Scroll Top

Surat Dari Si Penyihir Malas

Pukul 10 malam. Laju  kapal membelah kegelapan sunyi di antara kota San Fernando dan Tigre. Buih air yang tercipta dari laju lambat kapal bertuliskan Nueva Cristina bergantian mengisi suara dengan binatang malam tepi sungai. Ada yang berbeda malam itu jika dibandingkan dengan malam yang lain. Tak terlihat penumpang yang biasanya merupakan pasangan duduk berhadapan di atas meja kecil dengan penerangan lilin di tengah dua pasang bola mata yang berhadapan. Malam itu pun laju kapal jauh lebih lambat dari yang biasanya terlihat. Mungkin hanya semburat bayangan lampu kapal di air yang terlihat normal seperti biasanya. Lily dan Ricardo, yang merupakan pasangan yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan tersaji di atas kapal, tak terlihat sibuk seperti biasanya. Mereka tak hilir mudik membawakan hidangan special ataupun botol anggur dari tahun 1980 buatan Prancis ke meja kecil di bagian atas kapal. Tak ada pasangan malam itu. Tak ada dua insan yang sengaja memesan tempat demi sebuah makan malam romantis di atas Barco Nueva Cristina.

Ketika sepertinya tak ada hal yang menarik dari bergeraknya waktu dan Nueva Cristina yang melaju, sesosok pria tampak menaiki tangga kapal dan mengambil posisi duduk tepat di tengah. Tanpa suara, tanpa banyak gerakan namun terlihat jelas, sosok itu ingin bermalas malasan menikmati suasana meski sendirian. Tak lama kemudian, Ricardo mendekati sosok pria yang duduk tersebut sambil membawakan nampan berisi beberapa botol Quilmes. Tidak terlihat bahwa Ricardo layaknya seperti melayani tamu penumpang kapal. Ia lebih seperti kawan lama dari sang pria yang duduk tersebut. Setelah berbincang akrab dengan membahas hal hal sederhana, Ricardo kemudian turun kembali ke anjungan dan meninggalkan sang penumpang special nya itu menyendiri lagi.

Sang pria yang sedari tadi hanya duduk bermalasan diselingi beberapa gerakan untuk mengambil Quilmes di sisinya, terlihat menggenggam pena di tangan kirinya lalu menarik selembar kertas dari bagian bawah meja ke atas meja kecil yang digeser ke hadapannya. Lama, sang pria tidak menuliskan apapun ia hanya menggenggam atau sesekali mengetukan pena tersebut ke dagunya. Jarum jam telah melewati angka 12 sekaligus menandakan bergantinya hari dan tanggal. Nueva Cristina masih melaju lembut dengan kecepatan yang nyaris tidak bergerak. Sang pria tamu special  kapal  Lily dan Ricardo hari itu, mengakhiri kenikmatan kesunyian yang ia ciptakan sendiri dengan bergerak turun menuju anjungan tempat beristirahat. Ricardo yang melihat sekelebat bayangan tamu special itu sudah turun dari bagian atas kapal lalu segera melangkah menuju ke atas untuk membereskan apa yang tadi ia sajikan kepada sang tamu. Tidak banyak tindakan pembersihan yang harus Ricardo lakukan. Ia hanya perlu mengangkat beberapa botol Quilmes kosong yang tadi di teguk sang tamu. Ketika Ricardo akan mengangkat meja kecil untuk di kembalikan ke tempat semula, hembusan angin meniupkan tumpukan kertas dari bagian bawah meja ke lantai kayu kapal. Tumpukan kertas tersebut menarik perhatian Ricardo yang kemudian memungut nya lalu membacanya.

“Semua bermula di kota ini, San Fernando. Diawali dari ketukan di pintu rumahku pada malam hari dari seorang pria bernama Jorge Rodriguez yang membawaku ke Argentinos Juniors U20.  Lalu rajutan mimpi itu datang dari ibukota, Buenos Aires dan Boca Juniors. Debut di usia 18 tahun di La Bombonera lalu 13 hari kemudian aku mencetak gol perdana juga di La Bombonera. Di musim ke tujuh ku dengan Boca, dengan pencapaian 2 gelar apertura dan 1 clausura, 2 Copa Libertadores plus 1 Piala Interkontinental, sulit sekali menghindari tawaran untuk hijrah ke Eropa. Ikan besar perlu berada di kolam yang besar, begitu ujar para pengamat kala itu. Aku yang di analogikan sebagai seekor ikan besar, sama sekali tidak sedikitpun gentar jika harus berada di kolam sebesar apapun. Namun, sepakbola Eropa tak sesederhana itu, ikan besar tidak selalu harus menuju ke kolam besar.  Tahun 2002, aku menuju samudera. Di Barcelona, untuk pertama kalinya aku bekerja di bawah pelatih yang bukan orang Argentina dan, sialnya, ia brengsek. Kemahiranku di tengah lapangan yang begitu di puja di Argentina, berbanding terbalik dengan apa yang di harapkan sang meneer dari diri ku. Bosan rasanya mendengar ia berteriak agar aku berlari, berlari dan berlari. Maaf, keringat yang harus keluar ketika aku bermain sepakbola  tidak semurah itu Van Gaal. Satu-satunya hal benar dari Van Gaal adalah ucapannya kepada bocah kecil yang ia berikan jersey replika Barcelona lalu berkata kepadaku, ‘bocah ini akan lebih sering memakai jersey itu daripada kamu’ Ikan besar yang gagal di tengah samudera tak lantas kembali ke kolam kecil nya.

Di kapal selam kuning aku menemukan apa yang tak ku dapatkan di Barcelona. Semua berjalan lancar dengan aku sebagai kretaor dan seorang Uruguay di lini depan sebagai eksekutor. Semifinal ajang tertinggi klub-klub di Eropa, sepakan di menit akhir ketika melawan tim gudang peluru asal London gagal membuatku menghadapi Barcelona di final. Di tengah ramainya isu soal perselisihanku dengan nahkoda kapal selam kuning, tawaran kembali ke kolam awal duluku mengemuka. Sesuatu yang entah mengapa sulit sekali bagiku menolaknya. Lautan pita dan potongan kertas beserta seluruh atmosfir yang menghiasi La Bombonera tiap kali pertandingan akan di gelar adalah medan magnet yang begitu kuat bahkan jauh lebih menggiurkan ketimbang permintaan seorang Zinedine Zidane untuk menggantikan perannya di Real Madrid. Lagipula, aku hanyalah pemain sepakbola biasa. Ikan besar yang tak pernah berharap di labeli mega bintang atau bagian dari gugusan galaksi proyek industri. Kembali ke negaraku, kembali ke kolamku dan kembali ke klub yang membesarkan namaku akan menjadi kisah yang begitu manis jika ada gelar yang mampu kupersembahkan. Jadilah Copa Libertadores 2007 milikku dan Boca Juniors.

Kembali memperkuat Boca dan mempersembahkan lagi gelar tak lantas membuat mulut para pencibir terbungkam. Masih saja aku mendengar dan membaca komentar miring tentang gaya bermain ku yang lamban, enggan berlari bahkan di sebut malas. Sejujurnya, aku lah yang merasa bingung dengan para pencibir itu. Bagaimana mungkin sebuah benda mati yang seluruh dunia sepakat menamainya bola malah mengatur para mahkluk hidup yang memainkannya? Kita sebagai mahkluk hidup yang berotak dan berakal sehatlah yang harus mampu menjadikan bola sebagai sesuatu yang bisa diatur dan didikte. Tak perlu seorang pemain yang bermain di posisi sepertiku mengotori sepatunya dengan terus berlari menjelajahi tiap inchi lapangan demi menguasai bola. Aku mungkin malas berlari, tapi aku tahu harus bergerak ke sisi mana, membuka ruang untuk kemudian menerima bola dan menciptakan sesuatu yang berguna untuk timku. Persoalan bagaimana sepakbola seharusnya di mainkan bagiku kadung menjadi prinsip yang sayang nya tak bisa di kompromikan dengan siapapun pelatihku. Aku sama sekali tidak rela jika prinsip yang ku anut dan ku yakini harus ku langgar demi taktik sepakbola baru agar hanya terlihat lebih modern. Dari apa yang baru saja ku uraikan di atas, kalian harusnya memahami apa yang terjadi antara diriku dengan Julio Falconi di akhir 2012 lalu. Pola pragmatis ala Falconi yang menurutnya modern justru membuat ku tampak seperti orang bodoh bernomor 10 di atas lapangan. Aku tidak mau memainkan sesuatu yang sangat ku cintai dengan harus menjadi pribadi lain hanya karena arahan Falconi.

Tepat 2 tahun lalu, aku memutuskan berhenti dari sepakbola. Aku merasa sudah cukup menunjukan apa yang menjadi kegemaranku dan apa yang bisa ku perbuat dengan kemampuanku. Sepakbola kini kunikmati dari kacamata yang berbeda. Sebagai seorang penggemar, kenikmatan sepakbola kini ku lahap dari tribun yang minim kilatan blitz kamera atau teriakan para pemuja. Setelah ini, izinkan aku bermimpi kembali agar bisa menyaksikan lagi sepakbola yang pernah ku mainkan dalam dunia imaji buatan ku sendiri.. Lambat, elegan dan tidak tergesa gesa.”

25 Januari 2017 – The Lazy Magician- Juan Roman Riquelme.

Note : Ricardo, jika nanti ada seorang pemain Boca Juniors yang mampu mempersembahkan 3 Copa Libertadores seperti diriku, kumohon bakar lah kertas ini.

Ricardo lantas turun dan menuju ke anjungan tempat istirahat. Sang tamu spesial benar benar telah terlelap dan mungkin sedang memimpikan apa yang tadi ia tuliskan. Sesaat sebelum menekan saklar lampu kecil di sudut ruangan, Ricardo masih melihat sesuatu yang membuatnya ingin tersenyum, Riquelme bahkan tertidur dengan wajah murungnya yang melegenda.

Related Posts

Leave a comment