Scroll Top

Demi Bola

Saya sedang merasa puas luar biasa. Pasalnya, sudah lama sekali, sejauh yang saya ingat, saya mampu mengkhatamkan satu pertandingan penuh laga yang dilakoni tim sepakbola favorit saya. Iya, di layar kaca tentu saja. Di akhir pekan kemarin saya berhasil menghabiskan sembilan puluh menit penuh melihat mereka berjibaku di tengah lapang meluluhlantahkan musuh bebuyutannya. Beberapa waktu yang banyak, saya memang kerap alfa dalam memberi dukungan maya. Jangankan satu laga penuh atau separuhnya, bahkan bisa dikatakan saya absen menonton di hampir seluruh laga yang mereka mainkan.

Berbeda dengan apa yang terjadi beberapa tahun lalu, ketika saya masih hidup sendirian dan tidak bertanggungjawab sedikitpun atas kehidupan sesiapapun di sekitar saya, saya begitu aktif menonton bola tak peduli waktu, cuaca bahkan jarak sekalipun. Bukan sekali dua saya melintasi kota yang jauh atau pulau yang bersebrangan hanya demi memenuhi hasrat menonton bola.

Seorang teman mengabari beberapa waktu lalu, katanya ia sedang naik kereta api bogowonto menuju Jogjakarta. Ia bercerita tentang segala rasa nyaman yang ia peroleh di perjalanan. Berbanding terbalik dengan cerita yang pernah kami alami di hampir satu windu silam. Ketika itu dari stasiun yang sama, kelas yang sama, tujuan yang sama dengan harga yang tidak terlalu jauh berbeda kami harus berjibaku luar biasa demi menonton bola. Sebut saja, berhimpitan untuk dapat melapangkan bokong di berjam-jam perjalanan panjang. Terlambat sedikit? Bersiap-siap kami mati berdiri. Atau jika urat malu dirasa cukup tebal, mungkin perlu meluruskan kaki di sela-sela kursi. Berselonjoran Bersama debu dan sampah yang berserakan. Tambahkan pengamen dan pedagang yang bergantian mengganggu dengan setengah memaksa. Kurang? Tambahkan bau busuk yang setia ada sampai tujuan tiba.

ilustrasi | Sumber gambar bayugmurti.wordpress.com

Itu baru sebagian cerita. Jika saat itu saya telah rajin dan aktif menulis, tentang semuanya itu, tentang perjalanan menonton bola, saya pasti sudah bisa menuliskan kumpulan cerita pendek yang menyenangkan. Disambut hujan, dipalak preman, ketinggalan bus bahkan pesawat menjadi cerita yang lucu sekaligus haru.

Dan setelah banyak sekali perjalanan. Menonton bola sedikit demi sedikit tak lagi menjadi tujuan utama. Karena ada yang lebih menarik dibandingkan itu. Bagaimana saya dapat menambah jejaring pertemanan dengan minat yang sama. Dari hampir seluruh penjuru negri. Mengacaukan linimasa dengan sumpah serapah, dukungan yang tak tentu arah, perundungan berjamaah, dan segala hal apapun yang berawal dari alasan yang sama: rasa cinta.

Kadang saya terlalu berlebihan. Seolah menuhankan mereka yang berjarak ribuan kilometer di arah sana, yang belum tentu sadar dan peduli akan keberadaan saya di muka bumi. Meski begitu, saya dan banyak lainnya tidak terlalu peduli. Jarak itu, segala kemustahilan itu tidak mengurangi sedikitpun rasa suka kami. Kami, para pecinta bola, memiliki kebodohan yang sama dengan para pejatuh cinta. Jadi jangan coba-coba beradu logika dengan kami. Percuma.

Karena hidup adalah sebuah dinamika. Saya, pada akhirnya, menemukan masa di mana saya mulai merasa jenuh dengan semuanya. Ketika itu, tim saya datang ke sini, memangkas jarak ribuan kilo itu. Saya senang luar biasa. Melihat secara langsung pada idola. Mimpi menjadi kenyataan. Sekali lagi, mimpi menjadi kenyataan.

Dan ketika mimpi sudah menjadi kenyataan. Saya kehilangan sisi menarik dari arti mimpi itu sendiri. Saya mulai mengurangi durasi waktu perkumpulan, saya mulai menjauhi segala hal yang berhubungan, saya seperti yang dijelaskan di awal cerita, mulai berhenti melihat mereka di televisi. Dan akhirnya menjadi kebiasan baru yang lain. Tentang mereka, saya benar-benar jadi tidak peduli dengan segala macam informasi.

Tapi apa yang terjadi di akhir pekan kemarin, bersamaan dengan sisa-sisa yang ada di dalam lemari, memberi saya sedikit banyak pencerahan. Paling tidak, masih ada gairah yang tersisa ketika saya menonton sepak bola, menonton mereka, yang pernah membuat saya gila.

Related Posts

Leave a comment