“Iya. Sudah pembukaan, Pak. Tapi baru pembukaan satu”. Perawat berusaha menjelaskan kondisi istri yang kini terbaring di ranjang instalasi gawat darurat. Beberapa menit yang lalu aku menerobos masuk pintu rumah sakit meminta pelayanan terbaik untuk istriku yang sejak sore tadi merasakan nyeri luar biasa di perutnya. Kami bersepakat, melalui panggilan telfon, sesampainya aku di rumah kami langsung pergi untuk melakukan kontrol lanjutan demi memastikan adik di dalam perut baik-baik saja. Dan itu yang kulakukan kemudian, bahkan ketika aku belum benar-benar sampai masuk ke dalam rumah.
“Iya, dirawat aja, Mbak” aku mengangguk menyetujui tawaran setelah beberapa tindakan setelahnya dilakukan.
Usia kandungannya baru genap tiga puluh enam minggu. Waktu yang dianggap belum cukup baik untuk mengeluarkan isi di dalam perutnya. “Kami beri obat penurun kontraksi, Pak. Kami coba tahan biar adik bayinya tenang dan keluar di waktu yang tepat. Mungkin minggu depan, Ketika sudah masuk waktu optimal”. Itu yang dikatakan perawat setelah beberapa tindakan tadi.
Aku bercakap-cakap dengan tangan saling menggenggam. Selang infus menjadi hiasan di antara kami. Wajahnya memucat meski demi Tuhan tidak sedikitpun mengurangi kecantikannya yang membuatku jatuh cinta setiap harinya. “Terserah adik bayi, deh” katanya. “Kalau mau nunggu, gapapa. Mau lahiran sekarang juga enggak apa-apa” lanjutnya. Aku tersenyum. Mengangguk tanda sepakat.
Itu dia katakan belasan jam kemudian. Setelah tiga labu infus yang berisi obat yang dimaksudkan tadi tidak memberi pengaruh terlalu banyak. Gerakan-gerakan pemberontakan di dalam perutnya masih bertahan dengan ritme yang mengagumkan. Sampai di waktu malam yang hening, saat aku hendak bersiap-siap untuk tidur setelah hampir lima puluh jam terjaga, ia meringis sakit luar biasa. Aku memanggil perawat dan menghela nafas. Malam ini akan menjadi malam yang lebih panjang.
“Sudah pembukaan kedua, Pak”
Kini ia kembali ke ruang perawatan. Tepat dua puluh empat jam setelah pemeriksaan pertama. Badanku sudah di titik penghabisan. Aku mungkin jagoan, juara pertama jika ada perlombaan bertahan tidak tidur semalaman. Tapi ini sudah malam kedua, menuju tiga, ada batasan-batasan wajar manusia yang tidak bisa aku hindari. Tapi demi melihat wanita mulia yang sedang berjuang melawan sakitnya aku harus terjaga untuk beberapa waktu kemudian.
Dokter jaga dan beberapa dua orang perawat menghampiri kami. Sudah pembukaan empat kali itu. Mengingat apa yang terjadi sebelumnya, waktunya bisa saja lebih cepat. Kata mereka. Dan karena usia kandungan masih belum masuk ke waktu yang baik untuk kelahiran, sang dokter memberikan beberapa informasi kemungkinan. Dan yang terburuk, ia mengatakan, jika lahir di waktu seperti saat itu, sangat besar kemungkinan bayi membutuhkan perawatan lebih. Lebih buruk lagi, kondisi rumah sakit dengan ruang yang terbatas tidak memungkinkan untuk melakukan perawatan lanjutan. “Kamarnya penuh, Pak. Terpaksa, untuk kemungkinan itu, istri Bapak harus kami rujuk ke tempat lain”.
Kami saling menatap. Tanpa perlu beradu pendapat kami bersepakat: “Enggak usah, Dok. Di sini aja. Anak saya akan baik-baik saja”
Keyakinan, yang jika salah, akan sangat mahal sekali resikonya.
“Kayanya Adik udah enggak sabar nih, Yah” katanya sambal tersenyum di tengah malam yang buta. Maksudku, aku sedang berada di balik punggungnya, sembari memberikan sentuhan hangat di bagian punggung, tepat di titik yang ia sebutkan, aku tak melihat wajahnya. Tapi aku yakin ia mengucapkan itu dengan senyuman. “Iya,” aku mengangguk pelan. Menghentikan gerakanku untuk memeluknya kemudian. Lantunan ayat suci menjadi harmoni untuk kami di tengah malam yang sepi. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan berkali-kali dilafalkan.
Dalam pelukan, aku terlelap beberapa saat.
Aku terbangun ketika badannya menggelinjang dengan hebat. Nafasnya tertahan, “sakit, Ayah” katanya. Aku keluar ke ruang tempat perawat duduk dan bersiap-siap. “Mbak, tolong” kataku. Ia mendapatkan pemeriksaan berikutnya. Pembukaan lanjutan. Yang keenam. Kemudian menyusul delapan berpuluh menit kemudian. Perawat bersiap-siap melakukan tindakan lebih lanjut. Beberapa perangkat yang dibutuhkan kini tersedia di sekeliling kami.
“Ayah, sakit” tangannya menggengam semakin erat tanda ia menahan sakit luar biasa hebat.
Ini bukan kali pertama untuk kami. Dan kami tahu betul yang bisa menyebabkan gagalnya proses persalinan salah satunya adalah rasa takut sang ibu menghadapi kelahiran. Aku harus melakukan berbagai cara untuk menguatkan, memberikan semangat dan janji-janji kehidupan. Gagal. Aku memiliki rasa takut yang sama besar. Kali itu, tak ada lagi cerita-cerita yang kami bagi seperti sebelumnya. Tak sempat kami berkisah tentang banyak hal. Tak ada canda. Tak ada tawa. Yang kami pikirkan adalah tentang pertaruhan hidup mati yang kedua kalinya. Yang saat ini sedang ia hadapi.
“Enggak kuat, Dok” katanya menjawab permintaan, atau perintah, dari dokter yang kini ada bersama kami. Aku menggenggam tangannya erat mencoba membuatnya tetap kuat. Wajahnya semakin memucat. Nafasnya tersengal hebat. Untuk beberapa saat, ia kehilangan kesadarannya. Sembari menahan tangis, aku meneriakinya pelan. “Yang kuat, Bun”. Berhasil, ia kembali. Meski kini harus ditemani selang panjang sebagai alat bantu pernafasan.
“Ya, sekarang, ngeden, Bunda” itu kata mereka.
“Tarik nafas dulu”
“Sekarang, yang kuat”
“Oke, istirahat dulu”
“Sekali lagi, yang kuat!”
Jam tiga lebih empat puluh empat pagi. Angka yang muncul pada dinding tepat di belakan tempat dokter itu berdiri. Di waktu itu, suara tangis anak kecil menggema di tengah ruang. Menghentikan semua rasa takut yang memuncak di waktu-waktu sebelumnya. Menggantikannya dengan rasa lega yang luar biasa hebat. Aku tertunduk lemas, air mataku mengalir tanpa sempat meminta izin kepada pemiliknya. Aku mencium pipi dan tangan istriku, berterima kasih atas kekuatan dan kesabarannya.
Dokter dan kedua asistennya melanjutkan tugasnya dengan sangat baik, untuk kemudian melakukan beberapa penanganan pasca kelahiran.
Aku memangkunya. Memperlihatkannya kepada Bunda. Aku menatap keduanya dengan rasa bangga, dengan rasa terima kasih yang luar biasa. Untuknya, untuk Tuhan yang menciptakannya, untuk segala kesempatannya. Dan aku menarik nafas panjang. Membisikinya lafalan panggilan Tuhan. Detik itu, kebahagiaan yang baru telah menggenapi kepingan-kepingan yang telah tersusun sebelumnya.
Epilog
Nada dering yang kelima sebelum panggilan video itu diterima. Bunda sudah kembali ke ruang tempatnya beristirahat. Masih dengan mata yang mengantuk hebat aku memapahnya dari kursi roda. Sebelumnya, aku telah menyelesaikan beberapa kebutuhan administrasi paska kelahiran. Memastikan anakku tidak tertukar dengan beberapa yang lain yang lahir di waktu yang berdekatan. Memastikan juga keduanya, ibu dan anak itu, mendapatkan perawatan dan pelayanan terbaik setelahnya.
“Ayah!”
Suara dari layar telfon genggam berukuran enam koma lima inci. Suara dari seorang anak yang detik ini resmi bergelar kakak. Suara dari seorang anak yang detik ini harus belajar arti dari berbagi, arti dari saling menyayangi, arti bahwa mulai kali ini ia tidak lagi seorang diri.
“Mana adik aku, Yah? Udah keluar?” katanya bersemangat.
Layar telfon genggam kubelokkan beberapa puluh derajat. Di sana, terbaring bayi kecil yang menggemaskan. Dibalut kain utuh sekujur badan. Matanya masih terpejam.
“Adik! Ini kakak! Tungguin, ya. Kakak dateng sebentar lagi” katanya, yang berjarak ratusan kilometer kemudian.
wah perjuangan seorang perempuan
Masyaalllahhh bacanya sekaligus menghayati ini, mas
Kebaayang perjuangan seorang ibu, gimana pun, tetap bikin haru,
Yang belum nikah pun ngerasanya macem2 huhuu
Sehat selalu buat dedeknya, Mas ^_^
Masha Allah ya bacanya ini sambil terkagum-kagum dengan ketulusan bang dhika menemani istrinya saat lahiran. Dan membaca ini membuatku sedikit membayangkan bagaimana pengorbanan seorang perempuan saat melahirkan. Semoga anaknya menjadi jagoan yang tangguh bang, dan berbakti dengan kedua orang tua maupun kakaknya. Aamiin
Salah satu tulisan yang aku bacanya segenap jiwa Mas, jadi ingat waktu lahiran. Perjuangan sepasang suami istri menyambut si dedek bayi.
Semoga ananda jadi anak yang selalu sehat dan beruntung, aamiin.
aku larut dalam cerita, terus aku jadi ingat pas lahiran dan ditemani sama suami. jadi ibu itu memang perjuangan, dan melahirkan ditemani sama suami itu sungguh kekuatan…
Membacanya runut kisah persalinan, ikut merasakan deg-degan, sungguh moment yang luarbiasa sekali. Salam buat sang istri dan berharap semoga kebahagiaan terindah menjalani proses kehamilan, persalinan dan tahapan-2 selanjutnya sebagai Ibu, akan dialami pula oleh para istri yang saat ini masih berjuang agar diberikan amanah keturunan.
Turut berbahagia atas kelahiran sang buah hati, semoga ibu dan adik bayi sehat selalu.
Membaca kisah persalinan ini, jadi ikut merasakan deg-degan. Proses persalinan selalu luar biasa dan merupakan hal yang istimewa bagi perempuan.
Semoga moment bahagia menjalani kehamilan, proses persalinan dan peran sebagai ibu bisa pula dinikmati oleh para istri yang saat ini masih dalam proses ikhtiar utk diberi amanah keturunan. Aamiin.
Ya Allah. baca ini jadi ikut merinding dan ingat saat-saat akan melahirkan anak pertama, masuk IGD karena si bayi susah keluar, selamat ya untuk bertambahnya anggota baru, sehat-sehat semuanya
Baca tahap demi tahap pembukaannya, jadi bikin saya inget dulu saat mendekati waktu persalinan. Kok jadi ikut ngerasain mulesnya ya…hihihi
Beneran perjuangan yang berat. Syukurlah semua bisa dilalui dengan lancar dan sehat semua.
Selamat atas kelahiran buah hatinya ya, Kak 🙂
Masya Allah..selalu terharu dengan perjuangan perempuan yang melahirkan. Hidup mati taruhannya di tengah rasa sakit yang mendera. Luar biasa, dua kali saya mengalaminya dan cukup dua kali saja 😁
Masya Allah…perjuangan perempuan saat persalinan adalah perjuangan hidup mati di tengah sakit tak terperi yang menderanya. Salut untuk semua ibu..
Moment ketika saya benar-benar merasa terharu adalah melihat betapa perjuangan istri untuk melahirkan, dan saat anak lahir dengan selamat. Saat itu lah Cinta seorang ayah semakin naik ke permukaan, dan Cinta seorang suami semakin dalam tentunya.
Ada kelanjutannya gak ini ceritanya Andik?
Aku sekarang lagi senang membaca karya fiksi.
Itulah perjuangan seorang perempuan tidak bisa digantikan dengan apapun.
Ehmm anu. Tapi ini bukan fiksi sih. Untuk cerita cerita tentang anak pertama, di tulisan lain di sini banyak kok mbak 🙂
Muleeeessss, ya ampun aku jd terbayang2 proses lahiran anak2ku yg bikin aku msh agak “trauma” (maybe) melahirkan haha. Tapi alhamdulillah ya masss, lancar2 babynya lahir cepat dan ibunya sehat. Selamat yaaa buat anak keduanya 😀
Luar biasa hebat pengalamannya!
Kak Andhika telah berhasil jadi imam dalam keluarga, suami yang siaga, dan ayah terbaik bagi anak-anaknya.
Aku berharap kelak anaknya kak Andhika bisa membaca cerita dalam blog ini dan mengatakan:
“Aku bangga dan bersyukur punya orangtua seperti ayah dan ibu”
MashaAllah~
Barakallahi fiikum.
Semoga menjadi generasi sholih dan cerdas pembela ummat Islam.
Kaka ikutan menanti kehadiran adiknya hingga tengah malam?
MashaAllah~
Sholihnya…
[…] baru Si Sulung. Si Kecil? Tentu saja ia merasakan manfaat yang sama. Di usianya yang baru menginjak tiga, tentu membutuhkan […]