Scroll Top

Ayah Kerja Dulu, Ya

Sudah beberapa hari berlalu dan ternyata benar, yang paling menyebalkan dari kembali bekerja setelah libur cukup panjang bukan tentang bagaimana menghadapi rutinitas hidup yang membosankan. Untuk urusan itu aku sejauh ini, seperti bagaimana biasanya, bisa mengatasinya. Tapi yang sulit adalah ketika aku, seperti sekarang ini, merasa amat sangat kehilangan atas kebiasaan sesaat yang kulakukan ketika dalam masa-masa liburan: menghabiskan waktu bercanda bertiga dengan Si Jagoan juga bunda dengan perutnya yang semakin besar.

“Ayah nda boleh keja ya becok” itu di hari pertama, ketika ia selesai belajar mengeja namanya sendiri. Ia, ketika itu, merajuk marah karena namanya yang terlalu panjang. “Nama atu diganti aja, ya, Yah. Kaya kaka padli aja, sedikit doang” merujuk nama temannya di dekat rumah. Belakangan ini ia memang sering mengucap, bahkan mengeja, nama-nama yang ia ingat. Nama ayah, nama bunda, kakek, nenek, om, tante, atau nama-nama tetangga di dekat rumah tak luput ia sebut bahkan juga termasuk nama teman-teman ayah yang ia hafal lewat cerita. Lucunya, ia perlu usaha lebih keras untuk melafal dengan jelas susunan tiga puluh lima huruf yang membentuk namanya sendiri.

“Kenapa harus diganti?” kutanya demikian.

Ia menjawabnya dengan tatapan ke sembarang arah. “Panjang-panjang teuing, Yah” dengan logat daerahnya yang menggemaskan.

“Ayah nda boleh keja ya becok” ia mengulang kembali kalimatnya. Aku mengangguk dengan menambahkan gerakan hormat sambal berteriak lantang: “Siap, komandan!”

Jika ‘besok’ yang ia maksud adalah ‘besok’ sebagaimana mestinya. Anggukanku tidak salah. Paling tidak aku masih punya waktu satu minggu penuh untuknya berbuat apa saja. Termasuk di antaranya meloncat dengan ganas ke tubuh ayah di setiap pagi ketika ayahnya bahkan belum selesai bermimpi.

Anggukan itu berarti banyak untuknya. Satu minggu penuh ia menghapus kata ‘tidur siang’ dalam agenda hariannya. Serupa tua yang banyak rencana, di hampir setiap pagi sehabis ia meluluhlantahkan tulang-tulang ayah, ia akan memberikan pertanyaan atau pernyataan tentang apa yang ia ingin atau harus ia lakukan di hari itu. “Atu mau mandi dulu. Telus mau main nobin, ya, Yah” mobil maksudnya jika mungkin kamu tidak paham.

“Nanti itu, mah” kubilang ketika ia minta renang. Ia sepakat setelah beberapa kalimat debat. Lalu mengganti permintaannya dengan ajakan perang. Kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh. Kedua tangannya mengepal, diangkatnya kedua tangan terkepal itu di antara muka dengan dada. “Siap?” katanya disusul dengan satu dua gerakan cepat ketika bahkan aku belum sempat berucap siap. Ada banyak yang aku khawatirkan, dan kularang tentu saja, untuk kebiasaannya menonton serial anak di televisi. Gerakan-gerakan ini salah satunya. Tapi karena banyak sekali alasan dan pertimbangan yang membuatku tak bisa melakukan kontrol yang penuh terhadap satu-dua proses di tumbuh kembangnya. Paling tidak, untuk apa yang telah dan sedang ia lakukan, aku berusaha untuk tetap membuatnya sesuai alur agar tidak terlalu jauh keluar jalur.

Sebagai orangtua, tentu saja aku mengalah untuk setiap gerakan pukulan dan tendangan yang ia hujamkan. Tapi sebagai seorang pria aku tidak akan membiarkannya menang dengan mudah. Beberapa kali kubalas dengan pukulan pelan di lengan dan wajahnya yang tampan. Melihat ayahnya membuat satu-dua gerakan balasan, ia tertawa meski akhirnya ia kewalahan. ”Tinung tinung tinung” ia berteriak kencang dibarengi pose yang menggelikan hasil meniru salah satu film robot pahlawan. “Gabungkan kekuatan!” teriakannya yang lain dari tokoh jagoan di film yang berlainan. Ia menjelma menjadi dua pahlawan penuh kekuatan di satu kesempatan.

“Curang ih!” aku protes. Memintanya memilih salah satu saja pahlawan mana yang ingin ia perankan. Sengaja. Aku coba dengan cara paling sederhana untuk mengajarkannya adil sejak dalam pikiran. “Bialin” katanya tanpa mengendurkan serangan. Meski secara sadar ia tahu bahwa yang sedang ia hadapi adalah ayahnya sendiri, ia sama sekali tidak memiliki niatan untuk berpura-pura ketika ia menghadiahi ayah tendangan dan pukulan. Sebal, sih, tapi anggap saja ia sedang mengamalkan bab tentang bersikap jujur di setiap maksud dan tujuan. Hal lain yang pernah ayah nasihatkan. Jika sudah begini, pura-pura mati adalah salah satu bentuk perlawanan terbaik untuk menghindari sakit dan memar yang berlebihan.

“Ayah besok kerja, ya” di malam terakhir liburan sehabis ia tertawa lepas melihat pesona kembang api di malam yang remang.

Ia menolak, tentu saja.

“Nda boleh”

“Kan ayah harus kerja. Kan buat beli mainan dede” aku berusaha memberikan pengertian. Mendengar kata mainan, raut mukanya sedikit berubah. Berhasil. Kupikir. Beberapa waktu terakhir ia memang gemar sekali memeras ayahnya untuk mengubah lembaran rupiah ke bentuk tumpukan-tumpukan mainan di kotak keranjang.

“Yauda, atu nda usah beli mainan lagi. Tapi ayah nda boleh keja”. Tebakanku salah. Aku berusaha memberikan pengertian yang lain. Alasan-alasan duniawi yang biasa disampaikan oleh banyak sekali ayah ketika harus meninggalkan anaknya sendirian. Dengan banyak sekali kalimat setelahnya, arah komunikasi tetap tidak berubah. Besok ayah harus di rumah. Titik. Katanya, sampai ia tertidur kelelahan.

Ketika di tengah-tengah liburan, ia masih tidur waktu ayah dan bunda membeli sarapan. “Cepet pulang” neneknya melakukan panggilan ketika bunda memesan makan. Di ujung suara terdengar suara tangisan yang memekik parah. Aku mengenalinya dan aku tahu harus berbuat apa. Kami pulang sebelum sarapan datang. Ia mengampiriku cepat dan memelukku erat tepat di saat pintu rumah tertutup rapat. “Kirain ayah sama bunda ninggalin atu” katanya ketika kutanya mengapa.

Untuk alasan yang sama, di ujung kasur aku menungguinya bangun tidur di hari terakhir aku libur. Di luar matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya. Sepagi ini aku sudah harus bersiap-siap merantau pulang. Mengimani yang diceritakan pengalaman untuk menghindari jahanamnya kemacetan sehabis libur panjang. Terlambat sedikit? Ya, nikmatilah panasnya pantat akibat lama duduk di tengah kemacetan sambil ditemani bisingnya suara klakson dari orang-orang sialan.

“Mau berangkat jam berapa?” kata bunda.

Aku menggeleng pelan, menunjuk si jagoan yang masih tidur nyaman. Tergantung bangunnya dia, maksudku. “Takut nangis kaya kemarin kalau pergi gak bilang”.

Yang ditunggu bangun setelah belasan menit kemudian.

“Ayah mu kemana pake baju itu?” demi melihat aku memakai baju di luar kebiasaan saat liburan. “Kan mau kerja” kujawab dengan tingkat kehati-hatian tertinggi. “Oh…” ada tiga nafas yang terhela untuk ‘oh’-nya yang panjang. “Udah mandi emang?” dan diskusi berjalan pelan.

 Ia bertanya dengan teliti tentang apa yang ada di tas yang akan kubawa. Di mana bajuku, di mana laptopku, di mana sepatuku. Semua. Dan dia memastikan juga tidak ada satu mainannya yang kubawa pergi. “Yaudah ayo” katanya setelah aku mengamini permintaannya untuk mengantarku ke pintu gerbang. “Atu anter”.

“Ayah pergi kerja dulu, ya” aku menurunkannya setelah beberapa menit terakhir meminta gendong. “Ayah nanti makan apa? Bundanya kan gak ada” katanya dengan mimik muka yang menghina. Aku mengacak-acak rambutnya pelan. “Udah gampang” kujawab, “Bisa beli nanti. Dede main dulu sama Bunda ya di sini”.  Masih ada sisa waktu beberapa lama untuk Bunda kembali kerja.

Ia mengangguk. Menyalami tanganku dan menciumku pipi dan keningku dengan khidmat.

Seperti di akhir cerita film kebanyakan. Aku menoleh ke belakang di beberapa langkah kemudian. Ia masih di sana. Dan tersenyum. Aku menaikan tangan. Memberikan salam hormat. “Pergi dulu, komandan”. Ia membalasnya. “Siap, 86!”

Ada yang berbeda di kali ini aku merantau pulang. Tak ada drama sembunyi-sembunyi. Tak ada tangisan di tengah jalan. Untuk pertama kalinya, ia membiarkanku pergi dengan senyuman. Karenanya ada rasa takut yang muncul. Besok lusa mungkin ia malah senang jika aku harus pergi sendirian.

“Sebentar lagi ya, Dek” ucapku dalam hati. “Sekarang, ayah pergi kerja dulu”

EPILOG

Aku terbangun ketika perjalanan menuju perantauan belum tergenapi setengahnya. Melalu jendela bus kota aku melihat keadaan di luar. Jalanan belum terlalu padat. Aku mengambil telepon genggam. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor milik bunda. Juga beberapa pemberitahuan di layanan pesan singkat. Mungkin untuk menjawab yang tadi, kupikir. Ketika sampai di terminal bus, aku beberapa kali mencoba menelepon bunda. Sebanyak itu juga panggilanku ia tolak.

“Ayah sudah di bus, bun. Dede lagi apa?” begitu pesan yang aku tulis.

Sampai beberapa menit kemudian tak ada balasan. Ya sudahlah. Telepon genggam kumasukkan ke dalam saku. Dan aku tertidur.

Pesan-pesan itu kubuka.

“Ayah, pas masuk ke rumah tadi abis nganter ayah. Anaknya langsung masuk ke dalam kamar. Pintunya ditutup kenceng banget. Dia nangis. Ayah gak boleh kerja. Katanya. Aku masih pengen main sama ayah. Ayah telfon Bun. Suruh pulang lagi”

Related Posts

Comments (8)

Baper ini bacanya. Kerja setiap hari balik ke rumah saja si anak bisa rindu berat, aplagi jk orangtuanya merantau. Hey, Atu! Mari kita hentikan waktu agar bs selalu bersama dg orang2 yg kita sayang.

Tuh kan bener. Aku cirambay bacanya. Untung udah sedia tisu.
Aku mah kemarin pamit pulang sama ayah ibu aja udah nahan nangis, nasib super jauh dari mertua kadang cuma setaun sekali pulangnya.

Semoga keluarga Ucha selalu diberi kesehatan dan kesempatan waktu liburan yang banyak biar rajin berkumpul. amiin

Duh… Berasa banget kalo anak anak adalah alasan untuk pulang. Sepertinya perhatian yang diberikan tak pernah cukup ya mas. Semoga dilancarkan tejekinya sehingga ayah tak perlu kerja jauh jauh. Cukup dari rumah saja ya

Bersyukurlah, kita masih punya keluarga, tempat mencurahkan kasih sayang, terlepas dari segala masalah, beberapa senior memang pernah berkata untuk jujur ke anak kalau mau peegi kerja, gak usah dibohongi.

Nah lho, sebagai pelajaran. Jangan kepanjangan kasi nama anak. Kan kasihan anaknya mas 😀
Belum lagi ntr kalau dah gede, isi folmulir macam-macamnya ribet 😀

Loooh ternyata diam2 menahan tangis. Merelakan ayahnya berangkat kerja
Hatinya sensitif ya. Peka. Ngerti.

Aah…berat pasti ya…
Anak-anak ini sungguh punya caranya sendiri dalam bernegosiasi.
Sebenarnya dengan begini, mereka nantinya bisa memahami masalah dan jalan keluarnya.

Nuhun cerita parentingnya, kak Ariel.

Pengen nya bareng trus sama anak… Cuman tuntukan biaya hidup yg memimpin kita untuk egois

Comment to Peri Hardiansyah Cancel reply