaf belaka. Lalu handuk dikirimkan. Di hari kelima? Kejadian itu berulang kembali. Di kamar tidak ada handuk. Saya malas kembali marah, tidak tega dengan wajah beberapa staff seperti yang mereka tunjukkan di malam sebelumnya. Kali ini saya menyampaikan keluhan dengan sopan. Memanggil penanggung jawab yang sedang bertugas dan membicarakan keluhan saya secara baik-baik. Apa hasilnya? Malam itu saya mendapatkan kompensasi untuk memesan makanan di restoran penginapan sebanyak apa pun yang saya mau. Tentu saja termasuk minuman. Selain itu, saya diberi fasilitas laundry gratis sepanjang sisa waktu saya menginap di tempat itu. Luar biasa, bukan? Padahal saya hanya berharap di kamar ada handuk setiap saya pulang. Pelajaran yang saya dapatkan dari masalah ini adalah, amarah tidak selalu menyelesaikan masalah. Boleh jadi kesabaran lah yang akan menyelesaikannya, dengan tambahan hal baik yang tak terduga.
Jika pun ada catatan lain tentang penginapan itu adalah jaringan internetnya yang luar biasa menyebalkan. Tidak lebih cepat dengan internet di warnet yang pernah saya kunjungi di tahun dua ribu lima. Selain itu, di lobby penginapan hampir setiap malam secara bergantian ada band yang membawakan live music. Termasuk fasilitas? Entah. Yang jelas, rasanya saya ingin menggantikan setiap penyanyinya. Karena saya cukup yakin, jelek-jelek begini, suara saya pasti lah masih lebih bagus ketimbang mereka. Untuk Bapak atau Ibu pemilik penginapan, jika Anda membaca tulisan ini. Silakan dipertimbangan.
Ketika tulisan ini diterbitkan, saya mungkin sedang berada di dalam pesawat. Kembali ke ibukota negara dan tentu saja kembali ke rutinitas sebelumnya. Di rumah, istri tercinta sudah menunggu dengan rasa rindu yang sedemikian besar. Si Jagoan, melalui panggilan suara, menagih janji untuk mengajaknya jalan-jalan dengan delman di hari minggu.
Dan Kendari, terima kasih. Sayang sekali, di kali kedua ini pun saya masih belum sempat untuk mengunjungi Wakatobi dan obyek wisata lainnya. Lain kali mungkin.
Emang benar ya, kesabaran itu kunci segalanya, dapat bonus lagi, hehehe, sebenarnya saya penasaran dengan kota ini, apalagi beberapa bulan yang lalu, selama di jawa, saya banyak berjumpa dgn orang-orang yg berasal dari sana. Dekat laut pula.