Sebetulnya menghabiskan dua pertiga waktu di luar rumah di hampir setiap harinya tidak pernah saya cita-citakan sebelumnya. Apalagi, bagian yang paling menyebalkan, hampir separuh dari dua pertiga waktu itu saya habiskan hanya untuk duduk manis di dalam bis sembari melihat matahari terbit ketika pergi dan untuk menemani matahari terbenam ketika saya pulang. Jika sedang dalam kondisi hati yang buruk, saya kerap menggerutu dengan keadaan yang sekarang ini tidak memberikan saya banyak pilihan. Yang sedikit membuat saya lega, di semua proses ini, dalam satu jalur yang sama banyak orang mengalami hal sama dan tampaknya tidak menganggap hal ini sebagai beban. Paling tidak sekarang ini saya tidak sendirian.
Jika harus menggarisbawahi hal-hal yang berkualitas untuk saya menghabiskan waktu, paling tidak dalam benak saya yang terbatas ada beberapa hal yang yang terlintas: keluarga, bekerja dan berkarya. Ibadah? Jika maksudnya adalah hubungan intim antara saya dengan Tuhan tentu ada pada saat dan tempat yang tidak perlu dijelaskan. Namun jika kontekstual ibadah yang dimaksud lebih umum dari hubungan hamba dengan Sang Pencipta, maka anggap saja sudah terwakili dari tiga proses tadi: keluarga, bekerja dan berkarya. Dan tulisan ini dibuat sebagai keluh kesah karena ada sebagian waktu yang tidak bisa saya habiskan untuk merangkul tricita tadi.
Bayangkan, separuh dari dua pertiga waktu di hampir setiap harinya yang saya buang jika saya tidak melakukan sesuatu. Tidak ada satu pun dari keluarga, kerja dan karya yang menemani saya di waktu tersebut. Betul, di sepanjang perjalanan saya bisa mensiasati waktu untuk urusan keluarga atau pun kerja, dengan panggilan video atau panggilan suara, misalnya. Tapi kita sama-sama tahu di rentang waktu tersebut banyak orang, yang juga termasuk saya di dalamnya, memanfaatkan waktu untuk tidur dan beristirahat. Dan saya tidak bisa narsis dengan sengaja membuat gaduh di dalam bis. Maka kita sepakati saja ini: momen di dalam bis adalah momen untuk kebutuhan masing-masing diri.
Dan karenanya hanya ‘karya’ yang tersisa dari tricita.
Dalam kasus saya, saya mensubtitusi karya ke dalam bentuk desain dan tulisan. Paling tidak, dua bentuk itu yang belakangan ini saya kerjakan. Karena hampir mustahil untuk membuat gambar pun desain di perjalanan, karenanya saya pernah bersumpah untuk bisa membuat tulisan di sisa-sisa waktu di perjalanan. Satu-dua tahun semenjak sumpah itu dibuat, hampir tidak ada satu pun tulisan yang murni dibuat di jalan. Paling bagus ketika saya bisa menyelesaikan dua paragraf pembuka. Untuk tulisan yang mana? Saya lupa. Selebihnya? Gagal total. Saya memiliki kelemahan yang fatal untuk menulis melalui peranti genggam. Bahkan untuk sekadar membuat catatan-catatan kaki sekalipun.
Lagi-lagi sumpah itu saya revisi.
Jika tidak bisa membuat tulisan, paling tidak saya harus melakukan sesuatu untuk menemukan inspirasi sebagai bahan untuk tulisan. Caranya? Apalagi yang terbaik selain menonton dan membaca. Berhasil? Saya pernah rutin melakukan ini: membaca di perjalanan pergi, menonton di perjalanan pulang. Jika dibuat statistik, paling tidak dari rutinitas itu dalam satu minggu saya bisa menghabiskan satu buku ratusan halaman dan tiga sampai lima film berdurasi seratus dua puluh menit lebih kurang. Sayangnya dari semua tulisan yang saya buat, baik kualitas atau kuantitas, tetap seperti biasanya, hasil mandiri di waktu semua penghuni rumah tertidur pulas. Waktu yang memang saya alokasikan khusus untuk sendiri dan merenung. Tidak ada satu pun dari so-called ‘mencari inspirasi’ itu sebagai oleh-oleh perjalanan.
Buang Buang Waktu
Apa yang terjadi ketika kamu berencana, gagal, membuat rencana ulang lalu kemudian gagal untuk kali kedua? Bahkan, ada sumpah di dalam rencana yang kamu buat? Masa bodoh. Paling tidak, itu yang terjadi pada saya. Saya menjadi masa bodoh dengan semua kegiatan saya di perjalanan. Saya mengambil prinsip para pecundang yang setia mengatakan: yang terjadi-terjadilah. Tidak ada sedikit pun upaya dan motivasi untuk saya kembali ke jalur ‘membuat sebuah karya’. Peduli setan dengan hasil karya. Saya akan melakukan apa saja tanpa sedikitpun rencana, cita-cita, target atau apa pun. Tidur, menyapu-nyapu jari di lini masa, atau bermain gim di peranti genggam. Yang terakhir yang paling banyak mengambil waktu dan mengacaukan segalanya.
Maksud saya, ternyata dampak bermain gim terbawa ke banyak suasana. Tidak cukup sekadar bermain di jalan, ia muncul di hampir setiap waktu luang. Tidak ada lagi halaman buku atau visualisasi cerita film yang saya buka. Lucunya, gim yang saya sukai adalah jenis-jenis gim yang menutup diri. Yang saya lakukan dan yang saya mainkan adalah tentang saya yang berkompetisi dengan diri sendiri. Jika saya tidak bercerita, orang lain pun tidak akan tahu jika saya sedang khusyu bermain gim. Lalu apa menariknya?
Salah? Dalam kehidupan normal, tidak. Selama tidak merugikan orang lain, tidak pernah ada yang salah untuk setiap hal yang dapat memberikan kepuasan lahiriah. Bahkan untuk sekadar bermain gim. Yang menjadi masalah kemudian adalah saya yang terlanjur memiliki banyak sekali omong-kosong tentang rencana, cita-cita, dan tentang banyak hal yang saya definisikan sebagai karya. Dan saya sadar, dengan tetap bermain gim, saya sulit menuju ke sana, ke cita-cita dan omong kosong saya. Saya sadar, dengan tetap bermain gim, saya malah semakin dekat kepada hal yang saya takutkan: membuang-buang waktu percuma.
Tulisan ini, saya buat setelah saya menghapus semua aplikasi gim yang saya mainkan di peranti genggam. Dan kemudian saya bersumpah untuk kali kedua. Tidur menjadi satu-satunya hal yang bisa saya maafkan jika saya tidak bisa memanfaatkan waktu untuk ‘mendekati sebuah karya’. Selebihnya, mari doakan saya untuk kembali bisa membaca, menonton demi inspirasi-inspirasi baik untuk saya, sekali lagi, membuat sebuah karya.
Dan amin. Menjadi menutup dari suatu semoga.