“Nuju naon, Kang?” aku sedang berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan di daerahku ketika aku melihat sesosok pemuda gempal yang sedang asyik di atas kursi plastik sambil menatap layer ponsel di depan etalase tokonya. Di atas etalase, kopi panas masih mengepul, rokok kretek tersempil di tengah-tengah jemarinya. “Eh, ngarereuwas wae euy. Kabiasaan. Ieu, keur nonton.” Ia menunjukkan layar ponselnya. Di layar terlihat sebuah aplikasi video yang sedang memutar film -yang kutebak ia dapat dari unduhan situs film bajakan. Sebuah film yang kuhafal betul isinya. Inside Out, nama film itu. “Anteng kitu, euy!” aku menggodanya. Yang digoda membalasnya dengan kekehan ringan…
Smartphone
“Kang!” aku menepuk bahu pemuda gempal yang sedang duduk manis di depan etalase toko yang sedang sepi. Punggungnya ia sandarkan ke tiang beton yang menjadi salah satu penyangga supaya bangunan toko itu bisa kokoh berdiri. Di atas etalase, kopi panas masih mengepul, rokok kretek tersempil di tengah-tengah jemarinya. “Ajig, ngarereuwas!” ia membalas tepukan itu dengan beberapa umpatan setelahnya. Kami berbasa-basi untuk beberapa kalimat, sebagaimana biasa dua orang karib absen jumpa untuk sekian lama. Duduk persoalan baru kuucapkan setelah satu cangkir kopi yang disuguhkan habis kuminum. “Hape rusak euy,” kataku membagi masalah dengannya. Ia menerima ponsel yang kusodorkan, menatapnya sebentar lalu…
Ingatanku berkelebat. Rasa-rasanya baru kemarin aku mengambil jatah cuti separuh waktu, memesan moda tranportasi dalam jaringan, menembus padatnya jalanan ibukota di waktu siang. Sesuatu yang jarang sekali aku lakukan di waktu yang biasanya. Untungnya beberapa pekerjaan telah aku selesaikan sebelum tenggat waktu. Beberapa pekerjaan yang lain bisa aku delegasikan. Setidaknya urusan cuti ini menjadi mudah jika tidak ada hutang pekerjaan. Aku tidak mungkin mendapat panggilan dari kantor semasa cuti. “Bang, macetnya parah ini. Kita lewat jalan tikus, ya?” pengemudi transportasi itu bertanya. Tanpa perlu menunggu persetujuanku, ia memasuki lajur-lajur sempit diantara gedung tinggi ibukota.
Saya yang setiap harinya lebih banyak menghabiskan waktu di jalan akan merasa cepat sekali bosan jika dipaksa diam tanpa melakukan apa-apa. Sedikit lebih mudah ketika sedang berada di kantor atau di rumah karena saya masih bisa melakukan banyak hal ketika sedang bosan. Katakanlah seperti misalnya di rumah saya bisa bermain dengan anak atau berdiskusi panjang lebar dengan ibunya. Ketika di kantor saya bisa berpura-pura sibuk mengerjakan tugas-tugas yang sebetulnya menjadi tanggung jawab saya atau ketika sedang malas saya biasa berkeliling koridor mengganggu teman-teman yang sedang rajin bekerja. Yang menjadi masalah adalah ketika sedang dalam perjalanan entah itu dari rumah ke kantor…