Hilir mudik para penumpang tampak tidak terlalu padat di Stasiun Barcelona Sants ketika aku tiba. Entah karena ini bukan akhir pekan atau memang aku tiba di waktu dimana banyak orang sedang menyantap makan siang atau mungkin siesta sebelum kembali beraktivitas. Belum tepat pukul 1 siang ketika aku memutuskan mendaratkan tubuhku di deretan bangku kosong berwarna gelap seraya menunggu kereta ku datang. Penutup kepala yang terdapat pada bagian belakang jaket segera kuturunkan. Situasi di sekitar, aku rasa, cukup kondusif untuk aku bisa menunggu dengan tenang tanpa dikenali. Bukan soal aku yang ogah dan malas melayani penggemar, namun hari ini aku hanya ingin menjadi manusia biasa yang kadang perlu waktu menjalani kesendirian dan kesunyian. Terutama mengingat kemana aku akan pergi hari ini.
Dua puluh menit berlalu dari pukul 1 dan kereta tiba. Aku segera naik menuju gerbong kelas turista dan menempati bangku yang memang didesain untuk satu penumpang di sisi kiri dekat jendela. Tidak terlalu banyak yang berubah dari kereta ini selain tampilan luar yang lebih modern dan kenyamanan kursi untuk penumpang. Sudah lama aku tidak naik kereta, dan ketika momen dimana kereta ini perlahan berjalan lembut meninggalkan stasiun, ada semacam kenangan yang terpercik tentang apa yang sudah sejauh ini kujalani, baik sebagai pesepakbola atau sebagai manusia biasa. Perjalanan 5 jam 30 menit kali ini tampaknya tidak akan mampu kulewati dengan tidur. Pikiranku menerawang ke banyak hal yang sepertinya harus kuungkap tanpa perlu kuucap.
Adalah seorang Alberto Benaiges yang membawaku ratusan kilometer dari rumah di Fuentabilla yang merupakan sebuah desa kecil di Provinsi Albacete ke Barcelona. Beliau melihatku untuk pertama kalinya ketika aku bermain di tim Albacete Balompe. Kemudian, Benaiges merekomendasikanku kepada Enrique Orizaola yang kala itu melatih akademi La Masia sebagai pelatih kepala. Dan di usiaku yang saat itu masih 12 tahun, aku melihat dan mendengar langsung saat Orizaola membujuk kedua orang tuaku agar mengizinkanku bergabung dengan La Masia. Ayahku dengan mudahnya mengizinkan. Sedangkan Ibu membutuhkan sedikit waktu untuk berpikir sebelum akhirnya mengizinkan. Ketika akhirnya aku tahu bahwa aku akan berpisah ratusan kilometer dari keluarga, aku lah yang saat itu tidak siap. Berada jauh dari kedua orang tua adalah ketakutan yang kala itu menghantuiku.
Selain mengetahui bakat sepakbola, Benaiges juga tahu betul bagaimana hari demi hari yang kujalani di La Masia. Ia tahu betul jika sehabis berlatih sore, aku pasti mengurung diri dalam kamar dan kadang menangis tersedu. Rindu akan rumah dan terutama rindu pada kedua orangtua adalah kerinduan yang paling memilukan dan amat layak untuk kutangisi saat itu. Benaiges sering mendapati sungai air mata yang mengalir di pipiku. Tapi hingga detik ini aku berani bersumpah, tak pernah satu kali pun keluar kalimat untuk aku berhenti dan pergi dari La Masia.
Aku sengaja memilih untuk berpergian seorang diri kali. Aku sudah membicarakan hal ini dengan Anna Ortiz, istiku, sejak beberapa minggu lalu. Tak masalah, ia mengizinkan. Ia tahu bahwa tengah pekan ini adalah waktu senggang terbaik untuk bepergian sebelum memasuki pekan-pekan sibuk setelah. Tengah pekan depan aku dan tim yang kubela akan berlaga di fase knock–out Liga Champions dan tiap kali aku dan tim ku memasuki fase knock–out, aku pasti mengingat hari dimana aku pertama kalinya bermain di ajang tersebut. 29 Oktober 2002, malam yang cukup dingin di Jan Breydel Stadium Belgia, markas Club Brugge. Barcelona sudah memastikan diri lolos dari grup, dan Louis Van Gaal, pelatih Barcelona saat itu, menurunkan tim lapis kedua yang dikombinasikan dengan beberapa pemain muda. Termasuk aku. Saat itu aku sudah berlatih bersama tim senior selama kurang lebih setahun, namun aku masih tak menyangka jika Van Gaal langsung menurunkanku sebagai starter. Dengan nomor punggung 34, aku sangat gugup di awal laga namun akhirnya aku bisa menikmati permainan dan nyaris membuat gol jika saja sepakanku tak membentur tiang gawang. Malam itu kami menang melalui gol tunggal yang berkelas yang di cetak oleh Juan Roman Riquelme lewat sepakan dari jarak 25 meter setelah sebelumnya melewati hadangan dua bek lawan. Mengapa aku bilang “gol tunggal yang berkelas?” karena memang Juan Roman Riquelme adalah pemain yang hebat dan berkelas. Aku mengibaratkan ia adalah seorang murid cerdas di sekolah yang salah dan sialnya, wali kelasnya pun sosok guru yang salah, guru yang tidak cocok untuk murid secerdas Juan Roman Riquelme.
Laju kereta yang cukup cepat sedikit menginterupsi lamunanku. Perjalananku kali ini sebenarnya terbagi menjadi dua bagian karena nanti kereta ini akan transit dan aku harus berganti kereta yang nantinya akan membawaku ke tempat tujuan. Kereta AVE 03132 yang kunaiki saat ini akan transit di Stasiun Puerta De Atocha, dimana aku harus berganti kereta dan berangkat lagi dengan kereta Altaria 00224. Bisakah anda menebak di kota mana Stasiun Puerta De Atocha berada? Stasiun Puerta De Atocha berada di kota Madrid, kota yang yang megah sekaligus kota rival abadi dari wilayah dimana klub ku bermarkas. Pertama kalinya aku datang ke kota ini bersama timku terjadi pada 10 April 2005 lalu. Frank Rijkaard memainkanku sejak menit awal dengan pola 4-3-3 legendaris ala dirinya. Bersama Xavi dan Rafael Marquez aku mengkoordinir lini tengah menghadapi deretan nama beken milik tim tuan rumah. Aku masih berusia 21 tahun kala itu, bermain di kandang lawan dan berjibaku menghadapi trio Beckham, Gravesen dan tentu saja Zidane. Sungguh sebuah malam yang berat dan debut tampil di el classico perdanaku berakhir pahit dengan kekalahan 2-4. Sesuai dengan nomor di punggung ku malam itu. Tapi aku selalu menikmati tiap kali kunjungan timku ke kota ini. Adrenalin terpacu berlipat ganda ketika kaki ini keluar menuju lapangan dari lorong Santiago Bernabeu. Aku dan timku tidak hanya ingin menang ketika el classico di helat di Bernabeu, karena kami juga ingin tampil menghibur. Semangat menggelora khas masyarakat Catalan yang di era lalu termarjinalkan bahkan dibinasakan oleh kediktatoran Jenderal Franco di Kota Madrid, harus di akui menjadi pelecut aku dan timku bermain sebaik mungkin ketika tampil di kota ini. Semangat itu pula lah yang mungkin bisa menjadi alasan mengapa tiap kali aku mencetak gol di Bernabeu, selalu dengan sepakan keras tanpa kompromi. Caraku melepaskan tembakan yang berbuah gol ketika tampil di Bernabeu adalah hal yang sangat berbeda dengan banyak gol yang ku buat di tempat lain.
Kereta yang sedari tadi mulai terasa melambat akhirnya berhenti di Stasiun Puerta De Atocha tepat pukul 16 lebih 10 menit. Aku segera keluar dari kereta setelah mengenakan lagi penutup kepala dari jaketku dan berjalan menuju pintu keluar, kemudian berjalan kaki lagi menuju Stasiun Atocha Cercanias untuk berganti kereta yang berjarak tak lebih dari 300 meter. Setelah melewati Calle Estacion kemudian berbelok sedikit ke kiri dan melewati Paseo de la Infanta Isabel, akhirnya aku tiba dan bersiap masuk ke area Stasiun Atocha Cercanias. Petugas stasiun yang baru saja memeriksa tiket ku di depan pintu utama, berujar lirih, “estoy bastante impresionado con tu disfraz.” Ucapnya dalam logat khas Spanyol. “gracies, a reveure.” Jawabku dengan logat khas Catalan.
Pukul 16:40 kereta kedua yang akan ku naiki sudah tersedia di jalurnya. Aku pun segera naik dan lagi-lagi menempati bangku yang sama seperti di kereta pertama. Satu bangku untuk satu penumpang dan di sisi kiri dekat jendela. Kereta mulai melaju ketika aku menurunkan lagi penutup kepala dari bagian belakang jaket. Dari tempat penyimpanan di bagian belakang bangku penumpang di depanku, aku mengambil sebuah koran Mundo Deportivo yang pada 2014 lalu pernah memuat sebuah surat yang di tujukan untukku. Surat yang ditulis seseorang atas apa yang kulakukan pada 11 Juli 2010 lalu di Soccer City, Johannesburg Afrika Selatan. Hari itu final Piala Dunia pertamaku dan juga untuk Spanyol. Partai yang sulit karena sejak menit awal Belanda bermain sangat baik dan menyulitkan kami untuk memainkan sepakbola dengan gaya kami. 90 menit berlalu, skor kacamata membuat kami harus memanjangkan nafas ke babak extra time. Memasuki menit ke 117, Torres menguasai bola di sisi kiri, aku yang sebelumnya berada di tengah lapangan masuk ke dalam area pertahanan Belanda. Torres melakukan umpan lambung menuju ke arahku, namun Rafael Van Der Vaart memotongnya, bola yang liar tepat di depan area kotak penalti Belanda kemudian di kuasai oleh Fabregas yang dengan cepat memberikan umpan ke arahku, dan dengan kaki bagian dalam aku menahan bola, setelah bola memantul satu kali ke tanah, aku kemudian melepaskan sepakan keras yang gagal di hadang oleh Van Der Vaart dan di tahan oleh Stekelenburg. Gol!!! Yang terjadi selanjutnya adalah kombinasi emosi dan euforia pada satu momen bersamaan. Aku berteriak, membuka jersey ku seraya berlari kencang ke sudut yang tak kurencanakan sebelumnya. “Dani Jarque Siempre Con Nosotrosa” tertulis dengan tinta biru tua di kaus dalam yang ku kenakan. Aku kenal Dani Jarque tahun 2001 ketika kami berdua berada di Tim Nasional Spanyol U-17. Aku sekamar dengannya di Inggris saat kami menjalani dan menjuarai turnamen UEFA Euro U17. Jarque yang lahir di kota Barcelona dan tumbuh dengan semangat Catalan, sedikit banyak ikut membentuk karakter dan pola pikir yang hingga detik ini kumiliki. Jarque tahu betul aku bukan lahir di kota Barcelona, tapi Jarque pernah berujar “bukan soal dimana kau di lahirkan, tapi dengan semangat apa kau ingin tumbuh sebagai pribadi yang berguna.” Dan di waktu hidup seorang Dani Jarque yang teramat singkat, ia tak pernah sekalipun menyesal bergabung dengan Espanyol meski nyaris semua anak yang lahir di kota Barcelona punya mimpi untuk mengenakan jersey Blaugrana. Semangat Dani Jarque itulah yang ingin kusampaikan pada dunia lewat selebrasi di Johannesburg. Semangat yang juga akhirnya mengurungkan niatku untuk pensiun dini pada pertengahan 2009 lalu setelah aku menderita cedera misterius dan kabar kepergian Dani Jarque saat itu sungguh mengguncangku. Dan sebuah surat terbuka ungkapan terima kasih yang di tujukan kepadaku dan di muat di salah satu cetakan Mundo Deportivo pada 2014 lalu adalah surat dari Martina Jarque, istri mendiang Dani Jarque.
Lewat pukul 6 sore, kereta masih melaju dengan kecepatan konstan. Sinar matahari yang sedari pagi tadi memang tidak terlalu terang, perlahan pamit dari deretan kaca jendela di sisi kiri. Dari lembar tiket yang ku simpan, aku sadar perjalanan ini akan segera berakhir. Aku kemudian, membuka telepon genggamku yang sejak tadi tersimpan di ransel, membaca pesan singkat dari nomer istriku namun pesan yang masuk saat itu adalah hasil ketikan Valeria, anak perempuanku. Sejak kehadirannya di dunia pada 3 April 2011, segalanya berubah di hidupku menjadi ke arah yang lebih baik. Kehadiran Valeria sungguh memberikan kebahagiaan yang sensasinya berbeda dengan meraih gelar apapun. Kini, kebahagiaan ku terasa lengkap setelah Anna Ortiz melahirkan anakku yang kedua pada 2015 lalu. Kuberi nama Paolo Andrea. Aku melirik jam hitam dengan tali berwarna coklat di tangan kiriku, 55 menit telah beranjak dari pukul 6 dan dengan itu kereta pun berhenti mulus di stasiun tujuan, Albacete Los Llanos. Ini adalah stasiun terdekat dengan tempat di mana malam ini aku ingin bermalam. Tempat yang menjadi alasan mengapa air mataku mengalir ketika ku tumbuh di La Masia. Aku melangkah keluar berbaur dengan puluhan penumpang lain yang memiliki tujuan masing masing. Beberapa begitu tergesa, dengan raut wajah yang tak lagi bisa menunggu untuk bertemu dengan keluarga yang dicinta.
Satu tangan terlihat melambai di ujung dekat pintu keluar terakhir, tangan dari seorang pria yang tak lagi memiliki rambut hitam di kepalanya. Pria itu dengan yakin bahwa aku lah seseorang yang ia tunggu kedatangannya meski cara berpenampilanku hari ini nyatanya mampu mengecoh banyak orang. Mungkin itulah naluri seorang ayah kepada anak laki-laki nya. Aku memeluknya ketika nyaris tak ada lagi jarak di antara kami berdua. Pelukan dalam diam yang justru bermakna dalam karena aku yakin ayahku tahu, seberapa deras dan kentalnya aliran warna Catalan dalam diriku, aku tetaplah seorang anak yang lahir di Fuentealbilla yang sesekali harus kembali ke rumah dan memaknai arti kata pulang. Aku dan ayahku melangkah bersama menuju areal parkir. Dan sesaat sebelum masuk ke mobil tua yang terawat milik ayah, aku teringat sebuah kutipan milik Ralph Waldo Emerson yang berbunyi, “ Rumah ialah tempat yang ingin kau tinggalkan ketika sedang tumbuh dan ingin kau kembali ketika mulai menua…”