“Daripada delapan scudetto. Daripada promosi dari Seri B. Daripada satu Coppa Italia. Daripada empat Piala Super Italia. Daripada satu trofi Liga Champions. Daripada satu Piala Super Eropa. Daripada satu Piala Interkontinental. Daripada sebuah gol ke gawang Fiorentina. Daripada sebuah gol dengan gaya Del Piero. Daripada sebuah gol di Tokyo. Daripada air mata saya. Daripada sebuah gol di Bari. Daripada sebuah gol voli back-heel di dalam derby. Daripada sebuah gol untuk Avvocato. Daripada lidah yang terjulur dalam laga melawan Inter. Daripada sebuah assist untuk David. Daripada gol nomor 187. Daripada sebuah gol di Jerman. Daripada Berlin. Daripada sebuah gol ke gawang Frosinone. Daripada gelar top skorer Seri B. Daripada gelar top skorer Seri A. Daripada sebuah standing ovation di Bernabeu. Daripada 704 pertandingan dalam kostum hitam putih. Daripada 289 gol. Daripada sebuah tendangan bebas yang berbuah scudetto. Daripada sebuah gol ke gawang Atalanta. Daripada rekor apapun. Daripada kostum nomor 10. Daripada ban kapten.
Tidak ada, tapi… apa yang sudah kalian berikan kepadaku selama 19 tahun ini. Aku senang karena kalian tersenyum, bersorak, menangis, menyanyi, berteriak untukku dan denganku. Tak ada warna yang lebih cerah bagiku selain hitam dan putih. Kalian membuat mimpiku jadi nyata. Lebih daripada hal lain apapun, hari ini aku cuma mau bilang TERIMA KASIH. Selalu di samping kalian.”
Langit belum sepenuhnya meluruh menjadi gelap di atas kota San Vendemiano ketika seorang lelaki bernama Gino memanggil anak nya untuk masuk dan menghentikan rutinitas memainkan si kulit bundar di halaman depan dengan dua teman seusianya. Sang anak yang penurut langsung berjalan menuju rumah sederhana yang di dalam nya sudah ada si kakak Stefano dan tentu saja sang ibu, Bruna. Malam hari di rumah itu, di atas meja makan kayu bertaplak kotak kotak merah, seraya menyantap Pollo Alla Diavola sang kakak akan terus berbicara soal saran kepada adiknya agar jangan lagi mau menjadi kiper di klub sepak bola muda lokal San Vendemiano. Stefano yang notabene nya kakak, selalu dan selalu menyarankan agar adik tercinta nya itu mau bermain di posisi yang lebih menyerang karena mengetahui adiknya berbakat untuk hal itu. Obrolan santai di ruang makan keluarga menjadi rutinitas berharga tidak terkecuali di hari itu, sebelum akhirnya ketika malam makin menegaskan dirinya, sang adik Stefano yang mencintai sepakbola beranjak tidur di ranjang sederhana tepat di bawah poster Michael Plattini.
13 Mei 2012 atau dua puluh tahun lebih dari kisah suatu sore di San Vendemiano tadi, papan skor di Juventus Arena memasuki menit ke 57. Simone Pepe yang sebenarnya hari itu di ragukan untuk bisa tampil karena cedera, berdiri di sebelah wasit ke empat di sisi lapangan dan bersiap masuk. Sementara di antara 22 pemain di atas lapangan, seorang pemain tim tuan rumah bernomor 10 mengedarkan pandangan nya ke seluruh penjuru seluas matanya bisa menjangkau, menghela nafas dalam dalam dan dengan hati kecil yang mungkin berbisik lirih, “ini saatnya…”. Ya, hari itu adalah laga terakhir Alessandro Del Piero bersama Juventus di Serie A. Partai kandang terakhir sekaligus giornata penutup yang sempurna untuk musim yang luar biasa bagi Juventus. Satu musim tidak terkalahkan. Saya ulangi, satu musim tidak terkalahkan…!!! ( di beri tanda seru agar terkesan dramatis ). Langkah Alex kala menuju sisi lapangan di hari itu adalah satu satu nya momen gerakan terlambat seorang Alessandro Del Piero selama 19 tahun mengenakan seragam Juventus. Tangan nya terangkat untuk di lambaikan kepada seluruh penonton yang hadir, lalu kemudian setelah seluruh pemain baik kawan atau lawan memberikan pelukan dan tepukan di punggung, ia terus melangkahkan kaki nya dengan susah payah ke luar lapangan di latar belakangi koor serentak “ un Capitano, c’e solo un Capitano.” Langkah nya yang sudah berada di luar garis lapangan dan menuju bench di hiasi sebuah pemandangan di mana Stefano sang kakak yang juga merangkap sebagai agen nya, bertepuk tangan sambil berdiri seperti yang seluruh penonton lakukan saat itu. Di detik berikutnya, sekelebat terlintas dua wajah di pikiran Alex, dua wajah sahabat kecil dan teman bermain sepakbola dulu Nelso dan Pierpaolo yang sayang nya gagal mengikuti jejak Alex untuk masuk menjadi pemain profesional.
Setelah mendapat duduk di bench, entah di rencanakan atau tidak, Mirko Vucinic dan Claudio Marchisio memaksa Alex untuk kembali berdiri dari bench dan menerima gemuruh tepukan tangan dari penonton dan berjalan mengitari lapangan. Tidak ada lagi sepasang mata yang peduli pada pertandingan di atas lapangan, semua mata tertuju kepada Alex yang tersenyum lebar namun jelas terlihat sangat sedih di dalam. Setiap baris tribun yang di lewati Alex, dihiasi tawa haru hingga isak tangis dari mereka yang belum rela. Hingga akhirnya Alex tiba di depan Curva Sud, puluhan syal di lemparkan dan mendarat di dekat kaki nya. Entah untuk menjaga image atau refleks insting seorang pria dewasa asli Italia yang selalu menjaga penampilan nya, Alex membungkuk seolah membetulkan tali sepatu nya namun kamera menyorot jelas bahwa gerakan Alex itu untuk menutupi kenyataan bahwa Alessandro Del Piero pun menangis dan seolah memberi garis bawah tebal pada sebuah ungkapan yang berbunyi bahwa mengucapkan selamat tinggal itu tidak pernah mudah.
Saya, anda dan milyaran insan di dunia yang bergelar “mahkluk paling sempurna” karya Sang Pencipta entah mengapa bagi saya pribadi, adalah mahkluk yang paling tidak siap untuk menerima dua hal. Kekalahan dan kehilangan. Kekalahan paling menyakitkan untuk seorang Alessandro Del Piero bukan lah ketika 2003 lalu tim nya di kalahkan AC Milan di Old Trafford dalam final Liga Champions. Alex merasakan sakitnya rasa kalah justru ketika Mei 2011, Agnelli berujar bahwa perpanjangan kontrak satu tahun lagi untuk Alex di musim itu justru menjadi perpanjangan kontrak terakhir nya untuk Juventus. Ucapan Agnelli tersebut lantas menuai banyak protes terutama dari media Italia yang memang terkenal sarkas. Luigi Garlando, jurnalis dari La Gazetta dello Sport bahkan sempat menulis, “Ucapan Agnelli layaknya memutuskan hubungan dengan pasangan yang sudah 20 tahun melalui pesan teks.” Alex tak membalas dengan komentar apapun setelah ucapan laknat Agnelli itu. Alex memendam sendiri semua kekecewaan dan rasa kalah karena “di paksa” keluar oleh pemilik sebuah klub yang justru sangat ia cintai. Anda mungkin bertanya tanya, “bagaimana rasanya menjadi Juventini puluhan tahun yang kehilangan sosok agung dalam diri Del Piero?”. Tunggu dulu, anda justru harus menyadari bahwa bukan hanya Juventini yang merasa “kehilangan” sosok pemain idola karena sesungguhnya Del Piero pun pasti merasakan hal yang sama, kehilangan keluarga kedua nya. Kehilangan separuh jiwa nya jika boleh meminjam judul lagu Mas Anang. Dari bait bait surat yang di tulis Alex di atas, terlihat jelas bahwa Alessandro Del Piero sangatlah mencintai Juventus termasuk jutaan penggemar nya. Ikut tampil di Serie B ketimbang mengepak koper pergi demi gengsi pribadi, jelas sebuah keputusan yang mustahil Alex ambil tanpa dorongan cinta nya kepada Juventus yang begitu kuat. Kehilangan kesempatan bermain terus hingga pensiun di Juventus, bagi Alex mengkin sama menyakitkan nya dengan kehilangan sosok ayah luar biasa bernama Gino Del Piero yang meninggal pada Februari 2001. Anda boleh scroll ke atas sejenak dan membaca lagi surat Alex di baris ke 12, “Daripada sebuah gol di Bari. “ Alex menuliskan kalimat itu untuk mengulang lagi memori 18 Februari 2001 ketika ia mencetak gol di San Nicola yang ia dedikasikan khusus untuk sang ayah.
15 Mei 2016 nanti, penggemar sepakbola khususnya Liga Serie A harus kembali bersiap jika satu lagi pemain legenda kelahiran ibukota Italia memutuskan berhenti bermain. Di tanggal itu, As Roma akan menjalani partai penutup Serie A yang juga bisa menjadi partai penutup dari kisah karier panjang seorang Fransesco Totti. Dan jika saja Totti ingin sedikit meniru kompatriotnya yaitu Alessandro Del Piero soal menulis surat terakhir sebelum memutuskan pergi dan berhenti bermain, izinkan saya membantu beliau untuk membuat bait bait dari surat tersebut. Kira kira, isinya akan seperti ini.
Tak Ada yang Bisa membuatku Lebih Puas
Daripada menghabiskan karier dengan gambar Remus dan Romulus di dada. Daripada meniduri wanita yang lebih tua sewaktu remaja. Daripada Vujadin Boskov yang memanggil namaku. Daripada berada satu lapangan dengan Giannini. Daripada sebuah gol hasil rebound melawan Foggia. Daripada gagalnya Carlos Bianchi menjualku demi Jari Litmanen. Daripada Zeman yang menyebut nama ku lima kali di ruang pers. Daripada usia 22 tahun dan Giannini menendangku. Daripada berlari dengan kaus bertuliskan “Bebaskan Giuliana”. Daripada nyaris bugil di Olimpico pada 2001. Daripada panenka ke Edwin Van Der Sar. Daripada meludah ke Poulsen. Daripada palonetto ke Julio Cesar ( maafkan aku Interisti ). Daripada volley kaki kiri di Luigi Ferraris. Daripada sepakan brutal kepada Balotelli ( kau tidak super rupanya ). Daripada pengakuan dosa di depan Don Fernando Altieri. Daripada hand banner “no Totti no Party” terangkat di baris bawah Curva Sud. Daripada Cristian dan Chanel yang menghampiriku dengan kaus bertuliskan “sei forte papa”.
Terima kasih telah mendukungku 23 tahun ini.
Ketika kalian menyanyikan “Totti, Totti, Totti core de sta citta.. unico grande amore.. de tanta e tanta gente.. ch’hai fatto nammora” itulah kebahagiaan yang jelas akan selalu aku rindukan.
Jika Spaletti memainkan ku di partai terakhir Roma musim ini, San Siro akan menjadi tempat terakhir ku memainkan sepakbola dengan seragam As Roma. Kisah 23 tahun ku di ajang Serie A akan di akhiri di stadion dimana senior ku Paolo Maldini juga memainkan partai terakhir Serie A nya. Maaf Paolo atas gol ku pada 2009 lalu yang membuat mu dan tim mu kalah. Sekali lagi maaf. Satu hal lagi, menjadi juara Liga Champions memang belum pernah ku raih bahkan untuk merasakan berjalan di atas karpet final saja aku belum tahu sensasi nya, namun jika karier sepakbola ku berakhir di tempat dimana final Liga Champion musim ini di gelar, izinkan aku merasakan kepuasan dari hal itu.
Ho la Roma in fondo al cuore… Fransesco Totti.
Surat terakhir sang legenda, dan kabar rumornya Totti masih ada rencana untuk bertahan satu musim lagi.
Tapi entahlah tergantung keputusan managemen Roma, perihal kehilangan legenda, sebagai seorang Juventini saya tahu rasanya, dan saya nonton momen dimana laga terakhirnya Del Piero.
Ya tapi bagaimana pun, hidup harus terus berjalan meskipun kehilangan…
Semoga saja ada penerus-penerus legenda seperti mereka.
Forza Italia