Scroll Top

Manusia Setengah Kampret

Di sosial media belakangan ini muncul istilah baru untuk membagi manusia ke dalam dua kelompok tertentu. Cebong dan Kampret. Saya tahu, meskipun sempat kebingungan di awal, mengapa istilah itu muncul. Dan tentu istilah dan panggilan tersebut bukanlah panggilan sayang. Mereka, yang pertama kali membuat istilah itu, mengamati perilaku kelompoknya yang berseberangan, membandingkannya dengan binatang, memilah mana yang buruk dan, tentu saja, yang bisa dijadikan objek cela. Saya tidak mau dan tidak pernah mau terlibat aktif di dua kelompok itu. Tapi, tiba-tiba kok ya saya tergelitik untuk menebak-nebak sendiri. Kalau melihat pola dan perilaku, saya ada di mana, sih?

Kampret. Mungkin saya akan berada di situ jika benar istilah tersebut digunakan karena melihat pola dan perilaku yang diberi sebutan itu. Kampret sendiri, jika merujuk pada arti di KBBI, berarti kelelawar kecil. Dengan kelelawar, saya merasa memiliki banyak sekali kemiripan. Terutama di bagian bagaimana kami (saya dan kelelawar) mengatur pola aktivitas tidur di malam hari. Iya, saya memiliki kebiasaan tidur lebih dari larut. Bahasa sederhananya: begadang.

Begadang itu menjadi penyakit yang sulit sekali saya hilangkan. Kebiasaan ini dimulai ketika menjelang lulus sekolah menengah atas beberapa tahun yang lalu. Aktivitas di sekolah yang mulai berkurang, dengan kehidupan kos dan masa muda yang menyenangkan membuat begadang, dengan teman-teman, jadi salah satu kegiatan rutin untuk bersenang-senang. Apa pun itu kegiatannya. Ya main kartu, ya main gitar (di tengah malam buta), ya main PS, atau sekadar menghabiskan kacang dan minuman belaka. Dari tujuh hari dalam satu minggu. Paling satu-dua hari saja saya alfa. Ketika di akhir pekan disuruh pulang ke rumah.

Setelah lulus dan bekerja, tinggal jauh dari orangtua. Sampai kemudian saya menikah dan menjadi orang tua. Begadang tetap menjadi rutinitas saya. Dalam setahun, amat sangat bisa dihitung dengan jari saya tidur sebelum jam pergantian tanggal. Yang membedakan, jika dulu saya bebas mengatur waktu. Beraktivitas malam sejak sore pun tidak masalah. Sekarang, ada yang harus saya perhatikan. Aktivitas itu baru dimulai ketika menjelang larut malam. Di luar sudah benar-benar sepi, saya baru mulai. Alhasil, waktu tidur pun berkurang. Sekarang ini, jumlah waktu tidur saya di hari kerja, hampir tidak pernah lebih dari 5 jam setiap harinya. Dua-tiga jam di rumah. Masing-masing satu jam di bus di perjalanan pergi pulang.  Kalau dapat duduk. Kalau enggak, ya tinggal dikurangi.

Saya sering dinasehati oleh banyak orang tentang kebiasaan amat buruk ini. Saya berdalih, ‘orang sukses pun tidurnya cuma sebentar, kok” sembari mengambil contoh kehidupan orang-orang sukses yang, biasanya, memang memiliki penyakit yang sama. Bedanya, mereka mengisi waktunya dengan banyak hal bermanfaat yang bisa mengubah dunia. Saya? Ya sekarang ini paling Cuma: nulis, desain, main game (lagi) atau nonton. Satu-satunya hal bermanfaat yang saya lakukan kalau malam hanya jika sedang tidak libur kuliah. Aktivitas malam, saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Gobloknya saya, hanya aktivitas duniawi saja yang saya lakukan selama lebih dari 10 tahun rutinitas begadang ini saya lakukan. Padahal, kan, Tuhan sangat menghargai waktu, apalagi yang di sepertiga malam.

Kebiasaan memang sulit diubah. Apalagi, saya masih belum bisa sepenuhnya meninggalkan aktivitas pribadi, namun saya juga tidak bisa mengorbankan kesempatan berinteraksi dengan keluarga dan orang-orang terdekat di rumah, jadi begadang ini adalah salah satu cara saya membagi waktu.

Tapi tampaknya saya benar-benar harus mulai memikirkan cara lain untuk membagi waktu. Untuk dapat tetap produktif sebagai ayah, istri, karyawan, mahasiswa dan manusia sosial secara bersamaan tanpa perlu mengorbankan salah satu di antaranya dan tanpa perlu begadang.

Badan saya sekarang ini mulai menunjukkan gejala-gejala penolakan untuk terus diajak begadang. Dalam dua tiga bulan terakhir, saya gagal melewati prosedural kesehatan karena alasan yang sama. Tampaknya saya mulai harus menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia tanpa perlu mengikuti pola kehidupan kampret, apalagi menjadi kampret. Sudah cukup tampaknya saya menjadi manusia setengah kampret.

Related Posts

Comments (1)

[…] Parahnya, yang semula caci-maki itu hanya ditujukan untuk pasangan calon pemimpin, makin ke sini makin bergeser. Caci maki akan berlaku juga untuk pasangan calon dan sesiapapun yang ada di belakangnya. Termasuk juga para pendukungnya. Sehingga tak segannnya mereka untuk saling melabeli serupa binatang. […]

Leave a comment