Scroll Top

Dari Paolo Untuk Javier

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku menuliskan ini kepadamu. Aku tentu saja tidak semahir Pier Paolo Pasolini dalam menderetkan kata-kata, namun aku merasa memang harus menuliskan ini, dan secara khusus, tulisan ini memang sengaja aku kutujukan kepadamu. Izinkan aku mengawali nya dengan sebuah cerita yang mungkin belum pernah kau dengar sebelumnya.

Februari 2003. Aku mungkin lupa tepatnya, namun aku jelas masih mengingat dengan baik kala seorang staff mendatangi ku dan memberitahu sebuah kabar yang mengejutkan. Ada seorang anak yang kabarnya mengidolakan aku dan sangat ingin bertemu denganku. Aku lalu berkata ke staff tersebut untuk mengajak saja anak tersebut ke sini dan aku akan menemui nya setelah berlatih. Namun, kemudian staff ku tersebut bercerita bahwa anak yang bernama Andrea tersebut mengidap leukemia dan dokter sudah memvonis bahwa waktu hidupnya tidak lama lagi dan mustahil baginya bepergian meninggalkan rumah sakit apalagi datang ke Milanello.

Setelah berganti pakaian sehabis berlatih, aku lalu menyusun rencana dengan staffku untuk bisa menemui Andrea esok hari. Aku sudah menyiapkan jersey AC Milan yang sudah ku tanda tangani beserta foto yang juga ku tanda tangani. Keesokan harinya, sesuai rencana aku pun pergi ke rumah sakit dimana Andrea di rawat. Namun, aku terlambat. Andrea sudah meninggal sebelum aku datang. Andrea gagal mewujudkan keinginannya untuk bisa bertemu denganku, atau lebih tepatnya, aku gagal membahagiakan penggemar kecilku di sisa hidup nya. Aku hanya mampu menemui tubuhnya yang sudah beristirahat dalam damai dan sepucuk surat yang telah ia tulis beberapa saat sebelum Tuhan menjemputnya lagi. “Aku sungguh tidak menyesal ketika aku tidak bisa melihat senyum pangeranku untuk yang terakhir kali, karena aku akan melihat senyuman dia dari atas sana pada final Piala Champions Mei nanti di Old Trafford, sewaktu dia mengangkat tinggi-tinggi trofi itu.” Saat itu aku tertegun sejenak setelah menyelesaikan membaca bagian pertama dari surat tersebut. Lalu segalanya segera menjadi haru ketika bagian kedua surat tersebut berisi, “Setelah scudetto sudah mustahil untuk direbut, tolong berjanjilah kepadaku. Bawahlah trofi Liga Champions itu kembali ke kota Milan. Aku memang sudah tidak ada lagi sekarang, tapi semangat dan dukunganku akan selalu ada di dalam diri kalian. Aku mendukung perjuangan kalian dari atas sana.” Percaya atau tidak, aku masih merinding setiap kali mengingat lagi momen saat surat itu pertama kali sampai ke tanganku.

Maldini2

Seperti yang sudah di ketahui bersama, 2003 lalu, aku dan tim ku berhasil memenangkan Liga Champions di Old Trafford. Aku sungguh sungguh mengangkat tinggi trophy itu di sana, kau bisa berselancar di internet untuk mencari gambar ketika trophy si Kuping Besar itu di serahkan kepadaku untuk kemudian kuangkat. Mataku membuka total karena kebahagiaan yang ku rasakan saat itu, masih tersisa energi yang cukup besar untuk u mengangkat seraya berteriak meski kala itu aku baru saja menjalani partai 120 menit menghadapi Juventus. Adrianna Fossa, istriku, bahkan berujar bahwa ekspresiku saat mengangkat trophy itu sungguh jelek cenderung menyeramkan. Ah, saat itu aku tak lagi peduli dengan rupaku, aku bahagia dan aku berhasil mewujudkan impian jutaan Milanisti termasuk Andrea yang pasti terseyum dari atas sana .Setelah malam yang indah di Manchester, sekembalinya aku ke kota Milan, aku bersama Gattuso, Costacurta, Leonardo dan beberapa staff dari Milan Foundation segera mengunjungi makam Andrea dengan membawa trophy Liga Champions. Di hari pemakaman Andrea sebelumnya, aku hanya bisa menangis melihat seorang anak kecil di makamkan dengan seragam Ac Milan, boneka beruang dan sebuah album yang berisi fotoku dan tim tercintanya, AC Milan. Namun kedatanganku kedua kalinya ke tempat peristirahatan terakhir Andrea, karena aku ingin tersenyum, aku ingin Andrea tahu bahwa semangat dari nya seperti menjadi pemain ke dua belas bagi tim ku di final itu.

Jika kau izinkan aku bercerita lebih jauh ke belakang, aku ingin mengajakmu kembali ke 11 Mei 2001. Dahi mu mungkin langsung berkernyit mendengar tanggal itu. Kau yang kala itu di latih oleh Marco Tardelli, menghadapiku dan tim ku yang di latih oleh ayahku sendiri, Cesare Maldini. Sang pengadil kala itu, tidak lain dan tidak bukan juga seorang legenda, Pierluigi Collina. Pertandingan baru memasuki menit ke 3, ketika sebuah umpah Serginho mampu di tuntaskan dengan baik oleh Gianni Comandini lewat sepakan kaki kiri nya. 16 menit kemudian, Comandini lagi-lagi mampu mencetak gol lewat sundulan nya setelah berhasil mengalahkan Mateo Ferrari dalam duel udara. Babak pertama kami lalui dengan unggul dua gol tanpa balas atas timmu. Uniknya, dua gol yang di cetak oleh Comandini tersebut adalah gol yang memang hanya mampu ia cetak saat semusim bersama Ac Milan. Sebaiknya tak perlu lagi aku lanjutkan apa yang selanjutnya terjadi di babak kedua. Hasil  akhir di derby itu adalah hasil akhir entah yang paling hebat atau yang paling memalukan mengingat aku dan timku mengakhiri laga dengan margin setengah lusin gol. Jumlah gol dibuat oleh timku malam itu mungkin lebih banyak jumlahnya daripada jumlah rambut hitam di kepala kiper tim mu malam itu. Hahahaha. Malam itu adalah salah satu malam yang akan selalu ku ingat selain malam di Manchester, Istanbul dan tentu saja di Athena.

3 April 2016, ketika sabtu baru saja beranjak menuju Minggu, keluarga ku mendapat sebuah kabar duka. Ayahku Cesare Maldini meninggal dunia. Beliau meninggal di usia ke 84 tahun. Terima kasih kau sudah menyempatkan hadir ke Saint Ambrose Basilica saat upacara pemakaman beliau. Aku juga ingin mengucapkan rasa terima kasihku kepada Interisti yang juga memberikan standing ovation di Meazza sewaktu foto ayahku terpampang di layar saat Inter menghadapi Torino. Sebuah kehormatan bagiku dan keluargaku mendapat perlakuan istimewa seperti itu dari kalian yang merupakan rival sekota. Dan aku masih saja merasa begitu tersanjung ketika mengingat sebuah kalimat yang berbunyi,  “Per 20 anni nostro rivale, ma nella vita sempre leale”. Kalimat yang tertulis pada sebuah bentangan kain ketika aku memasuki lapangan pada 16 Februari 2009 lalu masih terasa spesial untukku, karena hari itu, di derby terakhir ku melawan timmu, fans Inter di Meazza memberikan salam perpisahan untuk ku yang begitu istimewa. 55 partai derby ku tutup dengan hal baik dan hal buruk. Mendapatkan apresiasi dari supporter rival merupakan hal yang baik, kalah 1-2 malam itu jelas sebuah hal yang buruk. Kau memang sulit sekali di kalahkan ya.

Enam hari setelah kepergian ayahku, Christian Maldini, anak pertama ku, untuk pertama kali nya mengenakan ban kapten untuk tim muda Ac Milan saat melakoni laga ujicoba melawan Novara. Meski ban kapten yang melingkar di lengan Christian lebih karena penghormatan untuk kakeknya dan juga ayahku, namun tetap saja saat itu terbersit kebanggaan dalam diriku. Aku merasa bangga bahwa akhirnya generasi ketiga Maldini telah muncul walau tentu saja tidak mudah untuk benar benar bisa melihat generasi ketiga keluarga Maldini dalam diri Christian bermain di tim senior Ac Milan. Christian masih harus banyak berlatih untuk meningkatkan kemampuan nya sebagai seorang bek tengah. Aku juga ingin Christian belajar darimu untuk menjadi pribadi yang santun di dalam dan luar lapangan. Setelah pensiun di 2009 lalu, aku banyak menghabiskan waktu dengan keluargaku. Dengan Christian, secara khusus aku sering berdiskusi tentang sepakbola. Ia sering sekali memintaku bercerita soal apa-apa saja yang sudah ku lalui selama bermain bersama AC Milan. Aku pernah bercerita soal Maradona dan Luiz Ronaldo yang merupakan pemain paling hebat yang pernah ku hadapi, pernah juga aku bercerita tentang apa yang terjadi di kamar ganti di Istanbul 2005 lalu, dan tentu saja, aku pernah bercerita tentang dirimu kepada Christian. Aku bercerita kepada nya tentang seorang pria hebat lain di kota Milan. Seorang pria yang pertama kali hadir di kota ini dengan setelah jas berwarna beige yang jauh dari kata modis namun mampu menjelma menjadi pemain hebat hingga menutup karirnya dengan manis.

Adioz Zanetti

Tetaplah menjadi Javier Zanetti yang layak dikagumi. Buon compleanno Il nemico del mio più rispettati.

Miami, Florida 10 Agustus 2016

Paolo Maldini.

Related Posts

Comments (4)

Benarkah itu surat dari Paolo Maldini???wah dua kapten yg sangat saya Kagumi saling respek satu sama lain…luar biasa…

Ini cerita fiksi, Mas 🙂

Kok keren sih bisa bikin fiksi kayak gini 🙂

Wah makasih mba Afri sudah mau baca… 🙂

Comment to andhikamppp Cancel reply