Scroll Top

Undangan di Kota Jauh

“Mas, datang?” di satu kerumunan seorang teman memberikan undangan pernikahan. Yang bertanya tentu saja bukan si empunya hajat tapi teman lain yang juga menerima lembar undangan yang sama. Pikiran saya sedang kosong perlu satu-dua pertanyaan tambahan sampai akhirnya saya mengangguk kecil. “Iya, mudah-mudahan waktunya pas, ya” jawab saya. Ketika kerumunan itu mulai mereda saya menghempas diri di atas kursi. Menggaruk kepala yang tidak gatal. Diskusi-diskusi beberapa waktu terakhir berkelebat di dalam kepala. Aduh.

Belakangan ini saya memang sedang menutup diri dari perjalanan luar rumah. Saya lebih memilih menghabiskan waktu di akhir pekan untuk berkumpul bersama keluarga kecil di rumah. Alasannya sederhana. Si Kecil baru genap berusia dua bulan, di rentang usia itu saya menghindari perjalanan jauh apalagi jika waktu yang tersedia amat sangat terbatas. Untuknya itu akan jadi perjalanan yang amat melelahkan.

Saya bahkan meminta izin kepada orangtua yang berada di kota jauh untuk tidak pulang sampai satu-dua bulan ke depan. Syukurlah ada hal yang membuat kami bisa bersepakat dengan mudah. “Yaudah, minjem aja sih” kata ayah memberikan usul. “Kan banyak rental mobil lepas kunci di Bandung” lanjutnya lagi. Saya mengangguk di panggilan telfon itu. Nantinya, memang itu yang akan kami lakukan. Tapi sekarang, belum. Lagi, usia adik masih terlalu kecil untuk pergi jauh di waktu yang singkat untuk ditempuh dengan bukan roda empat milik sendiri.

“Yaudah cepet-cepet beli mobil” ayah tertawa terbahak-bahak.

Selain usia adik yang masih terlalu kecil untuk bepergian jauh, kendaraan memang menjadi alasan berikutnya. Iya, ketika kami masih tinggal bertiga dan Kakak masih menjadi primadona tunggal di keluarga. Berpergian jauh tidak terlalu kami pusingkan. Perjalan pulang bisa kami tempuh dengan bus belaka. Di sana nanti kami bisa berkelliling dengan si roda dua andalan kami yang memang sengaja kami tinggal di sana.

Sekarang ini Kakak sedang belajar banyak sekali hal tentang arti berbagi, terutama berbagi dengan Adik. Lucu bagaimana ia merengek meminta dua untuk setiap apa yang ia ingin. Mulai dari makan (hei, bahkan belum ada hal lain yang masuk ke mulut adik selain air susu ibunya), mainan (adik sekarang ini hanya mau menggenggam tangan ibunya, ayahnya atau kakanya belaka), pakaian (bolehlah, beberapa mereka sudah berbusana sama, dan tempat (Kakak sudah rela untuk berbagi singgasananya di rumah dengan adik kesayangannya). Tapi, untuk tempat, sulit untuk Kakak berbagi jeda di roda dua. Jadi, kebiasaan kami yang disebutkan tadi. Sementara waktu, ya, kami tunda dulu.

Ketika membeli bukan solusi, maka yang bisa kami lakukan adalah meminjam. Banyak sekali tempat pinjam meminjam roda empat yang bisa kami temukan di sini namun tidak banyak yang bisa kami lakukan hanya gara-gara persyaratan administrasi.

Untuk perjalanan jarak dekat, bisa kami atasi dengan moda transportasi daring. Kapan pun kami mau. Untuk perjalanan jauh? Sekali lagi, nanti dulu.

Lamunan saya buyar. Denting jam berbunyi beberapa kali. Ada harmoni klasik yang menjadi pembeda di tempat kami bekerja. Jumlah bunyi menjadi penanda bahwa tanggung jawab sudah dihitung: saya harus mulai bekerja. Demi lembaran yang masih saya pegang, saya menjeda beberapa waktu. Saya perhatikan sekali lagi kapan waktu pasti acara itu akan berlangsung.

Saya mengambil telfon genggam, membuka layanan pesan singkat. Ada yang harus saya lakukan sekarang ini.

Bunda, minggu kedua bulan depan kita pulang, ya. Tengok papah, ibu. Kalau waktunya sempat, sekalian kita mampir ke acara temen ayah. Dia nikah kalau jadi.

Masih di layanan pesan singkat yang sama. Saya memberi pesan ke si empunya hajat, yang dipisahkan satu dua ruangan belaka. Isinya singkat saja:

“Bro, selamat. Tapi tolong pastiin dulu acaranya jadi atau enggak, masih banyak waktu kalau memang mau berubah pikiran. Maksimalin dulu waktunya buat bandel. Kalau sudah siap dan pasti. Oke, gue datang. Ongkosin jangan lupa”.

Tak perlu menunggu lama sampai balasan itu muncul.

“Sialan”   

Tak lebih. Tak kurang.

Related Posts

Comments (4)

Ah… kenapa tiba-tiba berakhir, ceritanya. AKu kan sangat menikmatinya.

Salam untuk si kakak yang sedang mengembangkan identitas diri dengan serba dua, ya

Pernah juga sih ngalaminnya, haha bisa sambil jalan-jalan ya

Mentang-mentang udah punya ‘dua’, bisa-bisanya bilang “pastiin dulu acaranya jadi atau enggak…” hahaha.

wah kalo jauh, aku jadi 50:50 mau dateng.. kecuali ada tebengan, pasti langsung jalan 😀

Comment to Siti Mustiani Cancel reply