Aku baru pulang kerja waktu itu, dan telepon berdering kencang, mengalunkan nada yang aku hafal sebagai tanda berita bahagia. Nada yang sengaja aku khususkan untuk dirinya, lelaki yang kini sedang menikmati rimba pengalaman kerja pertama, di salah satu kota yang terkenal dengan kembangnya yang merona. Dibuka dengan nada manja, kau balas dengan nada datar seperti biasa. Nada datar yang aku hafal sebagai tanda berita bahagia penuh dilema. Dan, ternyata benar, aku buka dengan ucapan sayang, kau tutup dengan perpisahan. Begitu sajakah? Ah sialan!
Pergi
Hampir sebulan gue ninggalin tempat dimana gue ngedapetin segala kenyamanan sebagai seorang manusia. Tempat tinggal yang bisa bikin gue betah seharian ngurung di dalem kamar. Temen temen yang bisa ngebantu gue ngebentuk pribadi gue jadi lebih dari sebelumnya. Kerjaan yang “enak” banget polanya dan segala hal yang gue anggep jadi salah satu bagian penting dari hidup gue, akhirnya mesti gue tinggalin. Kepisah. Dan gue ga suka. Kaya yang gue bilang sebelumnya di tulisan gue yang ini. Yang bikin gondok dan nyesek dari sebuah perpisahan itu bukan saat kejadian kita pisah, tapi tentang pola kehidupan yang cenderung berubah setelah ada perpisahan, tentang…