“Sepulang dari Giueseppe Meazza, Zeman dan kopinya sama sama berfilosofi”
Saat anda membaca tulisan ini, saya tidak tahu persis apa yang sedang di lakukan oleh seorang Zdenek Zeman. Ia b isa saja sedang merokok yang memang sudah menjadi kebiasaan nya sejak dulu. Ia bisa juga sedang tersenyum kecil membaca Koran-koran pagi Italia di awal pekan ini yang terkadang lembaran nya tertiup hembusan angin khas Pulau Sardinia. Yang pasti saya tahu, di usia nya yang kini semakin senja, pesona Zeman sebagai pelatih sepakbola bagi saya pribadi sama sekali belum memudar. Ia mungkin kalah pamor dengan deretan nama pelatih beken yang setiap hari beritanya tercecar di berbagai media, tapi atas apa yang pernah di lakukan nya untuk sepakbola Italia, saya bersyukur sempat hidup di zaman ketika Zdenek Zeman berkiprah dengan berbagai sisi negative dan positif yang ia miliki.
Pria kelahiran Praha, Cekoslovakia pada 12 Mei 1947, tiba di Italia pertama kalinya ketika ia mencari paman nya saat butuh pertolongan akibat konflik di negara kelahiran nya. Oleh banyak pengamat sepakbola di Italia, sejak kemunculan nya Zeman di cap sebagai pria dengan watak ekstrimis. Zeman tidak hanya jago menciptakan kontroversi, namun dengan watak semodel itulah Zeman mengkombinasikan sisi ekstrimis nya dengan filosofi sepakbola yang ia pegang teguh yaitu, all out attack football.
Ledakan awal seorang Zdenek Zeman di persepakbolaan Italia di mulai ketika ia mampu memoles tim tanpa tradisi yaitu Foggia menjuarai Serie B pada musim 1990-1991. Kala itu seantero Italia nyaris gempar ketika Zeman dan Foggia nya memainkan sepakbola yang sangat menyerang. Sepakbola menyerang nan atraktif yang di ikuti pressing ketat serta menciptakan high defensive line ala Foggia mendapat sorotan publik yang lantas melahirkan istilah Zemanlandia. Setelah promosi ke Serie-A, Foggia tetap membawa pola main tersebut ke kompetisi kasta tertinggi yang akhirnya menuai banyak apresiasi positif dari para pengamat sepakbola Italia. Bila anda seorang pelatih yang menerapkan pola menyerang nan agresif di Liga Jerman, Spanyol atau Inggris sekalipun anda akan di cap handal dan di nilai berprestasi, apalagi Zeman yang menerapkan pola itu di Italia. Zeman dengan berani memainkan gaya bermain menyerang di sebuah negara yang mengagungkan seni bertahan dan menang dengan cara-cara pragmatis. Pola main buah pikiran dari seorang Zeman yang di nilai ekstrimis seolah menampar telak pemuja cattenacio yang memilih mencetak 1 gol terlebih dahulu lalu bertahan sambil berharap serangan balik atas kesalahan lawan. Zeman mempersetankan pola main di balik frasa “menang dengan cara apapun” karena baginya, menang di sepakbola adalah terus menyerang selama 90 menit. Zeman mencintai sepakbola dengan cara nya sendiri, sepakbola yang menyerang.
Selepas dari Foggia, Zeman lantas menapaki jenjang menuju klub yang secara tradisi lebih kuat dari pada Foggia. Zeman berlabuh di ibukota untuk menukangi Lazio medio 1994-1997. Meski tetap membawa pola menyerang khas Zeman ke Lazio, salah satu kontradiksi besar Zeman adalah ketika ia dengan berani mengorbitkan seorang pemain muda yang kelak akan masuk dalam jajaran bek papan atas Italia dalan diri Alessandro Nesta. Dari Lazio, Zeman beralih ke serigala ibukota dimana Zeman juga sukses memoles pemuda local yang kala itu di gadang gadang akan menjadi pangeran ibukota yaitu Fransesco Totti. Di Roma kala itu pula lah Zeman kembali meledakan sisi ekstrimis dalam diri nya. Entah mendapat inspirasi dari mana, pada 28 Juli 1998, Zeman menyebut sepakbola Italia lahir dari apotik. Zeman dengan lantang menuding Alessandro Del Piero dan Gianluca Vialli memakai steroid. Tuduhan Zeman lantas menjadi berita besar yang pada akhirnya membuat seorang jaksa penuntut di kota Torino yang bernama Raffaele Guariniello memulai investigasi. Investigasi di mulai dengan di lakukan nya penggeledahan di pusat latihan Juventus bahkan penggeledahan yang terjadi beberapa kali itu di lakukan saat tim Juve sedang melakukan sesi latihan. Investigasi yang di lakukan secara berkelanjutan pada akhirnya membuat Riccardo Agricola selaku dokter tim Juventus di nyatakan bersalah pada 26 November 2006.
Banyak yang memuji keberanian Zeman membuat pernyataan seperti itu, terlebih pernyataan itu di maksudkan untuk menyudutkan tim yang paling di segani di Italia. Tindakan Zeman mungkin di anggap pahlawan bagi sebagian orang, tapi mungkin Zeman lupa bahwa Italia adalah sebuah negara di mana para mafia lah yang menjadi penegak hukum dan kesakralan pengadilan hanyalah omong kosong besar. Zeman yang secara implisit membongkar kebobrokan Juve, boleh lah di analogikan seperti seseorang yang sedang menyalakan rokok di SPBU, berbahaya dan pada akhirnya akan meledakan diri nya sendiri. Ketika para mafia sepakbola di Italia mulai terusik dengan tindak tanduk Zeman, Luciano Moggi yang bias kita ibaratkan sebagai bos mafia sepakbola turun tangan untuk “menghabisi” karier Zeman di Italia. Entah dengan cara apa, Moggi berhasil membujuk para pemilik klub Serie-A untuk tidak memperkerjakan Zeman. Jadilah Zeman pesakitan yang hanya bekerja untuk tim-tim kecil di level kasta bawah sepakbola Italia.
Awan gelap karier kepelatihan seorang Zdenek Zeman perlahan berlalu ketika di 2012 lalu ia mendapat kesempatan kedua untuk menukangi AS Roma. Zeman hadir lagi di klub serigala ibukota ketika Totti yang dulu ia poles kini sudah benar benar menjadi pangeran ibukota yang tak tergantikan. Zeman yang masih memegang ideology sepakbola menyerang nan agresif kembali menerapkan pola 4-3-3 yang melegenda itu. As Roma coba ia buat lebih bertaring dengan Totti yang ia mainkan sebagai seorang central winger layaknya Mourinho memainkan Mesut Ozil di Real Madrid. As Roma mampu menjadi tim yang sangat berbahaya kala menyerang meski di saat yang sama harus menderita banyak gol karena seringkali ketika menyerang mereka hanya menyisakan 2 orang saja di daerah pertahanan. Kritik sempat menerpa Zeman atas pola yang tetap menjadi andalan nya itu, namun Zeman berkeras dan tak mempermasalahkan berapapun gol yang tim nya derita selama di saat yang sama tim nya mampu membuat lebih banyak gol. Namun akhirnya, penampilan fluktuatif As Roma membuat manajemen Roma membuat keputusan untuk memecat Zeman pada awal Februari menyusul kekalahan 2-4 dari Cagliari di Olimpico.
Selepas menukangi As Roma untuk kedua kalinya dan berakhir dengan pemecatan, Zdenek Zeman seolah hilang dari hangar bingar sepakbola Serie-A. Barulah di musim 2014-2015, Zdenek Zeman kembali memimpin tim kecil mengarungi kompetisi Serie-A di bawah bendera Cagliari. Dan lagi-lagi Zeman masih saja menerapkan pola 4-3-3 khas nya meski dengan komposisi pemain yang apa adanya. 28 September 2014 Zdenek Zeman bersama Cagliari nya harus bertamu ke Giuseppe Meazza untuk menghadapi tim yang hingga pekan ke 5 belum terkalahkan di ajang Serie-A. Tim tuan rumah pun baru menderita kebobolan 1 gol yang mungkin bisa menjadi gambaran kuatnya lini belakang Inter asuhan Mazzari. Namun sekali lagi, Zeman tetaplah Zeman. Ia tak gentar dengan statistik yang mengekor sebelum laga. Dengan skuad apa adanya yang ia miliki, di minggu malam waktu Indonesia Zeman tetap menerapkan pola 4-3-3 menghadapi formasi 3-5-2 ala Mazzarri. Setelah gol cepat Marco Sau di menit ke 10 mampu di samakan Pablo Osvaldo yang dulu sempat ia latih di As Roma, agresifitas tim asuhan Zeman memaksa Nagatomo bermain keras dan menerima kartu kuning kedua berujung kartu merah bahkan sebelum pertandingan genap memasuki menit ke 30.
Memainkan pola menyerang agresif dan unggul jumlah pemain jelas sangat menguntungkan untuk anak asuh Zeman di atas lapangan. Dan malam yang buruk bagi Inter benar benar terwujud setelah gelontoran gol dari Albin Ekdal dan Andrea Cossu menutup babak pertama dengan skor telak 1-4. Memang keluarnya Nagatomo merubah semua skema dan merusak sistem pertahanan Inter, namun coba luangkan waktu anda sejenak untuk menonton lagi ulangan partai tersebut secara utuh dan jangan lupa kenakan dulu kacamata objektif anda. Saya pribadi di buat tercengang dengan apa yang di lakukan skuad Cagliari malam itu di Meazza. Poros lini tengah Cagliari yang di galang, Dessena – Crisetig – Ekdal justru mampu beberapa kali menjelajah masuk dan mendikte lini tengah Inter. 3 gelandang Cagliari yang dari sisi skill dan harga jauh di bawah para gelandang Inter mampu mendominasi lini tengah karena mendapat dukungan yang kuat dari kedua bek sayap Cagliari yaitu Balzano maupun Avelar. Bola bola pendek yang di mainkan ketika menguasai bola terlihat cukup solid dan memberikan kesempatan untuk 3 striker mereka membuka ruang untuk kemudian menciptakan shoot on goal. 83 % umpan para pemain Cagliari berhasil di lakukan sementara Inter hanya mencapai angka 79%. Tercatat Cagliari membuat 16 tembakan yang 7 di antaranya mengancam langsung Handanovic, dan jumlah tembakan Cagliari tersebut bisa tercipta tidak hanya karena lubang yang di tinggal Nagatomo melainkan juga karena solidnya para pemain Cagliari memainkan sepakbola agresif nan disiplin sepanjang pertandingan.
Zdenek Zeman lagi-lagi sukses mengalahkan Inter di Meazza. Jika pada 2 September 2012 lalu ia melakukan nya bersama As Roma dengan skor 3-1, maka 28 September 2014 ini ia melakukan nya bersama Cagliari. Uniknya, karier Zeman di As Roma pada musim 2012-2013 lalu berakhir setalah tim nya di kalahkan oleh Cagliari, dan malam itu di Meazza ia mampu menang dengan jabatan pelatih dari tim yang membuatnya terbuang dari ibukota. Sesaat sebelum pertandingan berakhir, kamera sempat menyorot wajah seorang Zdenek Zeman yang tetap terlihat keras kepala meski di usianya yang semakin tua. Wajah ekstrimis yang mengguncang sepakbola Italia dengan ideologi pola pikir dan tingkah laku nya, wajah pemberani yang akhirnya membuat seorang Luciano Moggi dilarang berkecimpung di sepakbola bahkan untuk sekedar menjadi penyiram rumput di Juventus Arena. Zeman mungkin tak setenar Mourinho, Guardiola atau Ancelotti, namun pribadi Zdenek Zeman sangat pantas di kagumi oleh mereka yang percaya bahwa lelaki sejati adalah lelaki yang mengikuti hati dan memegang teguh ideologi nya.
Di awal tulisan di atas tadi, saya tidak berani menebak apa yang sedang dilakukan seorang Zdenek Zeman di awal pekan penghujung September ini. Tapi, entah mengapa saya merasa bahwa awal pekan Zdenek Zeman sehabis kemenangan nya di Meazza mungkin akan di habiskan dengan secangkir cappuccino yang sama melegenda nya dengan formasi 4-3-3 ala dirinya dan di atas meja kecil di hadapan nya tergeletak buku yang pada satu halaman tertulis…
“Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau… berbeda.”
– Filosofi Kopi by Dewi Lestari –
Wah asik banget tulisannya. Walaupun jadul, sebagai pencinta sepak bola meliat Zeman dari sisi “ngeyel”nya adalah sudut pandang yang baru.
Ternyata ngeyel kaya Zeman ini perlu kegigihan yang luar biasa, ya. Ngeyel pun capek. Ngeyel pun perlu usaha. Walaupun akhirnya dia tetep harus dipecat juga, setidaknya dia tetep ngeyel dan bertahan sama filosofinya. Keren, lah!
Konsistensi ala Zeman kaya gini perlu ditiru. Tapi bukan ngeyelnya yang perlu ditiru, cukup konsistensinya aja hehe