Scroll Top

Ke Arah Bandara

Lebih dari separuh perjalanan dinas luar kota –atau malah luar pulau yang saya lakukan adalah perjalanan yang tidak direncanakan. Kalau pun masuk dalam rencana kegiatan, biasanya baru direncanakan satu-dua hari sebelum keberangkatan. Apa yang menyebalkan? Seperti umumnya di sebuah perusahaan, kebijakan di tempat saya bekerja mengenai permintaan biaya perjalanan dinas harus dilakukan selambat-lambatnya tiga hari sebelum kegiatan. Artinya, di hampir setiap perjalanan saya harus menalangi terlebih dahulu biaya keberangkatan. Kalau berangkat di awal-awal bulan, sih, ya enggak terlalu masalah, ya. Tapi kalau perjalanan dinas dan proses talang-menalangi itu terjadi di akhir bulan, ya, pusing juga, jendral.

Tiga komponen utama yang biasanya membuat isi dompet deg-degan adalah: tiket pesawat, penginapan dan biaya perjalanan darat ke arah bandara. Khusus untuk tiket pesawat dan penginapan, Kalau perjalanan dinas bukan di akhir pekan, sih, tidak terlalu menjadi masalah. Karena berada di birokrasi pengajuan yang berbeda, selama masih ada bangku kosong pesawat yang bisa dipesan dan ada kamar yang sudi untuk saya inapi. Kasarnya, meminta tiket tiga jam sebelum keberangkatan  pun masih tidak melanggar kebijakan.

Masalah utama justru ada di biaya perjalanan darat ke arah bandara.

Tempat saya tinggal, juga tempat saya bekerja, bukan tempat yang ramah dijangkau transportasi publik massal ke arah bandara. Kalau ingin cepat, moda yang bisa digunakan adalah taxi. Terserah mau menggunakan yang konvensional atau pun yang online. Tapi, sayangnya, jarak dari rumah ke bandara termasuk jarak yang berlebihan. Dengan jarak seperti itu, kalau berpacaran, sudah pantas menyandang predikat pelaku hubungan jarak jauh. Dan jauhnya jarak tentu berbanding lurus dengan besaran biaya yang harus dikeluarkan.

Jadi, skenario naik taxi ke bandara hanya bisa saya lakukan di awal bulan ketika saya tidak memiliki banyak beban.

Kereta? Kejauhan.

Bus? Iya, ini alternatif terbaik yang masuk akal. Meski sebenarnya ada dua pertimbangan yang membuat saya menjadikan bus sebagai alternatif terakhir.

Pertama, rumah saya bukan terminal, bukan pula halte pemberhentian. Yang artinya, saya membutuhkan waktu dan jarak yang harus saya tempuh untuk mencapai titik di mana bus ada dan melintas. Mempertimbangkan efisiensi waktu, mengingat bus yang memiliki jadwal yang diatur sedemikian rupa, tentu ini bukan cara yang menyenangkan. Namun, jika mempertimbangkan harga, sejauh ini, tidak ada yang bisa mengalahkan harga bus sebagai moda transportasi massal termurah ke bandara. Buruknya, saya termasuk orang yang percaya dengan dogma: ada harga ada kualitas. Ini lah yang kadang membuat saya malas. Karena saya khawatir, dengan harga yang murah saya tidak akan mendapatkan fasilitas dan kenyamanan seperti yang saya dapatkan di moda transportasi selain bus.

Saya kaya raya? Tidak. Hanya memang ‘belagu’ sudah cukup lama menjadi nama pena. Tapi serius, untuk perjalanan dinas yang notabene akan menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, kenyamanan di perjalanan sungguh saya pertimbangkan betul. Paling tidak, di jalan itu lah saya bisa merehabilitasi badan dan pikiran sebelum benar-benar berperang nanti di kota tujuan.

Selain itu, ketidakramahan dan ketidaknyamanan terkait fasilitas yang saya sebutkan sebelumnya bukan asal njeplak, kok. Sejauh ini, paling tidak ada beberapa armada moda transportasi bandara berbasis bus yang pernah saya coba. Dan hampir semuanya malesin. Ya, enggak jauh beda lah sama bus dalam kota, cuma tujuannya pindah ke bandara. Sejauh itu juga cuma satu kayanya yang benar-benar bisa membuat saya nyaman. Hanya satu yang mungkin bisa meyakinkan saya untuk menjadikan bus sebagai pilihan utama berangkat ke bandara. Big Bird.

Alasannya? Sederhana.

Meski tarif Big Bird murah tapi tidak berarti saya mendapatkan fasilitas yang murahan. Ada LED TV pribadi di masing-masing kursi. Nonton film? Bisa, lah. Atau kalau mau kerja di bus -ngapain sih tapi  juga bisa karena dikasih meja lipat sepaket dengan koneksi WiFi dan stop kontak. Haus? Ada minuman gratis. Mau pipis? Ya, pipis aja di toilet. Ada, kok. Mungkin enggak bagus kalau saya banding-bandingkan. Tapi, untuk menjadi pertimbangan. Sejauh ini, Big Bird yang ngasih fasilitas terlengkap, sih.

Big Bird bisa mengatasi pertimbangan kedua yang membuat saya menjadikan bus sebagai alternatif terakhir untuk perjalanan ke bandara. Meski Big Bird memiliki banyak sekali jadwal yang bisa disesuaikan dengan jadwal penerbangan pengguna, untuk saya pribadi, belum bisa mengatasi pertimbangan pertama yang saya sebutkan tadi. Tentang waktu dan tambahan jarak tempuh untuk saya menjangkau titik lintas bus. Karena, sejauh ini, Big Bird belum ada di tempat saya tinggal. Cikarang, orbit terluar planet Bekasi.

Sumber gambar: Traveloka.com

Ya tapi paling enggak. Skenario talang-menalangi biaya perjalanan darat ke arah bandara untuk setiap perjalan dinas yang saya lakukan, sekarang ini, sudah ada alternatifnya. Gak harus terus-terusan pusing kalau besok-besok berangkat dadakan lagi.

Related Posts

Leave a comment