
-
- Posted by Pram Ichanx
Tarikan nafas dalam atas sebatang rokok dengan huruf berwarna merah dan hitam di muka bungkus nya, menjadi hal pertama yang menyentuh bibir ku. Sebotol whisky yang tak penuh sisa semalam di sisi kanan seperti sedang bersiap jika aku butuh tameng dari hembusan kejam angin Samudera Adriatic. Waktu di awal Juli ketika belum di mulai nya aktivitas rutin mengenai sepakbola begitu ku nikmati terutama di usia ku yang tak lagi muda. Aku tak perlu lagi sesibuk di masa lalu untuk menelpon atau menerima panggilan telepon dari banyak agen yang bahkan tak satu pun ku ingat nama nya yang dengan mulut manis nya menjajakan pemain atau mencoba merekrut pemain asuhan ku. Bulan ke tujuh selalu menjadi waktu dimana ular setan penghasut Hawa di Taman Eden hadir lagi dalam balutan setelan perlente demi keuntungan pribadi maupun keuntungan klub pembeli di kemudian hari.
Read More
-
- Posted by Pram Ichanx
"Daripada delapan scudetto. Daripada promosi dari Seri B. Daripada satu Coppa Italia. Daripada empat Piala Super Italia. Daripada satu trofi Liga Champions. Daripada satu Piala Super Eropa. Daripada satu Piala Interkontinental. Daripada sebuah gol ke gawang Fiorentina. Daripada sebuah gol dengan gaya Del Piero. Daripada sebuah gol di Tokyo. Daripada air mata saya. Daripada sebuah gol di Bari. Daripada sebuah gol voli back-heel di dalam derby. Daripada sebuah gol untuk Avvocato. Daripada lidah yang terjulur dalam laga melawan Inter. Daripada sebuah assist untuk David. Daripada gol nomor 187. Daripada sebuah gol di Jerman. Daripada Berlin. Daripada sebuah gol ke gawang Frosinone. Daripada gelar top skorer Seri B. Daripada gelar top skorer Seri A. Daripada sebuah standing ovation di Bernabeu. Daripada 704 pertandingan dalam kostum hitam putih. Daripada 289 gol. Daripada sebuah tendangan bebas yang berbuah scudetto. Daripada sebuah gol ke gawang Atalanta. Daripada rekor apapun. Daripada kostum nomor 10. Daripada ban kapten.
Tidak ada, tapi... apa yang sudah kalian berikan kepadaku selama 19 tahun ini. Aku senang karena kalian tersenyum, bersorak, menangis, menyanyi, berteriak untukku dan denganku. Tak ada warna yang lebih cerah bagiku selain hitam dan putih. Kalian membuat mimpiku jadi nyata. Lebih daripada hal lain apapun, hari ini aku cuma mau bilang TERIMA KASIH. Selalu di samping kalian."
Read More
-
- Posted by Pram Ichanx
Saat tulisan ini muncul di layar gadget anda, Steven Gerrard mungkin sedang berlari lari kecil di Stub Hub Center California bersama Robbie Keane di bawah arahan Bruce Arena. Gerrard adalah satu dari beberapa nama yang akhirnya memutuskan meninggalkan panggung sepakbola Eropa. Silau nya lampu sorot di benua biru tak lagi di rasa nyaman hingga akhir nya Amerika menjadi tujuan selanjutnya. Hasrat Gerrard untuk bisa menjadi juara Liga Inggris mungkin masih menyala meski dengan cahaya yang temaram bahkan nyaris mati. Maka tak ada yang salah juga ketika seorang Steven Gerrard memilih merumput di MLS agar lebih menikmati hidup nya sebagai pemain sepakbola yang tetap di bayar mahal namun dengan tekanan yang jauh lebih ringan.
Apakah Gerrard pengecut? Apakah Gerrard layak di labeli pecundang yang memilih meninggalkan medan perang nya sebelum ia benar benar gugur dalam pertempuran nya? Saya pribadi tak sesinis itu menilai keputusan Gerrard. Di usia nya yg tak lagi muda Gerrard hanya ingin terus bermain dengan tekanan yang tak melulu memaksanya lelah secara fisik dan pikiran. Gerrard butuh kenyamanan yang bisa melahirkan kebahagiaan dan Gerrard tahu betul kebahagiaan nya harus ia ciptakan sendiri meski itu harus membuatnya pergi dari kota yang ia cintai.
Read More-
- Posted by andhikamppp
" Saya jangan diganggu dulu. Saya siap miskin untuk negara ini."
Beberapa waktu lalu, di twitter kalimat tersebut sempat menjadi bahasan utama, seperti yang kita tahu kalimat tersebut disampaikan oleh bintang muda sepakbola Indonesia, Evan Dimas Darmono ketika ditawari menjadi bintang iklan di salah satu produk dengan bayaran cukup tinggi. Yaa seperti yang kita tahu, prestasi Timnas Indonesia U-19 memberikan "efek bintang" terhadap para pemainnya, terlebih kepada Evan Dimas selaku kapten dan kerap menjadi penentu kemenangan tim.
Sepakbola, dewasa ini telah menjadi komoditi bisnis yang luar biasa besar dari pasar kecil, sampai industri besar banyak yang mulai menggunakan sepakbola sebagai media promosinya, hal itu tentu saja berimbas pada para pelaku sepakbola baik pelatih pemain terlebih kepada klub itu sendiri. Tapi ternyata tidak semua para pelaku sepakbola sudi untuk "mengorbankan sepakbolanya" demi secuil materi, dia lebih memilih untuk fokus pada apa yang dia bela, yang dilakukan Evan itu merupakan contoh kecil.
"Diluar" sana Evan bukan satu satunya contoh dalam hal itu ...
Read More