“Kang!” aku menepuk bahu pemuda gempal yang sedang duduk manis di depan etalase toko yang sedang sepi. Punggungnya ia sandarkan ke tiang beton yang menjadi salah satu penyangga supaya bangunan toko itu bisa kokoh berdiri. Di atas etalase, kopi panas masih mengepul, rokok kretek tersempil di tengah-tengah jemarinya. “Ajig, ngarereuwas!” ia membalas tepukan itu dengan beberapa umpatan setelahnya. Kami berbasa-basi untuk beberapa kalimat, sebagaimana biasa dua orang karib absen jumpa untuk sekian lama. Duduk persoalan baru kuucapkan setelah satu cangkir kopi yang disuguhkan habis kuminum.
“Hape rusak euy,” kataku membagi masalah dengannya. Ia menerima ponsel yang kusodorkan, menatapnya sebentar lalu bertanya: “Ieu nu baheula?” dengan mimik muka yang akan kuhantam dengan senang hati jika ia mengizinkan. Aku mengangguk kecil. Memang sudah sangat lama aku tidak mengganti ponsel. Ia yang tahu betul kebiasaanku berganti ponsel di waktu yang berdekatan tentu heran melihat aku datang dengan ponsel yang kubeli di tempatnya sekitar dua-tiga tahun lalu.
“Cik, Kang. Hape naon nu alus” aku meminta rekomendasi. Ia masuk ke dalam toko, membuka lemari dan beberapa katalog produk. “Tapi nu murah” kataku menambahkan. Dan tangannya meraih dengan sigap satu kotak berwarna putih. OPPO A54 menjadi huruf yang tertulis di kotak itu.
Aku membolak-balik kotak putih itu. Crystal Black tertulis di salah satu sudut kotak itu. “Nu biru oge aya. Starry Blue, tapi beak euy, keur payu” katanya menambahkan. Aku melihat detil spesifikasi yang tertulis pada kotak itu. “Aya contohna, teu?” Muncul keraguan dari benakku. Sederhana saja alasannya: aku belum pernah menggunakan merk ini sebelumnya. Ia menggeleng sebentar sebelum akhirnya menepuk tangan memanggil temannya yang kebetulan lewat di depan tokonya. “Sep, cik nginjem OPPO maneh” kata pemuda gempal itu. Yang dipanggil menyerahkan ponselnya. Ponsel yang sama dengan ponsel yang masih rapat dalam kotak kupegang, hanya berbeda warna. Mungkin ini varian warna yang ia sebutkan sebelumnya.
“Punten, kang, nambut sakedap” kataku meminta izin kepada si empunya
Aku merasakan sensasi yang menyenangkan saat jemari tanganku menggerayangi lembut ponsel yang sedang kupegang ini. Bentuknya tidak terlalu lebar, cukup ramping malah dengan bobot yang menawan. Pengaturan cahaya kucoba berkali-kali, kucoba untuk melihat layar dari beberapa sudut pun tidak ada kendala yang berarti. “Lumayan, kang, batrenya awet” kata si pemilik ponsel. “Saya nge-cas malem hungkul sebelum tidur, cabut pas bangun weh,” katanya menambahkan. Aku mengangguk. fitur pengisian cepat + optimized night charging kulihat catatan pada kotak. Wajar, ucapku dalam hati. Pekerjaan yang mengharuskanku untuk selalu terhubung dengan ponsel menjadi salah satu alasan yang masuk akal untukku membutuhkan ponsel dengan daya baterai yang cukup besar. 5000 mAh? Menurutku ini besaran yang lumayan.
“Kang, saya boleh lihat hasil fotonya?” aku menyodorkan ponsel itu kepada pemiliknya. Adalah suatu kewajiban untuk mengetahui performa kamera ketika kita membeli sebuah ponsel. Bagaimanapun, ponsel menjadi salah satu elemen paling penting di perangkat genggam. Mengabadikan momen di mana saja, kapan saja? Itu menjadi salah satu kemajuan teknologi yang paling menyenangkan. “Kenapa, enggak coba foto sendiri, kang?” kata si pemilik sambal mengambil gambarku beberapa kali lalu menunjukkan hasilnya. “malu weh kang foto-foto pake hape orang, mah” kataku tersenyum. Kulihat wajah tampan dari hasil foto yang diambil barusan. 13MP untuk kamera utama? Aku mengerenyitkan dahi. Tidak umum sekarang ini ponsel keluaran baru menyuguhkan fitur kamera dengan resolusi mini seperti ini. Tapi, hasilnya tidak terlalu buruk. Cukup baik di tempat yang pencahayaannya kurang bagus. “Selfinya sih kang nu juara,” kata si pemilik sambil menunjukkan beberapa hasil swafotonya dari kamera depan yang beresolusi lebih besar, 16 MP. Kulihat jumlah foto yang ia punya menyentuh angka 1435 foto. Ponsel yang rilis belum lama, tapi sudah terisi foto sebanyak itu. Orang ini mungkin pernah jatuh di kepala sampai memiliki tingkat percaya diri yang, kurasa, berada di atas rata-rata manusia kebanyakan. Di antara beberapa foto yang ia tunjukkan ada satu-dua foto dengan bibir ke depan yang menggemaskan. Tangannya bergerak cepat sampai ke akhir galeri foto. Dengan jumlah foto sebanyak itu, kutebak kapasitas penyimpananya pasti tersisa sedikit sekali. Aku melihat-lihat lagi sebentar. Ternyata aku salah. Dari 128 GB memori penyimpanan yang disediakan, ruang yang tersisa masih banyak sekali. Maka kuyakin, orang ini gila foto belaka.
“Kumaha?” pertanyaan dari si pemuda gempal membuyarkan fokusku yang sedang senang-senangnya produk yang sedang kucoba sedari 10 menit tadi. Dan 10 menit itu memberikanku pengalaman yang menyenangkan. OPPO? Tampaknya ponsel satu ini wajib aku coba. Aku melihat si pemuda gempal itu, di belakang tempat ia kini duduk terpampang satu poster bertuliskan satu kalimat sederhana yang membuatku semakin yakin. OPPO A54 — Smartphone Superior Performa Efisien tulisan yang ada di poster itu.
“Sabaraha, ieu kang?” pertanyaan terakhir yang boleh jadi akan menentukan semuanya.
“Murah!” ucapnya tegas, “ieu mah salah satu rekomendasi smartphone 2 jutaan dari OPPO! Recommended pisan!”
“Dua juta!?” aku terbelakak kaget. Pikirku dengan spesifikasi yang ditawarkan, ponsel ini memiliki harga tiga juta ke atas. “Iya, Rp 2.699.000 dua juta tujuh ratus rupiah kurang seribu.”
Aku tersenyum senang. “Jadi, kang!”
“Mantap, kitu atuh”. Ucapnya sama sama senang.
“Bayar akhir bulan, nya kang”
“Kehed sia” sebatang korek api ia lemparkan ke arahku.
OPPO selalu juara.
Apalagi OPPO A54 yang memiliki spek terbaik di kelasnya dab harganya sangat terjangkau.