Scroll Top

Hooq dan Cerita yang Dibawanya

“Bro, ayo siap-siap. Tenggo, kan?” aku melihat jarum panjang pada jam tangan yang kukenakan, menepuk dahi, lalu menjawab pertanyaan temanku tadi dengan sebuah tatapan heran. Astaga, ini baru jam empat lewat lima puluh lima menit, dan kau sudah siap untuk pulang? Aku memerhatikan kembali layar monitor, memeriksa beberapa file yang masih terbuka. Sepuluh menit waktu yang aku habiskan untuk  memastikan semua pekerjaan hari ini benar-benar telah selesai. Sempurna, tak ada hutang pekerjaan untuk besok pagi. Aku mengangguk, “sip, sudah selesai. Kau tak keberatan menunggu tiga sampai lima menit, kan?” kali ini giliran aku yang bertanya. Sigit, teman yang aku tanya mengerenyitkan dahinya, “Oi, kau mengunduh film lagi, kah?” Aku tertawa, mengibaskan tangan pelan. Temanku yang satu ini tahu betul kebiasaanku. Kebiasaan yang sebenarnya jauh dari kata terpuji.

Aku termasuk ke dalam golongan pekerja yang teramat sistematis. Maksudku, jika sudah berhubungan dengan pekerjaan, aku selalu menyusun daftar yang harus aku lakukan setiap harinya. Dan dalam susunan pekerjaan itu selalu dibuka dengan: membuka forum yang menyediakan tautan film untuk diunduh. Tidak lama, aku sudah sangat terbiasa, hanya sekitar lima sampai sepuluh menit, cukup beberapa langkah belaka sampai tautan unduhan muncul. Klik. Dan aku resmi menyumbang angka untuk tiga puluh juta film ilegal yang diunduh setiap harinya. Jika jaringan internet sedang baik, aku bisa mengunduh dua film, meski seringkali aku hanya mampu menambah satu daftar film koleksi. Setelah itu? Aku kembali menjadi seorang karyawan teladan, meski tak pernah menang, setidaknya di akhir tahun aku selalu masuk nominasi itu. Lihatlah, sekarang ini aku sudah melanjutkan susunan pekerjaan yang telah aku, menyelesaikannya satu persatu.

Nonton Bajakan? Duh, Ditembak nih sama Mamang Deadpool

“Bergeserlah, kawan” Sigit menyuruh, ketus. Kami sudah di dalam bus. Ia masih tidak terima karena jadwal pulangnya tertunda lima puluh menit. Tadi kecepatan internet kantor tiba-tiba memburuk ketika proses unduh menyisakan beberapa puluh megabyte lagi. Aku meminta waktu tambahan sepuluh menit. Awalnya ia tidak keberatan, ia masih tertawa bahak ketika kami keluar dari kantor, bahkan dengan ia masih sempat menjawil telinga salah satu teman kami di lift tadi. Sampai lima puluh menit kemudian, tak ada satupun bus yang lewat. Ia mendengus kesal, “Ini gara-gara kau dan film kau yang terkutuk. Pagi tadi kita sudah terlambat datang gara-gara macet sialan. Giliran sekarang pulang, kita terlambat pula. Oi, hari ini kita terlambat dua kali!” Aku menimpuknya dengan korek api, buruk sekali hitung-hitungannya. Jika menghitung untung-rugi, seharusnya kami masih ada di kantor sampai tiga puluh menit kedepan, mengganti waktu terlambat pagi tadi. Tapi apa yang ia bilang? Terlambat dua kali? Pagi dan pulang? Aku menggaruk kepala botakku yang tidak gatal.

Bus berjalan dengan lambat. Kemacetan ibukota memang sudah menjadi teman kami yang menyebalkan. Waktu tempuh dari rumah ke kantor yang hanya berbilang belasan kilometer saja menjadi sedemikian lama. Jika dalam waktu normal hanya membutuhkan waktu tiga sampai empat puluh menit, di hari kerja bisa sampai dua jam lebih. Tidak salah, bukan, jika kemudian aku menggunakan waktu di sepanjang perjalanan untuk menonton film. Karena di dalam bus aku hanya memiliki tiga pilihan aktivitas. Membaca, menonton film dan tidur. Untuk beberapa alasan, menonton film menjadi pilihan yang sering aku ambil. “Besok lusa, aku tak sudi jika harus menunggu unduhan filmmu selesai. Pulang saja kau sendirian” masih dengan nada kesal, Sigit membuka pembicaraan setelah sebelumnya mencabut paksa earphone  yang sedang aku gunakan. Aku tersenyum tidak memedulikah ocehan Sigit, melanjutkan aktivitas nonton dengan earphone yang masih terpasang sebelah. “Oi, aku serius,” kali ini ia merebut telefon genggam yang aku pegang, “apa kau sedikitpun tidak merasa bersalah? Mengorupsi waktu dan internet kantor untuk kesenangan kau. Merugikan para produsen film. Dan di atas segalanya, menyusahkanku pula karena kau sibuk memindahkan film setiap kali hendak pulang kerja. Astaga, kenapa kau tidak menggunakan aplikasi video streaming saja, sih? Nontonlah sepuas kau tanpa perlu menggunakan waktu dan internet kantor” Jika aku mengikuti ego, akan aku timpuk Sigit dengan sandal. Lihatlah, berlagak sekali dia membahas norma-norma kesopanan seolah dia pemilik perusahaan. Tapi, apa itu tadi yang dia bilang? Video streaming?

Aku menatap masygul wajah Sigit meminta ia menjelaskan tentang aplikasi yang baru saja ia sebutkan, Video streaming. Sekarang aku sudah sempurna menghentikan aktivitas nontonku. Earphone yang aku gunakan telah tersimpan rapi di dalam tas. Sedangkan telepon genggam telah berpindah tempat ke dalam saku celana setelah sebelumnya aku menandai waktu di mana aku menghentikan film yang sedang aku tonton tadi. Bukannya menjawab, Sigit malah tertawa, “pemahamanmu luas sekali jika sudah membahas film atau buku. Tapi untuk urusan teknologi? Astaga, kau ketinggalan zaman sekali, kawan” Aku memelototinya tajam, bukan itu yang aku minta kau jelaskan. “Baiklah, aku tidak punya ide apalah ini namanya. Video Streaming atau video on demand. Beberapa hari yang lalu aku melihat Mbak Sarah sedang menonton film melalui komputer tabletnya. Tidak seperti kau, ia menontonnya melalui aplikasi. Nah, ini dia.” Sigit menunjukan salah satu aplikasi yang kini muncul di layar telepon genggamnya. Yang terlihat di sana adalah halaman khas dari penyedia aplikasi salah satu sistem operasi. Sigit menekan tombol pemasangan. Hooq? Aku mengeryitkan dahi. “Betul, tidak salah lagi aku ingat betul warnanya yang khas.” Sigit menambahkan penjelasannya .

“Lalu seperti apa cara kerjanya?” aku bertanya. Yang ditanya mengangkat bahunya, “sebentar, ini aku diminta untuk melakukan registrasi terlebih dahulu. Oi, tidak sulit ternyata. Cukup memasukan nomor telepon genggam saja.”

***

“Tidak ada, Pak” aku menggeleng ketika kondektur bus yang sudah mulai berkeliling melaksanakan tugasnya, meminta ongkos menggunakan uang pas. Bus yang aku tumpangi ini unik. Dalam kondisi yang normal, jika kau membayar dengan uang pas, kau cukup membayar ongkos seharga Rp 7.000 saja. Tetapi kau hanya akan mendapat kembalian Rp 2.000 jika membayar menggunakan pecahan Rp 10.000, lebih dari itu? Ongkosnya tetap Rp 8.000. Sore ini bus pun tidak terlalu ramai. Kursi kosong masih tersisa untuk beberapa orang lagi. Kabar baiknya, dengan kondisi bus yang kosong seperti ini setidaknya memudahkan kami yang duduk di pojok belakang leluasa untuk berdiskusi. “Sudah selesai!” Sigit berkata mantap, tersenyum. Sayang sekali senyumnya tidak bertahan lama, ia sama sekali tidak punya ide bagaimana mengoperasikan aplikasi itu. Aku mendengus kesal, “hebat sekali kau cakap tadi, menghinaku karena tidak terlalu paham dengan teknologi terbaru. Oi, bukankah kau sama saja denganku? Bedanya mulutku tidak beromong kosong seperti kau, seolah-olah paling tahu segalanya.” Sigit tertawa cengegesan.

Lalu bisa kau tebak berikutnya. Generasi kita ini jika setiap kali mendapatkan masalah dan tak menemukan ide bagaimana menyelesaikannya, mudah saja, Paman Google solusinya. Dan itulah yang kemudian dilakukan Sigit. Ia berselancar menggunakan telepon genggamnya, mencari panduan penggunaan. Aku yang malas melanjutkan bertanya, karena yang ditanya pun ternyata tak tahu jawabannya, ikut berselancar, membuka banyak sekali artikel yang membahas tentang Hooq, aplikasi pemutar video yang sedang kami bicarakan.

Sudah setengah perjalanan. Sebagian penumpang turun di terminal bayangan, digantikan beberapa penumpang lain. Dan, oi, lihatlah. Ada ksatria bergitar, maksudku seorang pengamen. Aku hafal betul dengan pengamen ini, salah satu favoritku. Biasanya ia membawakan tembang-tembang lawas. Ebieth G Ade, Iwan Fals dan penyanyi seangkatannya. Gitarnya ia mainkan dengan cara petik. Merdu sekali.  Tapi, oi, ada apa hari ini? Alih-alih membawakan tembang lawas, sore ini ia membawakan beberapa lagu OST film-film Indonesia. ‘Ada apa dengan cinta’, ‘Mengejar Matahari’, ‘Dealova’ dan ‘Ketika Cinta Bertasbih’. Untuk nama terakhir aku tidak begitu familiar dengan lagunya. Aku mengusap bagian bawah dagu, mengingat-ingat. Benar juga, sudah cukup lama aku tidak menonton film lokal. Dari daftar koleksi film yang aku miliki, sedikit sekali film lokal. Maklumilah, di dunia film bajakan digital ada sebuah peraturan tidak tertulis yang berbunyi: ‘Dilarang keras mengunggah film lokal. Hargai karya anak bangsa’. Alhasil tentang film lokal, kita hanya memiliki sedikit pilihan. Menonton di bioskop pada masa tayangnya, menonton di televisi dengan segala iklan dan adegan yang dipotong. Atau tidak menonton sama sekali.

“Oi, lihatlah. Ternyata tidak sulit menggunakan Hooq,” Sigit berseru, membuyarkan lamunanku. “Terima kasih, Paman Google,“ Sigit berujar pelan, “aku menemukan satu artikel yang membahas tentang Hooq, tidak terlalu detail tapi cukup membantu untuk orang awam seperti kita. Ternyata mudah kawan” Sigit tersenyum cemerlang. Kali ini terlihat wajahnya yang semakin antusias, melupakan umpatannya padaku dan kebiasaanku menonton film di perjalanan. “Semua keunggulan yang diberikan oleh Hooq ternyata ada di menu utamanya. Ini, lihatlah.” Ia memberikan telepon genggamnya padaku. Menunjukan sebuah artikel yang ia temukan. Aku melihatnya. Penulis artikel ini menyajikannya dengan baik. Ia menjelaskan fitur-fitur yang terdapat pada Hooq melalui gambar dan infografis. Siapapun yang melihatnya akan mudah sekali paham.

[TABS_R id=3563]

***

Aku tersenyum, berterima kasih. Memberikan kecupan kecil pada kedua pipi istriku yang berbaik hati menyiapkan segelas teh hangat, atau sesekali susu coklat, sebagai ‘minuman selamat datang’ setiap kali aku pulang kerja. Ini seolah telah menjadi rutinitas. Aku kemudian berganti pakaian, mengambil air wudhu lalu salat. Setelah itu kami berkumpul di ruang keluarga, bersiap makan malam. Dan berikutnya masing-masing dari kami akan bercerita tentang apa yang terjadi di hari ini. “Loh, kamu baru tahu tentang Hooq, Yah?” itu kalimat yang pertama ia ucapkan setelah aku menceritakan aktivitasku hari ini, termasuk diskusi antara aku dengan Sigit tadi. Aku mengangguk. “Kan sudah aku ceritakan beberapa hari yang lalu. Kamu ingat, Yah, waktu aku bilang sedang menonton 3 Srikandi? Itu aku nontonnya pakai Hooq, kok.” Aku mengingat-ingat. Astaga, boleh jadi yang dikatakan Sigit tadi benar untuk urusan teknologi kau ketinggalan zaman sekali. Lihatlah, istriku bukan hanya tahu, ia malah sudah menggunakannya.

Aku menggaruk-garuk kepala. Melanjutkan bercerita. Kebanyakan seputar diskusi tentang Hooq dengan Sigit tadi. Benar kata pepatah bijak itu: pengalaman adalah guru yang paling berharga. Istriku menggangguk bersepakat setiap kali menemukan kesamaan bahasan kami tentang Hooq dengan pengalaman ketika ia menggunakannya, beberapa kali juga ia menambahkan beberapa hal tentang kelebihan yang dimiliki oleh Hooq, sekali lagi, berdasarkan pengalaman.

“Sebenarnya aplikasi layanan video on demand bukan hanya Hooq ada beberapa aplikasi lain yang serupa,” kami telah selesai makan malam, satu cangkir kecil ice cream menjadi makanan penutup yang pas. Istriku melanjutkan ceritanya. Menyebut beberapa nama aplikasi lain, membandingkan kelebihan dan kekurangan dari semua aplikasi tersebut. Untuk beberapa poin ia juga membandingkannya dengan layanan yang ada di bioskop. “Kalau tujuan kamu adalah untuk menjadi yang pertama kali menonton setiap film baru rilis, jelas bioskop adalah pilihan terbaik. Tapi, kita kan tidak bisa setiap minggu ke bioskop, Yah. Jadi dengan perbandingan yang sudah kita bahas, aku pikir Hooq bisa dibilang sebagai alternatif terbaik untuk memuaskan hobi menonton kita. Dan yang paling penting, di atas segalanya, kita bisa menonton apapun, kapanpun, dan di manapun.” Ia tersenyum, membanggakan Hooq dengan segala kelebihan yang sudah ia sebutkan seolah ia duta Hooq negeri ini.

“Lebih penting lagi,” aku menambahkan, “kita bisa menonton dengan barokah, mengurangi dosa yang kita dapat dari mengunduh film bajakan.” Aku menyeringai. Kami berdua tertawa setelahnya.

Coba bandingkan HOOQ dengan tempat menonton yang lain

 “Yah, kebetulan sekali. Ada kompetisi menulis nih.” Istriku menunjukkan informasi yang ia dapat dari linimasa media sosialnya, “tentang Hooq. Bahasan kita malam ini.”

Aku membaca informasi itu dengan seksama. Membaca persyaratan, teknis-teknis perlombaan, tenggat waktu. Kemudian melihat jadwal kuliah, tenggat waktu projek dan laporan pekerjaan. “Masih mungkin sih, ini. Aku coba ikut aja ya, Bun. Jadwal kuliah minggu ini tidak terlalu padat. Juga pekerjaan di kantor. Sampai minggu depan tidak terlalu banyak yang harus aku kerjakan” dengan tangan memegang dagu aku berkomentar. “Cobalah, kebetulan sekali, bukan? Kamu bisa menulis tentang diskusi hari ini dengan temanmu tadi. Juga obrolan kita malam ini. Tulis aja.” Ia berkata kemudian, setengah memaksa. Hadiah yang diberikan kepada para pemenang pastilah yang menjadi alasannya.

“Baiklah, aku pertimbangkan, ya Bun.” Ia menepuk tangannya, ber-hore ria. “Tolong pertimbangkan juga untuk menambah uang jajanku bulan depan, Yah. Untuk berlangganan bulanan Hooq.” Aku mengeryitkan dahi, bersiap untuk menolak kita pakai berdua saja maksud dari tatapanku kepadanya. “Ayolah, murah saja, bukan? Bahkan lebih murah ketimbang jatah mingguan kamu membeli rokok, yah.” Kalimat pamungkas. Mulutku tersumpal, aku tak bisa lagi berkelit. “Baiklah” aku mengangguk.

Biaya yang diperlukan untuk berlangganan HOOQ. Murah, kan?

EPILOG:

“Bagaimana, kau sudah mencoba Hooq, kawan?” Sigit, pada jam makan siang beberapa hari setelahnya, bertanya. Aku mengangguk, mengacungkan jempol. “Pagi dan pulang, setiap harinya sebagai temanku di perjalanan. Ah, iya. Tambahkan juga serial tv yang kutonton sebelum tidur. Oi, gajian bulan ini aku berencana membeli perangkat virtual reality agar di rumah aku bisa mendapatkan sensasi menonton bioskop. Kau tahu tempat yang murah?” kali ini aku yang bertanya. Sigit hanya menjawabnya dengan tawa. Sekali lagi kami membahas tentang Hooq. Kali ini tentu saja bukan membicarakan tentang apa itu Hooq, bagaimana cara menggunakannya dan apa saja kelebihannya. Lebih dari itu, kami yang selama beberapa hari terakhir tak pernah absen menggunakan Hooq memiliki pengalaman yang cukup, lebih dari cukup untuk menjelaskan ulang semuanya kepada Ardi dan Deri yang siang ini makan siang bersama kami.

“Tapi untuk beberapa film, subtitle-nya sering terlambat. Bahkan, beberapa film tidak ada subs-nya.” Sigit ber-puh, mengeluh. Aku mengangguk takzim, sepakat. “Tidak ada yang sempurna, kawan.” Aku berkata bijak. “Bahkan aku menemukan beberapa kelemahan lain,” tadi malam memang aku menghabiskan banyak waktu bersama Hooq, mengulik segala yang ada di dalamnya. Aku menemukan beberapa film yang tidak bisa diunduh untuk diputar offline, sekuel film yang tidak lengkap, koleksi film yang tidak bisa diputar antar perangkat, dan seperti yang disebutkan Sigit masalah subtitle. “Tapi tidak masalah, sekali lagi, tidak ada yang sempurna. Kau bisa mengirimkan permintaan penambahan subtitle atau kritik lain ke alamat email tim support Hooq, kawan. Sebentar aku kirimkan alamat emailnya” aku mengambil telepon genggam membuka salah satu aplikasi pesan singkat, kemudian menulis sebuah alamat email. Sigit menertawakanku. “Beberapa hari yang lalu kau cupu sekali masalah ini. Sekarang kau bersikap seolah kau telah berlangganan Hooq puluhan tahun saja.”

“Aku bahkan telah menuliskan sebuah ulasan tentang Hooq, lengkap tanpa cela. Perlu aku kirimkan tautan tulisanku? Ardi, Deri. Jika kalian mau, aku bisa mengirimkannya juga ke kalian. Siapa tahu kalian ingin tahu lebih banyak tentang aplikasi ini” aku masih memegang telepon genggamku, melakukan beberapa aktivitas tambahan. Tersenyum.

“Sip, sudah terkirim. Silakan periksa hape kalian.”


Tulisan ini disertakan ke dalam HOOQ Time Anytime Blogger Competition

Comments (31)

Lumayan nih hadiahnya klo menang..

Seperti ikut naik bis didalamnya heheh.
Coba ah download aplikasi hooq di kantor pula 😂
Semoga menang ya, Mas Dhika.

Baru tau ada ini lomba -_-
Dan gue jg baru tau ada hooq wkwkw

Dapet pengetahuan baru juga nih….
Lumayan walau dah ketinggalan

Akhirnya ada juga yang bahas hooq. Soalnya setiap kali aku beli paket unlimited di telkomsel selalu ada bonus kuota hooq. Sampai sekarang aku blm pakai karena bingung caranya pakainya gimana hahahaha.
Hooq ini kan streaming ya kak? Jd tetep mengandalkan sinyalyang baik. Tampaknya di rumah ku nggak mungkin nge-hooq secara sinyalnya jeleeeeeek kalo di rumah. Dan ku sedih

Nah, berarti disiasati dengan: saat koneksi sedang bagus-bagusnya unduh terlebih dahulu untuk nanti nonton offline di rumah 🙂

Keren Msa Dhika tulisannya. Semoga berjodoh dg hadiah lombanya supaya bisa menambah uang bulanan istrinya. Hehe. Aplikasi Hooq memang bikin ngiler film mania, tapi ya itu syarat utamanya internet harus sekencang angin agar nonton tak terganggu.

Aduh keren mas, Data-datanya valid….Gut lak ya….

Beneran ada yang googling cara pakai Hooq anjey. Hahahak. Padahal gampang banget kan ya.
Infografismu memang mantap, mas. Beneran niat utuh. Saking niatnya sampaia da grup HOOQ anjeeey. Nanti lama-lama lebih spesifik lagi bikin grup hooq khusus kategori film Indonesia atau khusus superhero dll. Btw, kalau buat yang gak bisa diunduh itu memang katanya ada beberapa rumah produksi yang tidak memberi izin. Jadi cuma bisa ditonton streaming.

Tapi, bukannya yang kita unduh pun tidak bisa ditonton di tempat lain, kan? Cuma di aplikasinya aja, bahkan saat menggunakan akun yang sama di perangkat yang beda. Jadi, harusnya gak masalah, sih.

Cuma kalau rumah produksinya larang, kita ini bisa apa.

Saya baru coba pakai hooq. Nunggu sinyal bner2 bagus

Hahaha, itu aku jg hobi donlot pilm bajakan, malu deh! Kalau mau nonton film Indonesia enak pakai Hooq. Jepara gak ada bioskop sih. Ngadep layar lewat Hooq bs heboh sendiri

wih jadi penasaran pengen download, coba ah nanti download dan nutak atik hihi

Tenang bang, aku malah baru tau ternyata ada aplikasi pemutar film streaming (video on demand) bernama Hooq ini -_- jujur saja aku malah baru tahu

Sekiranya jika ulasan sebuah produk seperti ini, niscaya para calon consumer tak melihat sebagai promosi tapi justru melihatnya sebagai sebuah cerita, sebuah pengalaman menggunakan produk tertentu (yg ingin dipasarkan) dan entah kenapa untuk hal ini, aku masih jauh dari kata bisa, dan masih butuh banyak produk sponsor yg mesti diendorse 😂😂 dan masih butuh jam terbang untuk menulis seperti ini..

Ya sekiranya jika dilihat dari GBHN nya, dari tulisan sejenis ini yg terlihat adalah menceritakan soal pengalaman, penggunaan, lalu dilanjut review kelebihan kelemahan, ditutup kesimpulan. Well, aku kira ilmuku soal tulisan ini sedikit bertambah beberapa derajat..

Dan untuk mengomentari tulisan ini tiada perlu untuk dikomentari kecuali akan berkomentar panjang lebar menjurus mempertanyakan jika nantinya tulisan ini tak menang (ya mininal masuk pemenang harapan). Akan sangat kocak sekocaknya jika tulisannya bang dika gak menang, keunggulan dan kelengkapan data penunjangnya cukup lengkap utk menjadi juara,ya minimal masuk nomer tiga,biar dapat jatah lolos UCL via babak kualifikasi X)

Emm, terima kasih, Mas. Untuk detail dan semangatnya. Ah, iya. Dan juga untuk doanya.

Hahaha bismillah, kalo menang kan lumayan 😂

Ini bikin grafisnya yang lama yak.. tapi keren hasilnya

Smoga menang mas dalam perlombaannya. Aku jg pernah pake Hooq pas pake paket internet dari si merah. Tp krn sekarang dah hijrah, jadi gak pake lagi nih Hooq.

Utk film Indonesia , Hooq termasuk yg paling cpt update sepertinya

Belum pernah nonton pake hooq karena gak pake telkomsel.

Saya pikir awalnya ini adalah cerpen.

Mas Andhika runut sekali kalau bercerita.

Bukannya gak pakai telkomsel juga bisa ya, Mbak. Cuma ya, si merah memang ngasih paket khusus.

Panjang yah hehehe… Baru ngeuh buat promosi. Kalo di akhir dikasih ‘punch’ nilai2 kyk; jgn donlot pelem bajakan, kyknya asoy.

Mau ikutan, baca ini dulu kok jadi down duluan ya :D. Keren, banget!

wah perlombaan Hooq nih ceritanya bagus sih applikasinya bisa nonton film berbasis streaming. Tetapi, kayanya khusus movie doang ya coba ditambahkan anime atau drama jepang gua berlangganan dah dhik kkwkwk

Waaaahh, aku baru tau ada Hooq.
Emang slama ini juga streaming sih, hahaha
Boleh nih dicoba.

Ntar aku cobain deh pake Hooq. Lumayan buat killing time klo lagi nunggu atau lagi kondisi bete

Belum pernah nyobain pakai Hooq sih. BIaya langanannya lumayan ya, tapi bagi pecinta film ya lumayan lha. TFS reviewnya mas Dhika 😀
Itu ilustrasi pertama keren gmn cara bikinnya? hehehe

Lumayan itu, murah apa mahal, Mbak? Em, dibandingkan beberapa aplikasi serupa sih, ini salah satu yang paling murah ya.

Itu infografis biasa, Mbak. Cuma saya tambahin format GIF aja.

Aku baru tahu ada aplikasi Hooq ini. >.< Kalau film2 Korea ada enggak? Drama Korea gitu ada juga enggak? 😀

Silakan langsung dicek di hooq(dot)tv saya soalnya tidak terlalu paham sama korea-koreaan 🙂

eh serius mas dika sampai segitunya. Harinya selalu dibuka dengan: membuka forum yang menyediakan tautan film untuk diunduh. widihh pecinta film sejati ini. cocok jadi pengguna setia hooq.
dulu emang suka bikin gemes ya mas kalau lagi nonton di laptop terus harus mobile. putus deh tontotannya. dan hooq ini solutif banget seperti cerita mas dika. Bisa dibawa ke mana aja. Menonton kapan saja dan di mana saja.
Grafisnya keren, yang bikin jago banget ini. Sederhana tapi ngena. Good luck mas.

Ahaha, terima kasih. Ini nulisnya berapa jam doank, tapi ilustrasinya beberapa malem :'(

Comment to Dicky Ahmad Cancel reply