Scroll Top

Kotaku di Waktu itu

Dan kemudian aku pun tertawa sedemikian riang bersama mereka, teman-temanku, dengan kemampuan sepeda yang amat terbatas sedang melaju adu cepat. Suara gelas bekas air mineral kemasan yang disimpan di antara ban dan batangnya terdengar begitu khas. Orang-orang yang kami lewati di sepanjang perjalanan hanya bisa menggeleng, menertawakan keseruan yang kami buat. “Yeah, aku menang,” Aris pemilik sepeda berwarna ungu sampai duluan “lambat sekali kalian” ia menambahkan setelah dua orang temannya sampai, satu setengah menit kemudian. “Kau curang, kan perjanjiannya tidak boleh lewat jalan pintas!” Irpan protes kepada Aris. Yang dijawab hanya dengan ‘hehe’ dan satu garukan pada kepalanya yang tidak gatal. “Sudahlah, tidak ada hadiahnya bukan? Ngapain berantem, sih. Apa kita langsung turun aja, nih?” sambil tersenyum, aku, anak kecil terakhir yang tiba memberikan sebuah gagasan.

Adalah sebuah parit dengan lebar lebih kurang dua meter yang kini berada di depan mereka. Garis finis dari perlombaan sepeda tak resmi tadi. Di dalamnya mengalir air bersih yang membentang hingga ke sungai entah. Di kejauhan, beberapa hektar pesawahan menjadi tamasya yang mengapit jalur parit kecil itu. Pada satu bagian, yang menjadi bagian favorit, terdapat lajur kereta api yang membelah bagian parit yang seolah menjelma menjadi sebuah terowongan kecil dengan lajur kereta sebagai atapnya. “Baju kita simpan di sini aja, ya” Irpan berujar setelah mereka melepas pakaian –menyisakan celana dalam untuk berenang yang sudah disiapkan dari rumah. Maka seperti itulah yang biasa kami lakukan, bersama beberapa orang lainnya, bermain air di sebuah parit kecil. Dengan segala kebahagiaan yang tercurah di waktu kecil.

Ilustrasi anak berenang, sumber : pawapeling.wordpress.com

***

“Om Aris sama Om Irpan yang kemarin ke rumah itu, Yah?” ia bertanya tanpa sempat menghabiskan bubur ayam yang sedang ia makan. Aku tersenyum, mengangguk. “Ayah dan mereka sudah berteman sejak kami seusia kau sekarang ini. Dan sebelum kau bertanya, ya, Ayah selalu menjadi yang terakhir di setiap perlombaan balap sepeda dengan mereka. Hei, tentu ada alasan mengapa Ayah selalu kalah. Ayah hanya ingin menikmati suara khas dari gelas bekas air kemasan itu. Tak lebih, tak kurang” aku mengangkat bahu. Ia menertawakanku setelah itu, menaruh mangkuk bubur ayamnya yang belum benar-benar habis, memintaku untuk kembali melanjutkan cerita.

Minggu pagi di waktu yang sekarang. Tadi, setelah lebih dari tiga puluh menit kami berlari kecil mengelilingi bagian luar perumahan, Daffa, nama anak kecil itu, menanyakan beberapa hal tentang kampung halamannya. “Loh, kamu kan lahir di kota ini, Nak” aku mengerenyitkan dahi saat pertama kali ia bertanya. Ia menggelembungkan kedua pipinya sebagai tanda tidak puas. “Bukan itu maksudku, Yah. Kampung halaman nenek, tempat aku dan juga ayah dibesarkan. Aku ada tugas mengarang, temanya bebas. Nah, aku ingin menulis tentang kampung halaman, Yah”. Aku menepuk dahi, astaga, jadi itu alasannya. Aku mengangguk, mengiyakan. “Baiklah, tapi tampaknya Ayah mulai lapar. Bagaimana jika sebelum Ayah mulai bercerita kita cari tempat sarapan terlebih dahulu. Kamu juga lapar, kan? Kamu mau makan apa? lontong? bubur ayam? atau nasi uduk?”

***

“Bagaimana kalau kita kesana lagi besok?” Aries, beberapa hari kemudian selepas jam terakhir pelajaran sekolah memberikan usulan. Aku menjawabnya dengan acungan ibu jari sebagai tanda setuju. “Ayo, tapi sebaiknya kita ajak juga yang lain. Bertiga doank tampaknya kurang seru. Ah, iya. Sepedaku rusak, aku dibonceng aja, ya”. Sepulang sekolah kemarin jari-jari roda sepedaku patah akibat memaksakan laju sepeda meskipun saat itu ban sedang kempes parah. Aris pura-pura berpikir, mempertimbangkan usulanku, sambil bersidekap dagunya ia pegang –lebih tepatnya ia usap-usap serupa dewasa yang memikirkan banyak sekali hal. “Sepakat. Kita bicarakan ini juga kepada teman-teman saat pengajian nanti malam. Ah, sudahlah, kita jalan kaki saja. Tidak terlalu jauh, bukan?” Percakapan kami siang itu selesai dalam beberapa kalimat setelahnya. Dan akan dilanjutkan malam nanti, setelah pengajian rutin anak-anak di masjid selesai.

Keesokan harinya, ketika matahari sedang berada dalam puncak kegagahan –ia bersinar terik sebagaimana seharusnya. Dan setelah para ibu mengizinkan anak-anaknya bermain di luar sampai petang sepanjang makan siang telah dihabiskan. Kami berkumpul di lapang segitiga –beberapa ratus meter belaka dari tempat parit itu berada. Bersama Herman, aku sampai paling awal. Aries mengajak Aconk, Aconk mengajak Dani. Ditambahkan Irpan yang datang bersama Budi dan Anton. Lengkap sudah kami menjadi sebuah siklus rantai pertemanan yang menyenangkan. Tak masalah jika sebelumnya Herman tak mengenal Budi, atau Dani yang baru pertama kali bertemu Anton. Sepanjang tujuan kami sama, bersenang-senang di parit, siang ini akan menjadi siang yang penuh keseruan. Sayang sekali Opik, yang menunjukan tempat ini pertama kali, batal hadir karena perutnya bermasalah. Lontong kari yang menjadi menu sarapannya pagi tadi terlalu pedas. Dan di waktu setelahnya, Opik mau tidak mau harus bolak-balik kamar mandi.

Dan tak perlu waktu lama untuk kami segera bertelanjang dada, bersiap lompat ke dalam air. Lucu sekali tadi melihat Budi repot sekali membuka jaket, penutup kepala, ditambah lagi baju lengan panjang, kaus singlet dan sepatu beserta kaus kakinya. “Di luar panas sekali, Nak. Pastikan kulitmu tertutupi, jangan sampai kulitmu menjadi hitam karena terlalu lama bermain di luar.” Budi menirukan ucapan ibunya ketika ditanya oleh Irpan tentang pakaian tempurnya itu yang tentu saja disambut dengan gelak tawa teman-teman yang lain. Bahkan oleh Herman, Budi sempat dilempar dengan kaus singlet. Lihatlah, kemudian muka Budi memerah, entah karena malu atau kepanasan, susah sekali membedakannya.

Parit itu sendiri cukup dalam untuk ukuran anak kecil seperti kami. Dengan kedalaman lebih kurang lima puluh sampai tujuh puluh sentimeter cukup untuk kami berenang mengikuti aliran air. Dani membawa perahu otok-otok yang baru dibelinya tadi pagi di pasar mingguan. Hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga menit sebelum perahunya tenggelam akibat riak air yang dibuat oleh kami semua. Paling menyenangkan adalah ketika dari kejauhan terdengar suara kereta api “ngiungggg!!!” yang sontak membuat kami berlarian menuju ‘jembatan’ lajur kereta api yang membelah parit tersebut. “Ayo cepat!!!” aku yang berada paling dekat dengan ‘jembatan’ lajur kereta api itu segera berteriak, “sudah dekat.” Maka disitulah kami, di parit kecil itu, memerhatikan kereta api dari bawah dan menikmati air dan tanah yang bergetar akibat gerakan kereta api sebelum kami tertawa puas sekali. Sampai tak terasa matahari sudah mulai bersiap untuk kembali bersembunyi, membawa senja dengan segala keindahannya.

Ilustrasi kereta api, sumber : rancaekek.co

***

“Ketika kita pulang ke rumah nenek bulan depan. Ayah akan menunjukkan lokasi parit itu,” Daffa menanyakan keberadaan parit itu, “tapi jangan harap kamu akan menemukan aliran air yang bersih lagi sekarang.” Tentu saja, itu adalah cerita lama. Lebih kurang dua puluh tahun yang lalu kalau tidak salah. Sudah banyak sekali yang berubah dibandingkan sekarang. Ia tersenyum, mengajakku salam tinju. Salam khas kami setiap kali membuat kesepakatan antara ayah-anak.

“Tidak, kau salah. Definisi kampung boleh jadi kurang tepat untuk menggambarkan tempat besar kita dulu. Malah, jika Ayah tidak salah ingat, perumahan itu dulu adalah salah satu pelopor konsep perumahan modern, salah satu yang terbesar di negeri ini. Tapi jika yang kau tanyakan adalah kampung halaman yang berarti tempat tinggal kita dimula, ya, betul. Itu adalah kampung halaman kita.” Aku menjelaskan. Anak itu membayangkan ceritaku tadi terlalu berlebihan. Sekumpulan rumah panggung, jalan-jalan bertanah dan segala infrastruktur non-modern.

“Bangunan-bangunan yang kau lihat sekarang di rumah nenek, sama seperti bangunan yang ayah lihat dulu. Meskipun, ya, sekarang sudah bertambah banyak. Sedikit sekali lahan kosong yang bisa digunakan anak-anak untuk bermain. Dulu, mudah sekali untuk kami mencari tempat untuk bermain, katakanlah: layang-layang, kelereng, boy-boyan, sorodot gaplok, gatrik, dan banyak lagi. Atau jika mau, kami bisa bermain sepakbola setiap hari, gratis. Mudah sekali mencari lapang luas untuk bermain bola. Jika tidak ada pekerjaan rumah, hampir dipastikan selepas pulang sekolah ayah dan teman-teman pasti bermain bersama-sama, baru pulang menjelang senja. Saking seringnya kami bermain bersama, ayah sampai hafal betul tanggal ulang tahun teman-teman ayah, kesukaannya, cita-cita, apa yang paling ditakuti. Nak, boleh jadi hal itu akan sulit kamu dapatkan sekarang ini. Mengatahui hari lahir sahabat sendri bermodalkan pemberitahuan dari media sosial yang kamu punya bukanlah sesuatu yang menyenangkan.” aku menutup kalimat.

Bukannya puas, ia malah semakin bersemangat mendengar beragam permainan masa kecil yang aku sebutkan tadi. “Layang-layang dan kelereng, sih, aku tahu, Yah. Tapi gatrik, boy-boyan, sorodot gaplok? Apa itu? Ceritakan, Yah” ia merengek, kubalas dengan mengacak-ngacak lagi rambutnya. “Nanti-nanti ayah ceritakan. Sekarang kita harus pulang. Kasihan Bunda. Pasti belum sarapan. Astaga, Ayah belum memesan makanan untuk Bunda.”

“Yahhhh …” ia mendengus kesal. “Ayah kan sering lupa. Jika aku hitung, sudah berapa banyak Ayah punya hutang bercerita.” Aku tertawa dibuatnya, mengangguk, mengangkat sebelah tangan dengan jari yang mengepal. Menawarkan salam tinju. Salam kesepakatan antara ayah-anak.

Ilustrasi barit diantara sawah, sumber : paper4pc.com

Epilog:

Beberapa minggu setelahnya. Ketika ujian caturwulan telah selesai. Dalam satu perkumpulan yang ramai aku berucap: “besok kita berenang lagi, yuk, di parit biasa.” Aries, Herman, Opik dan beberapa orang lainnya ada di situ. Bukannya menjawab mereka malah diam, saling tatap satu sama lain. Aries mengibaskan tangannya, sengaja betul mengabaikan ajakanku.

“Loh, kenapa?” aku tanya.

“Sebetulnya aku malas membicarakan ini,” Herman yang bersuara duluan, “tapi baiklah, untuk kau ketahui, dan hanya kau saja yang tahu cerita ini. Tidak boleh orang lain sampai tahu. Demi Tuhan, aku tak akan pernah mau lagi berenang di sana. Astaga, kamu ingat saat dua minggu sebelum ujian caturwulan saat kami berenang ke sana dan kamu gak ikut, kamu ingat?” aku mengetuk-ngetuk mulut dengan jari telunjuk, mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu itu. “Ah, iya aku ingat! Kenapa memang?” giliran aku yang bertanya.

“Kami berenang seperti biasa. Bertelanjang dada. Saat itu Dani tidak lagi membawa perahu kelotok. Tapi aku …” Herman berhenti sejenak, “aku membawa kacamata renang. Dan saat itulah, aku melihat ada sesuatu yang mendekat ke arah tempat kami berenang. Aku perhatikan, gerakannya tidak beraturan. Astaga … !!!” Herman kali ini sedikit berteriak.

“Apa? Lele? Kepiting? Ular sawah?” aku yang penasaran sembarang menyebutkan hewan air yang masuk akal.

“Bukan,” Herman menggeleng, “Tahik manusia, seukuran telapak tangan, hanya tinggal beberapa sentimeter sebelum sempat aku makan.”

Related Posts

Comments (16)

Huaaaaaaa endingnya keren, Mas! Aku udah melotot baca penasaran apa yang diliat Herman.
Wakakakakakakaka

Hueeks…. akhirannyaaaaa 🙁
Jadi teringat masa kecil saya dulu. Botol bekas minuman yang disimpan di roda sepeda, mandi di sungai dan teriakan gembira mendengar kereta api datang…
Cerita ini mengingatkan saya sama simbah. Dulu di rumah simbah ada sungai untuk berenang dan dekat dengan rel kereta api. Tapi endingnya…..nggak, deh!

Ceritanya bagus sekali Mas Dhika. Epilognya begitu menohok pembaca yang sudah terlanjur serius mencerna cerita tentang keindahan masa kecil.

Haha, endingnya gitu amat Mas.

Disini sungai juga udah kotor banget tapi kadang masih banyak anak yang mandi di sungai. Sepertinya anak kampung lain.

Teriakan mereka seperti menunjukkan kebebasan dan tak perduli dengan kotornya sungai 🙂

Alamak…. cerita yang penuh rasa penasaran tapi endingnya mencengangkan

Berhubungan di kalimantan banyak sungai biasanya sekalian buat mandi sekalian buat semua aktifitas MCK.

Tapi serius…. itu gede banget. Setelapak tangan

yaaampuuun ceritanya bikin penasaran, beda banget kaya cerita anak jalanan.

Ceritanya menarik sekali, mas. Alangkah menariknya jika ada ilustri foto telanjang dadamu! Hahaha. Dari tadi bilang telanjang dada mulu tapi kok dadamu tidak kau tunjukkan pada kami.
Ngomong-ngomong saya jadi ingat zaman SMP dulu masih berpetualang sama teman-teman nyemplung ke sungai. Mmm.. saat itu kami mengira itu sungai. Setelah dewasa kami sadar. Ternyata kami dulu tidak berenang di sungai, tapi di comberan yang lebar.

Jaman dulu makan begituan, tapi alhamdulillah jarang sekali sakit yang berlebihan yaa…
Jaman sekarang,
anak-anak kena debu sedikit saja….harus dirawat dengan indikasi typus, DB, dan virus-virus lain yang gak diketahui namanya.

Heuu….pingin balik ke jaman dulu lagii…*.*

Hyaaahhh abis itu pada ilfil berenang di sana lg gk mas? hehe

Wkwkwk.. Eh, tapi saya baca ceritanya yg ini mirip nonton drama anak2 TVRI, deh. Lucu, polos, bahasanya juga lebih tertata dari anak2 Jakarta sekarang. Terusin, Dik! 🙂

Dan endingnya di luar dugaan 👏😅
Saya suka sekali bahasa yang mengalir dalam ceritanya 😆

Wah 20 tahun yg lalu, sudah tua ternyata kita kang, semoga berkah umur kita kang..

hahaha endingnya muantaapp 🙂

masa kecilkua juga main di sungai dan sawah menyenangkan

nice artikel

Comment to Murni Rosa Cancel reply