Scroll Top

Saya, Macet dan Terlambat

Di hampir setiap bulan Ramadhan, dari semenjak pertama kali saya bekerja, selalu ada perubahan jadwal jam kerja. Entah itu perubahan jam masuk  atau jam pulang yang lebih cepat. Dan tampaknya perubahan itu berlaku juga untuk banyak sekali perusahaan baik swasta maupun instansi pemerintahan. Pun dengan yang terjadi di Ramadhan tahun ini. Perubahan jam kerja terasa sedemikian nyata. Tandanya? Hari kedelapan belas di bulan Ramdhan tidak sekalipun saya telat. Dikurangi empat hari libur akhir pekan. Artinya empat belas hari berurutan saya tidak pernah telat barang sekali. Untuk saya pribadi ini sebuah pencapaian yang membanggakan.

Macet dan ibukota adalah sebuah hubungan yang tak terpisahkan. Entah sudah seberapa besar kerugian moril dan materil yang disebabkan padatnya jalan yang jahanam. Beberapa waktu yang lalu bapak Presiden pernah menyebutkan jika kerugian akibat macet nyaris menyentuh angka 67 triliun rupiah. Iya, itu uang semua. Entah apa yang bisa saya lakukan jika setiap kerugian akibat kemacetan itu masuk ke rekening saya pribadi. Paling tidak, saya tidak perlu khawatir setiap kali token listrik berbunyi merdu di tengah malam.

Kenapa saya membanggakan pencapaian tidak pernah telat di bulan ini? Ya, karena seperti macet dan ibukota, saya dan telat pun sebuah duet frasa yang mempesona. Setiap bulannya paling tidak saya terlambat masuk kerja bisa empat atau lima. Kebiasaan sialan itu membuat teman saya kerap bercanda “Nginep di kantor lau? Tumbenan udah keliatan jam segini”. Itu ketika saya sudah tiba tiga puluh menit sebelum jam kerja dimulai.  

Dengan banyaknya catatan terlambat yang saya miliki membuat saya sempat frustasi. Saya nakal tapi saya punya moral. Terlambat tidak membuat saya nyaman. Apalagi jika itu seolah menjadi kebiasaan. Percayalah, saya sudah melakukan segala yang saya mampu untuk datang tepat waktu. Saya yakin sebagian besar dari kamu masih tertidur pulas ketika saya lari bergegas mengejar bus patas. Ketika sebagian kamu baru berencana cuci kaki dan mandi saya sudah berdiri di tengah-tengah tol Bekasi.

Saya bahkan sempat membuat daftar apartemen harian di Jakarta Barat, daerah tempat saya bekerja, daftar kos-kosan campuran mingguan atau bulanan sampai masjid-masjid yang memiliki halaman sebagai pertimbangan saya menginap agar tidak terlalu lama hidup di jalanan. Tapi ya hanya sebatas daftar. Karena tempat-tempat itu tidak bisa dibayar dengan senyuman. Saya mesti menyisihkan banyak sekali lembaran-lembara cuan yang jika saya lakukan bisa merusak segala rencana pelunasan cicilan. Niat itu kembali saya urungkan. Saya dengan amat sangat terpaksa harus tetap berteman dengan jalan bersama segala cerita di tengah kemacetan.

Sebetulnya untuk mengatasi kemacetan, mereka yang memiliki wewenang tidak tinggal diam. Sudah cukup banyak yang pemerintah lakukan. Dimulai dari pelebaran jalan, pembangunan lajur tol tambahan, bertingkat malah, penambahan armada angkutan masal atau pembatasan kendaraan berdasarkan plat nomor. Tapi imbasnya tidak terlalu terasa. Yang pemerintah lakukan sejalan dengan kemampuan manusia di negeri ini menambah koleksi kendaraan. Sampai akhirnya saya menyimpulkan bahwa yang perlu diubah dan dibenahi bukanlah jalan melainkan kebiasaan.

Hari ini kesimpulan asal-asalan saya sedikit terbukti. Perubahan jam kerja di bulan Ramadhan otomatis juga mengubah kebiasaan. Jika semula banyak sekali orang berjibaku sama dengan saya untuk berangkat di pagi buta. Sekarang ini, sebagian banyak dari mereka menjadi berangkat lebih siang. Jalanan di waktu saya berpetualang menjadi jauh lebih lenggang.

Mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk bapak gubernur dan bapak presiden dan bapak ibu para pemilik perusahaan untuk mengatur sedemikian rupa jam kerja yang bervariasi. Paling tidak jam kerja yang bervariasi bisa turut serta mendistribusi orang dan waktu ke jam-jam tertentu. Enggak menumpuk di satu waktu.

Jika terus seperti ini, cita-cita jangka pendek saya bisa menjadi kenyataan. Untuk menjadi karyawan teladan urusan kehadiran. Ya, setidaknya satu bulan.

Related Posts

Leave a comment