Scroll Top

Main Sepeda

Beberapa waktu terakhir ayah saya menghujani percakapan di layanan pesan singkat dengan segala hal yang berbau sepeda. Entah itu berupa gambar, kalimat, cuplikan video atau catatan suara. Terganggu? Tidak sama sekali. Saya malah merasa senang, di usia senjanya, ayah masih getol beraktivitas di luar. Sekali waktu ia bercerita tentang perjalanannya ke pusat kota, hampir tiga puluh kilometer jauhnya dari rumah, bersama dengan gengong aki-aki di rumah. Di waktu yang lain dengan bangga ia menunjukan tiket funbike yang diselenggarakan di salah satu gelanggang olahraga terbesar di kota bahkan beliau memaksa ibu untuk ikut menemaninya bersepeda. Biar sehat dan enggak cepat lupa, katanya. Saya yang berada ratusan kilometer jauhnya hanya bisa melamun rindu. Rindu kepada ayah yang tetap jenaka, ibu yang terpaksa dan tentu yang ada bersama mereka: sepeda.  

Foto-foto yang dikirimkan ayah secara berkala

Untuk saya yang tumbuh di pertengahan tahun 90-an, sepeda menjadi komoditi mewah yang menyenangkan. Untuk mendapatkanya diperlukan momen besar yang bersejarah. Sejauh yang saya ingat, di waktu kecil, dua kali saya memiliki sepeda. Satu ketika saya masih belajar dan terpaksa menambah dua roda sebagai penyangga. Satu yang lain sepeda dengan warna ungu yang khas. Kamu pastilah tahu, ketika itu si sepeda ungu begitu tenar dengan kambing yang mengembik sebagai maskotnya atau bahkan kamu juga punya, kan?

Sepeda yang pertama, mungkin, di wariskan kepada kerabat yang lebih muda. Sepeda seperti itu memang tidak pernah bertahan lama. Banyak sekali orangtua, termasuk saya saat ini, membeli sepeda seperti itu demi memenuhi tanggung jawab pengasuhan kepada anak dan tentu demi memberikan sedikit senang kepada mereka. Hanya berbilang bulan, jika tidak diwariskan, paling bagus sepeda model itu ditumpuk di gudang belakang. Yang kedua, sebagai hadiah saat saya memiliki peringkat baik di kelas dua seragam putih merah. Waktu yang dihabiskan lebih kurang empat bulan untuk mengurung diri, belajar setengah mati, terbayar lunas dengan hadiah istimewa itu.

Masa-masa itu nyatanya begitu menyenangkan. Hidup seolah hanya dihabiskan untuk bersenang-senang belaka. Salah satu yang terngiang ketika saya dan beberapa teman bergerombol mengelili blok perumahan mengayuh pedal dengan angkuh dan riang. Tambahkan potongan botol plastik di roda belakang, sehingga membuatnya bergemuruh dan memaksa orang lain di sekitar untuk memandang membuat kami serupa bintang. Belum cukup? Di antara kami bahkan ada yang memiliki pakaian bersepeda khusus. Jubah Superman, misalnya, dengan kain yang super tipis sehingga ketika laju, membuatnya tampak terbang. Terbang di atas sepeda.

Jatuh, nangis tertawa dan berdarah, sih, menjadi salah satu rutinitas yang dimaklumi. Di musim penghujan kesenangan bertambah ketika kubangan menjadi salah satu target jalan yang harus kami lewati dengan ayuhan sekuat tenaga. Byurrr. Air menyembut ke rumah orang, kendaraan orang atau bahkan muka orang? Siapa peduli. Tenaga kami masih cukup banyak untuk mengayuh laju. Lari dan bersembunyi.

Sayangnya, Si Sepeda Ungu tidak bertahan terlalu lama. Hilang. Enggak tahu kemana.

Dan dewasa ini, ketika bersepeda kembali menjadi tren, saya sempat berkeinginan memiliki sepeda lagi. Saya sempat tergiur ketika tidak sengaja melihat katalog-katalog sepeda di BukaLapak menandai beberapa di antaranya ke dalam daftar keinginan. Apalagi sepeda model sekarang itu memiliki bentuk yang, ya, enggak malu-maluin lah untuk dipakai berolahraga ataupun gaya. Tapi beberapa waktu kemudian, hanya sebatas itu yang bisa saya lakukan. Banyak pertimbangan yang membuat saya harus menunda keinginan untuk kembali bersepeda. Dana dan waktu tentu menjadi pertimbangan utamanya.

Kapan pulang? tanya Ayah beberapa hari setelahnya. Saya menjawab dengan kehati-hatian tingkat tinggi. Dari satu kalimat Tanya yang Ayah ucap, boleh jadi mengandung makna yang sedemikian banyak. Belum tahu, saya jawab. Mungkin di akhir tahun, setelah segala urusan perkuliahan selesai dan otak tidak direcoki dengan masalah-masalah teori akuntansi.

Temani main sepeda, ya. Kamu pakai punya ibu aja.

Oh, iya, siap, Yah!

Related Posts

Comments (1)

Salut ayahnya, Mas. Masih semangat dan fit. Saya juga suka bersepeda walaupun sepedanya biasa saja bukan khusus sepedaan keren gitu. Tapi kerasa banget manfaatnya, tiap hari harus bersepeda sedekat apa pun. Asyik asyik asyik!

Leave a comment