Tak pernah ada yang dapat mengalahkan gempitanya pasar yang bertransaksi. Suara ibu menawar yang lantang hanya dapat dikalahkan oleh suara ibu yang lain yang menolak tawaran. Sebuah negosiasi yang disepakati dengan tanda jadi. Abang-abang yang menjaja barang tak sudi kalah dalam riuh rendah. Ia mencoba menarik hati ibu lain yang masih menimbang-nimbang hendak makan apa nanti malam. Sekali dua mereka saling bercerita, menjadi mitra terbaik bagi para ibu untuk mengumbar dosa melalui kata. Aku memperhatikannya, dengan satu buah gitar tua di tangan, yang terbengkalai tanpa guna. Aku berbalik arah, langkahku gontai, tak sanggup mengalahkan keramaian pasar. Di belakang, para pedagang…
Cinta
Ia berdiri di dalam hujan yang berjatuhan perlahan, bersandar pada sebatang tiang dengan lampunya yang mulai padam. Ia, wanita itu, hanya menatap nanar ke sekelilingnya yang gelap. Sudah lewat tengah malam dan tak ada satupun batang hidung yang tampak sepanjang tamasya di sudut stasiun kota. Bahkan ketika hujan perlahan-lahan menderas, ia masih tetap setia pada posisinya, tidak bergerak walau selangkah. Sesekali dari mulutnya terucap sepatah dua patah kata halus yang merayu dan memanja. Namun kemudian kepalanya menunduk, menyembunyikan sesuatu yang mulai keluar dari matanya yang bulat. Tangisan itu, yang kini tersamar oleh butiran air hujan.
Waktu tak pernah berencana untuk diam, beristirahat sekedar membuang lelah. Waktu akan senantiasa berlari dengan irama yang sama, konstan tak pernah berubah seolah memaksa kita untuk tumbuh kembang beriringan dengan waktu yang terus berjalan. Tak diizinkan sekalipun kita untuk berputar arah atau jalan kebelakang, tak akan pernah bisa. Sekarang ini yang bisa kita lakukan hanya ikut menapak arah bersama waktu, melanjutkan cerita yang telah dimulai, menyelesaikan bait demi bait skenario hidup yang telah dicetak rapi dalam naskah bernama waktu. Sedang untuk waktu yang sudah tertinggal jauh hanya bisa kita tertawakan, atau tangisi?, terserah. Lalu di kemudian hari, kita akan mengejawantahkan…
“Hati boleh bodoh, otak jangan!!” Entah mengapa dalam beberapa minggu terakhir kalimat itu selalu berkelebat dan menari-nari dalam pikiranku. Berawal dari ketika aku membaca sebuah tulisan karya Christian Simamora yang kubaca berulang-ulang. Apa pasal?? Boleh jadi aku begitu terhanyut kedalam isi cerita tulisan itu, seperti aku berada didalamnya. Beberapa bagian dari isi cerita itu menjadi lekat dan begitu mengganggu pikiranku karena isi cerita itu begitu mirip atau aku bilang sama persis dengan apa yang sedang aku rasakan. Apa mungkin aku bodoh? Ah, masak iya? Apa nilai-nilai yang aku dapat semasa 17 tahun mengeyam bangku pendidikan kurang cukup membuktikan kecerdasanku yang melebihi…
Malam ini adalah malam kesekian untuk aku melakukan hal yang sama, seperti kemarin dan kemarinnya lagi, mengantri demi sesuap sate. Tak perlu heran, sate adalah makanan favoritku –selain mie ayam tentu saja. Demi sate, aku rela untuk berkeliling kota berpindah dari satu tempat sate ke tempat yang lain. Seperti apapun itu tempatnya, untukku itu tak pernah menjadi soal. Asalkan sate itu adalah ayam dengan bumbu kacangnya, itu sudah menjadi alasan yang masuk akal untuk aku berkeliling tempat, entah itu harus menunggu manis di rumah makan kelas atas atau berdesak-desakan di abang sate pinggir jalan, sungguh, aku tak perduli. Seperti malam…