Andai saja Vidic pernah belajar pelajaran Bahasa Indonesia
Mari kita sedikit bernostalgia , tepatnya kita coba kembali mengingat apa yang terjadi pada 22 September 2005. Hari itu, di Stadion Santiago Bernabeu, tuan rumah Real Madrid kedatangan tim tamu yaitu Atletic Bilbao. Wanderley Luxemburgo, pelatih Real Madrid kala itu tidak melakukan banyak perubahan pada skuadnya kecuali memainkan seorang Inggris selain David Beckham. Malam itu Jonathan Woodgate yang di datangkan dari Newcastle United akhirnya memainkan debut nya dengan seragam kebesaran Los Blancos. Woodgate sebenarnya sudah di datangkan dari musim sebelumnya, namun karena cedera kambuhan yang ia bawa sejak dari Liga Inggris, maka September 2005 itu lah ia baru benar benar bisa tampil di La Liga. Woodgate di partai itu di duetkan oleh Alvaro Mejia bek asal Spanyol yang di awal kemunculan nya di gadang gadang sebagai The Next Hierro meski pada kenyataan nya hanya wajah berminyak nya lah yang pantas di sejajarkan dengan Fernando “El Mariscal” Hierro. Menit ke 25 di babak pertama, sebuah sepakan dari Joseba Etxebarria coba di halau dengan kepala oleh Woodgate yang sialnya justru mengecoh Casillas dan mengakibatkan terciptanya gol bunuh diri. Debut di kandang lalu membuat gol bunuh diri. Bila anda pikir hal itu sudah tampak buruk, tunggu dulu sampai apa yang terjadi 40 menit kemudian tepatnya di menit ke 65 saat Woodgate menerima kartu kuning kedua yang berujung kartu merah. Woodgate melangkah menuju ruang ganti dengan wajah nelangsa. Ia masih tak percaya debut nya untuk klub impian seorang Santiago Munez di lewati dengan catatan gol bunuh diri dan kartu merah.
Senin dinihari di 1 September 2014, pekan perdana Serie-A untuk Inter di mulai dari Stadion Olimpico Turin. Inter bertandang ke kandang tim yang berjuluk Il Toro. Pertandingan sempat berjalan menarik di awal babak pertama dengan Torino melancarkan serangan sporadis khas tim semenjana. Inter yang tanpa perlu di jelaskan secara detail sebagai tim yang lebih berpeluang meraih tiga poin ternyata masih mengidap penyakit bawaan musim lalu yang begitu sulit menciptakan peluang matang yang bisa berbuah gol. Ketika pertandingan nyaris berakhir kacamata tanpa ada kejadian menarik untuk di bahas oleh media keesokan hari nya, wasit Daniele Doveri secara mengejutkan memberikan kartu merah langsung kepada debutan Inter di ajang Serie-A yaitu Nemanja Vidic.
Sebagai penonton layar kaca yang berada ribuan kilometer dari tempat kejadian perkara, tayangan ulang di layar ibarat tongkat untuk seorang tuna netra. Bisa di jadikan pegangan, bisa di jadikan patokan, tapi juga bisa di jadikan senjata untuk menyerang pihak yang di anggap salah. Dan dari tayangan ulang itu terlihat Vidic melakukan sebuah tindakan melecehkan sang pengadil lapangan dengan bertepuk tangan seraya tersenyum layaknya senyuman selfie yang marak di kalangan muda mudi Indonesia. Salah kan tindakan Vidic itu? Layak kah tepukan tangan di sertai senyuman di anggap melecehkan sehingga layak di ganjar kartu merah langsung?
Tulisan ini bukan untuk menjawab kedua hal tersebut. Silahkan melihat lagi tayangan ulang kejadian tersebut secara detail dan silahkan ambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, Nemanja Vidic mengakhiri debut di Serie A nya dengan catatan yang kurang baik. Vidic sekarang ada di urutan ketiga sebagai pemain Inter yang pernah di kartu merah langsung oleh Doveri. Yang pertama Chivu di Februari 2013 dan Handanovic di Oktober 2013 lalu.
Dari dua kisah di atas, meskipun sebab nya berbeda motif namun bisa di tarik kesimpulan bahwa bukanlah hal yang mudah bagi seorang pemain professional sekalipun untuk menjalani partai pertama kali dengan klub yang baru dan suasana kompetisi yang juga baru. Pemain matang macam Vidic pun nyatanya tak bisa melakoni partai debutnya dengan akhir yang baik. Setidaknya bila tidak mampu membawa tim nya menang, ia tidak harus di kartu merah.
Dengan seorang pemain pindah ke suasana kompetisi liga yang baru dengan rekan setim yang juga baru, pemain tersebut layaknya anak kecil yang pertama kali memasuki dunia pendidikan formal. Ada kecanggungan, ada ketegangan dan ada semacam rasa harus bertindak seperti apa ketika menghadapi lawan yang juga memiliki karakteristik yang berbeda. Dorongan badan Woodgate kepada Etxeberria malam itu di Bernabeu mungkin tidak lantas mendapat ganjaran kartu kuning di EPL ketika ia masih berseragam The Magpies. Mungkin di EPL tepukan tangan Vidic dengan mata mengarah ke wajah wasit memiliki arti “ you got it right, reff”. Dimana bumi dipijak , disitu langit dijunjung . Andai saja Vidic pernah belajar pelajaran Bahasa Indonesia dan mengerti arti peribahasa tersebut pasti dia akan mengerti tak selamanya tindakan yang dianggap biasa di suatu tempat, bisa dianggap biasa di tempat lain.
Saya sering mendengar kalimat sakral berbunyi, “bila di awal lancar, maka selanjutnya akan berjalan dengan baik. Begitu juga sebaliknya.”
Karir Jonathan Woodgate di Real Madrid bisa menjadi representasi aktual dari kalimat di atas. Tentunya dalam arti gagal total setelah tampil buruk di debut nya. Woodgate hanya menjalani 9 partai dan mencetak 1 gol dengan seragam Los Blancos. Tak semua kasus memang bisa kita generalisir seperti kalimat tadi. Tapi yang jadi menarik bagaimana dengan Nemanja Vidic? Patut di simak dan di cermati hingga bisa di tarik kesimpulan di akhir musim nanti. Saya jadi teringat ucapan Nemanja Vidic yang di utarakan nya di media The Guardian pada Januari 2014, “ It’s important we stick together and work hard for each other.” Ya, ucapan nya kala itu harus di buktikan dengan balutan jersey yang tak lagi merah. Vidic harus mampu membuktikan kematangan nya sebagai pemain belakang yang professional dan tidak lagi melakukan tindakan konyol meski bagi nya itu tindakan yang wajar.