Bayangkan saja jika Thor tanpa Mjolnir-nya, Batman tanpa Lucius Fox, Spiderman tanpa jaring laba-labanya dan Superman tanpa jubah terbangnya. Ya, tanpa semua itu para pahlawan super-fiksi ini hanyalah manusia kurang kerjaan yang kerjaannya hanya merusak dan mengganggu ketentraman kota. Atau bagaimana bila Rhoma Irama tanpa gitar-buntungnya? Ya, kita mungkin hingga detik ini tak akan pernah mendengar jargon terlaluuuuu. Jika semua tokoh diatas di korelasikan menjadi satu, apa yang terjadi? Perang dunia ke-tiga? Terpilihnya Cina sebagai negara super-power ke-tiga? Atau mata uang Poundsterling yang menjadi Rp. 4000 per 1 poundsterling. Rasional? Bisa saja.
Memang ya dan benar jika semua tokoh diatas melebur menjadi satu kekuatan, itu akan berdampak cukup besar bagi perkembangan dunia. Oke, kita coba hilangkan nama Rhoma Irama dalam daftar itu dan kita ganti dengan sepakbola. Sepakbola tanpa suporter, sekarat-koma-dan mati. Kita bisa saja menyamakan sepakbola dengan tokoh-tokoh fiksi diatas, walaupun sepakbola bukanlah barang fiksi.
Beberapa jam yang lalu, tepat sebelum saya memikirkan untuk menulis artikel ini, saya mendapat suguhan menarik dari kelompok suporter Aremania. Mengapa menarik? Ya, Aremania memberi bukti bahwa loyalitas dan dedikasi itu bukan hanya jargon atau tulisan di banner stadion. Aremania tak perduli dengan karakteristik masyarakat Papua yang terkenal keras dan jahat. Di stadion Bas Youwe kala Arema Indonesia menjadi tamu menghadapi tuan rumah Persidafon Dafonsoro, Aremania tak kenal lelah dan letih menyanyikan kidung agung untuk memompa semangat para pemain yang telah mereka anggap nabi ini. Saya mengambil kesimpulan, bahwa Aremania yang datang ke stadion Bas Youwe itu bukanlah Aremania yang jauh-jauh datang dari Malang hanya untuk mendukung Arema di Papua. Mereka adalah orang-orang Jawa yang domisili di sekitaran Jayapura dan kebetulan meng-idolakan Arema.
Terlepas dari semua itu, mereka tetaplah Aremania, datang dengan dedikasi tinggi dan loyalitas sampai mati. Sama seperti suporter tamu yang datang ke stadion tuan rumah, Aremania juga mendapat cacian dan hujatan dari suporter tuan rumah. Bahkan sesekali suporter tuan rumah melakukan gerakan menjurus anarkis terhadap suporter Arema, semata-mata demi meng-intimidasi suporter lawan. Tak sia-sia dukungan yang diberikan oleh Aremania teruntuk Arema Indonesia, kemenangan 2 – 1 atas tuan rumah Persidafon Dafonsoro menjadi pelepas dahaga rakyat Malang -dimanapun Anda berada- karena gagal mempertahankan gelar Juara ISL karena Persipura Jayapura telah meng-kudeta-kan Arema.
Tak hanya dedikasi dan loyalitas suporter yang menjadi faktor kesetiaan, Paolo Maldini, Franco Baresi, Tony Adams, Steven Gerrard, Paul Scholes dan sederet nama pesepakbola lainnya adalah bukti nyata bahwa loyalitas dan dedikasi itu nyata dan patut untuk dipertahankan.
Mereka tak perduli dengan uang atau janji prestasi yang diberikan oleh pelatih, mereka hanya tahu main membela tim -entah sampai kapan mereka bermain- David Beckham yang memberikan gajinya di Paris Saint-Germain kepada yayasan dan Ricardo Kaka yang tak mau di gaji karena cidera yang di derita kala menjalani debut perdana bersama mantan tim, AC Milan. Tak ada salahnya jika kita meng-korelasi-kan antara pemain-pemain sepakbola, suporter dan cerita dongeng. Karena mereka kesetiaan itu nyata dan ada. Tak masalah, sejak kapan Anda mendukung tim idola, masalahnya sampai kapan Anda menjadi pendukung tim idola Anda, sampai mati, berani?