Scroll Top

Cara Menghargai Mereka

Sepanjang hari kemarin ada satu yang berbeda pada linimasa di hampir semua media sosial yang saya miliki. (Hampir) tak ada sedikitpun bahasan tentang segala perbincangan politik yang biadab atau tentang agama atau tentang segala sangkut paut yang boleh jadi bisa merusak kebinekaan. Makhluk media sosial hidup, sepanjang hari itu, hidup penuh dalam rasa damai akibat satu bahasan konyol, yang sebetulnya sudah usang, namun kembali diperbincangkan. Tentang sebuah aksi yang bisa kita temukan di sekitar, yang menyenangkan meski dalam beberapa kasus sebetulnya amat berbahaya untuk dilakukan : om telolet om.

Sepanjang yang saya ketahui, aksi ‘om telolet om’ adalah sebuah aksi lama dari jalur darat sebelah utara di pulau jawa, sekelompok anak kecil yang meminta kepada setiap bus yang melewati jalur tersebut untuk membunyikan klakson, klakson yang berbunyi telolet. Aksi yang begitu menyenangkan meski, sekali lagi saya ucapkan, berbahaya. Melihat bagaimana reaksi sekumpulan anak yang mendapatkan ‘telolet’ tersebut saya tertawa luar biasa. Di sisi lain saya belajar dari mereka, bahwa sesungguhnya untuk bahagia kita bisa melakukannya dengan cara yang teramat sangat sederhana. Dan sepanjang hari kemarin ‘om telolet om’ telah menjelma menjadi sebuah kata yang oleh karenanya segala belahan dunia sudi menyisihkan waktu. Untuk mencari tahu, membahasnya atau bahkan mencobanya. Menjadi pemuncak topik di twitter adalah sebuah buktinya. Entah siapa yang memulainya. Tapi saya kira kita semua, yang muak dengan bahasan perusak kesatuan itu, patut berterimakasih kepadanya.

Tapi teman bersiaplah. Gempita ini hanya akan ada sebentar saja. Hukum yang ada di dunia ini memang selalu begitu, selalu mengenyahkan sesuatu yang datang dan naik secara cepat dengan cara yang lebih cepat. Dan perbincangan politik dengan segala intriknya, agama dengan segala sumpah yang ada di dalamnya, atau apapun itu, akan segera datang kembali.

Sumber gambar : theweek.com

Yang tidak menyenangkan ketika pembicaraan seputar politik, agama, budaya dan sejenisnya itu adalah ketika muncul perbedaan pendapat. Antara satu dan lainnya seringkali bersikukuh dengan apa yang mereka percaya dan mereka yakini tanpa pernah mau bertoleransi terhadap pandangan berbeda yang dimiliki orang lain. Dan hal seperti itu, jika terus menerus dibiarkan, tentu akan berpotensi membuat lingkaran sosial yang ada di dalamnya terpecah belah. Saya sendiri memilih untuk berada di antaranya. Saya tidak pernah mau terlibat banyak dengan hal seperti itu. Bagaimana caranya? Mudah saja.

Untuk beberapa kasus, perbincangan seperti itu seringkali menyentuh poin-poin sensitif yang saya yakini. Dalam bentuk apapun itu. Dan adalah sebuah kelaziman jika kita merasa berang ketika suatu keyakinan atau hal yang kita percaya dikatai oleh orang yang memiliki pandangan berbeda. Oleh karenanya banyak dari kita yang mencoba untuk menyanggah atau jika perlu membalas perkataan-perkataan itu. Tapi saya berpikir jika kemudian saya menyanggah dan membalas, meski sekedar untuk membela pandangan saya, itu hanya membuat sebuah rangkaian percakapan panjang yang penuh emosi dan tak mungkin bisa berhenti. Maka saya memilih diam. Itu pilihan saya. Mulanya saya melakukan itu dengan membayangkan jika mereka yang mengatai pandangan saya itu adalah salah satu dari keluarga saya sendiri entah itu ayah, ibu, kakak, adik, istri atau siapapun yang betul-betul saya sayangi. Mendebat mereka, keluarga yang berbeda pandangan itu, hanya akan membuat keharmonisan rumah tangga menjadi runyam. Tak elok tampaknya jika di suatu atap yang sama menjadi saling alfa bersapa hanya karena pandangan yang berbeda.

Hal ini tentu tidak akan bisa dilakukan oleh mereka yang sama sekali tidak peduli terhadap bagaimana pentingnya sebuah kehangatan dalam suatu hubungan kekeluargaan.

Perbincangan-perbincangan seputar perbedaan pandangan kerapkali membuat sakit hati untuk salah satu pihak atau bahkan mungkin untuk kedua pihak yang berdebat. Anda pernah merasa sakit hati ketika pandangan Anda dikatai atau dicela oleh orang yang berbeda pandangan? Jika ya dan Anda memutuskan untuk menyanggah, mendebat atau bahkan balas mencela, cobalah Anda kembali membayangkan dan merasakan sakit hati tadi. Tidak enak bukan? Dengan Anda menyanggah atau malah membalasnya hanya akan menambah daftar sakit hati tanpa batas. Tidak menyenangkan bukan merasakannya? Bagaimana kita menjalani kehidupan yang baik jika kita berada dalam lingkungan barisan sakit hati. Betul, ada sesuatu yang (mungkin) harus kita bela. Pandangan kita itu. Tapi bukankah banyak pepatah bijak mengatakan bahwa beberapa masalah, untuk menyelesaikannya sebaiknya kita coba saja untuk mengalah. Dan ya, percuma Anda membaca paragraf ini jika Anda termasuk ke dalam orang yang sama sekali tidak peduli perasaan orang lain.

Atau jika cara-cara di atas tadi dianggap terlalu sulit dan atau percuma untuk dilakukan Anda mungkin bisa mencoba untuk melakukan hal yang saya –dan orang-orang yang memiliki kebiasaan yang sama lakukan. Menghindari pembahasan dan membuat bahasan baru yang lebih menyenangkan. Hujani lingkaran sosial Anda dengan bahasan lain yang lebih baik, yang bisa memersatukan bukan memecahnya, yang bisa merekatkan bukan meregangkan, yang bisa membuat kehidupan sosial Anda lebih hangat, sekalipun didalamnya banyak sekali perbedaan. Untuk negeri ini, bahasan terbaik untuk memersatukan, seperti yang kita sepakati sebelumnya, adalah pertandingan sepakbola tim nasional. Beberapa kali dibuktikan fokus masyarakat setiap kali tim nasional sepakbola negeri ini bertanding hanya satu. Kemenangan. Sayangnya tidak semua lini kehidupan menyukainya, dan lagipula tidak setiap hari sepakbola ada. Maka yang bisa saya, Anda, kita lakukan adalah membuat sebanyak mungkin variasi bahasan yang, barangkali, bisa menjadi pemuncak topik, mengalahkan segala perbincangan keji yang bisa merusak kebinekaan. Mungkin seperti aksi ‘om telolet om’ yang saya bicarakan di paragaf mula tulisan ini.

Dan mari kita sepakati sekali lagi bahwasanya Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaannya bukan untuk memecah belah umat-Nya. Sebaliknya Ia menciptakan perbedaan itu untuk kita saling menghargai. Ah, iya. Jikapun Tuhan yang kita yakini berbeda, saya rasa setiap Tuhan yang masing-masing dari kita yakini tak pernah mengharapkan umat-Nya terpecah belah hanya karena satu-dua perbedaan. Itupun jika Anda percaya Tuhan adalah Maha Baik.

Karena teman, percayalah, tak ada satupun makhluk Tuhan yang pantas untuk mendapat hinaan, celaan dan perlakuan tidak adil. Ehm, kecuali mereka yang sepanjang hidupnya tidak punya nyali untuk membuka hati, yang memutuskan untuk tetap sendirian ketika mayoritas temannya telah memiliki pasangan. Mereka itu, para pemilik hati yang kosong, sesungguhnya telah mengkhianati perintah Tuhan untuk memiliki pasangan. Dasar umat tidak tahu diri.

Sumber gambar : fineartamerica.com

Catatan : 

Setiap dari kita memiliki keresahan dan pandangan yang berbeda, dalam bentuk apapun itu. Beberapa orang memiliki caranya masing-masing untuk mengjewantahkan permasalahan tersebut. Oleh karena itu, saya dan beberapa teman saya bersepakat untuk membuat sebuah tulisan (yang tidak berhubungan) namun memiliki satu garis masalah yang sama : cara.

Mereka itu adalah @benbenavita yang ketika sedang membahas ini sedang dalam mood yang tidak baik sehingga mudah saja untuknya menuliskan Cara Mengembalikan Mood Cewek demi kebaikan perempuan-perempuan yang sedang gundah gulana. Atau ada juga @wandasyafii yang pernah gagal menjalin sebuah hubungan karena sering bertengkar hanya karena masalah sepele : sepakbola. Oleh karenanya ia menuliskan Cara Agar Kamu Suka Sepakbola agar barangkali pada kesempatan berikutnya, perempuan yang tidak beruntung menjadi pasangannya bisa lebih maklum. Dan terakhir ada @kening_lebar yang dengan pengalaman bercintanya yang nyaris nol menuliskan sesuatu yang berkaitan antara nasib dengan hobi yang ia miliki. Anda bisa membaca curahan hati dari yos pada tulisan Cara Supaya Travelling Menjadi Ampuh Untuk Move On.

Sayang sekali saya menuliskan keterangan ini di akhir tulisan. Setelah membaca tulisan mereka, pasti Anda hanya menganggap tulisan saya ini sebagai puing-puing usang laksana serpihan hati yang berulang kali disakiti.

Comments (5)

atau….

Ketinggalan tuh mas dika..
Revisi ih.
Jadi nanggunggg..

“kecuali mereka yang sepanjang hidupnya tidak punya nyali untuk membuka hati, yang memutuskan untuk tetap sendirian ketika mayoritas temannya telah memiliki pasangan. Mereka itu, para pemilik hati yang kosong, sesungguhnya telah mengkhianati perintah Tuhan untuk memiliki pasangan…”

Pas baca bagian ini kok jadi ketabok ya, rasanya tuh tertampar namun pengin nampar juga. Sebenarnya bukan masalah punyaa atau tidak, nyali untuk membuka hati. Tapi apakah jika sekiranya kita belum siap untuk memiliki pasangan harus memaksa untuk memiliki pasangan? Agar bisa seperti kayak teman-teman yang lainnya? Aku rasa, gak seperti itu juga bang haha ya adakalanya memilih sendiri itu untuk memberi jeda, kepada hati, agar bisa melihat lebih dalam lagi, apa yang sebenarnya diinginkan dari hati dan diri ini, apakah logika sudah siap dengan segala aturan-aturan yang tak lagi sama? Sekiranya tak hanya kita yang perlu melamun, hati pun terkadang perlu untuk melamun. Memberinya jeda sementara.

Ya seperti mengutip kata-katanya Eko Triono dalam buku Agama apa yang pantas untuk pohon-pohon dalam tulisannya Bang Dika yang terbaru, “Melamun bukan membuang waktu, melainkan menciptakan waktu; menciptakan jeda untuk memeriksa apa yang sudah kita miliki atau apa yang baru saja hilang, baru saja pergi”.

Lah, gue baru ngeh, Fan. Ada komentar ini, astaga. Hahaha, beberapa paragraf lagi, Fan. Komentar lu akan menyamai panjang tulisan ini.

Tulisan Mas Dhika memang :))
Wajar saja kalau memancing Kak Fandy untuk menanggapi yang sekiranya menjadi curhat. Hehehe.

“Bagaimana kita menjalani kehidupan yang baik jika kita berada dalam lingkungan barisan sakit hati.”

Aku menjadi memikirkan penggalan ini,

Hahaha, baru ngeh Fandy komen panjang bener. Ehm, ketika kalimat itu yang ‘dipikirin’?

Leave a comment