Scroll Top

Panggilan Video

“Permisi!”

Malam yang teduh. Bintang entah disembunyikan oleh siapa. Awan atau gelap. Tidak jelas. Menyisakan langit di atas sendirian. Bulan yang pemalas juga belum datang. Tanpa lampu, sulit untuk menebak suara siapa yang muncul tiba-tiba dari luar pagar.

Aku bangkit dari dudukku di teras rumah. “Sebentar, ya, ada tamu,” sahutku ke anak kecil di dalam layar telepon genggam.

“Eh, Mas Heru. Ayo masuk, Mas” aku mempersilakan orang di luar pagar itu untuk masuk. Heru, tetangga blok seberang.

“Di sini enggak apa-apa?” aku menunjuk dua kursi kosong di teras rumah. Yang ditanya mengangguk tanda sepakat. Tak masalah, katanya, hanya mau ngobrol sebentar saja.

Aku tersenyum. Duduk tanpa sempat menawarinya apa-apa.

“Mas, sebentar ya,” aku memperlihatkan layar telepon genggam yang masih terhubung panggilan video kepada Heru sebagai tanda, “jadwal video-call” lanjutku kemudian. Ia mempersilakan. Tersenyum penuh pemakluman. Ia mengambil satu batang rokok untuk kemudian ia nyalakan. Aku memberi kode untuk menawarinya kopi. Ia mengacungkan jempol, “santai,” katanya. Nanti saja.

“Amaa ihhh, Ayah” anak kecil di dalam layar menunjukkan wajah cemberut. Marah, atas waktunya yang tersita sebentar barusan. Lihat dengan wajah dan mulut yang dilipat ia tampak begitu menggemaskan. “Maaf atuh, kan, ada om Heru,” aku mengarahkan kamera depan dan membiarkan ia melihat Heru. Sebelumnya kuminta Heru untuk menyembunyikan rokoknya dulu. Ia, bagaimanapun, tidak boleh melihat rokok. “Om, mana itan Dede!?” ia mengenalnya. Saat di sini minggu yang lalu, ia dihadiahi sepasang ikan hias oleh Heru dan ketika ia kembali ke rumah neneknya. Ikan itu kembali dititipkan di rumah Heru. “Ada di rumah om. Tadi udah dikasih makan. Dede kapan ke sini lagi? Nanti om beliin ikan lagi” janji Heru kepada anak kecil itu.

Panggilan video itu berakhir beberapa menit kemudian. Setelah beberapa canda gurau ayah-anak yang dibatasi jarak. “Ayah jeput bunda duyu, ih!” katanya sebelum panggilan itu benar-benar berakhir, menyuruhku untuk menjemput bundanya yang terpaksa menambah waktu kerja demi audit tahunan besok lusa. Aku mengangkat tanganku tepat ke depan kening. “Siap bos” kataku.

“Setiap hari itu, Mas?” Heru membuka suara setelah beberapa detik lama ada jeda. “Video-call” lanjutnya setelah melihatku menunjukkan ekspresi tidak mengerti.

“Oh, ya, gitu lah,” kujawab. Aku mengambil bungkusan rokok di dekat Heru, mengambilnya tanpa meminta izin dan menyalakannya. Satu rahasia kecil yang anak kecil itu tidak tahu: ayah merokok ketika ia sedang tidak ada. “Sebentar,” aku masuk ke dalam rumah dengan rokok menggantung di mulut. Satu rahasia lain, dalam waktu tertentu ayah membawa rokok masuk ke dalam rumah, meski jelas Bunda melarang keras.

***

“Pantesan, saya telpon berapa kali enggak diangkat aja” kata Heru.

Di lingkungan sosial di rumah, aku menjabat sebagai ketua RT. Dan di dalam struktur organisasi, ada Heru di dalamnya. Sepanjang akhir pekan kemarin ia berulang kali datang ke rumah. Kosong. Ada sesuatu yang harus ia sampaikan yang cukup mendesak terkait kewargaan. Dan ia menghubungi nomorku berulang kali entah. Percuma. Tak ada reaksi.

“Kan tempo hari udah pernah saya kasih tahu, Mas. Kalau lagi mudik, saya enggak pegang-pegang hape” itu yang aku jelaskan. Awalnya, Heru mencoba menyatakan ketidakpuasan atas jawabanku itu. Terlalu penting dan harus segera dijawab, katanya. Dan ia memaklumi kemudian setelah aku menjelaskan birokrasi dan tugas-tugas yang kudelegasikan kepada wakil RT setiap kali aku mudik, dua minggu sekali. Dan itu telah disepakati di dalam kepengurusan.

“Mau gimana lagi, Mas” aku menyadari kesalahanku yang sering melepas tanggung jawab sebagai ketua RT.

“Ketemu anak tiap dua minggu dan di sana masih harus diganggu sama hape dan tetek bengeknya? Kasihan dia, Mas. Jadi, ya gitu, lagi sama anak, saya enggak pegang hape” tegasku sambal meminum kopi yang masih panas.

Tanggung jawab sosial sebagai ketua RT memang tidak kecil. Namun, tanggung jawabku sebagai seorang ayah, seharusnya, jauh di atas segalanya. Dan untuk waktu singkat bersama anak kecil itu di akhir pekan, aku bersedia mengabaikan segalanya.

“Ketemu dua minggu sekali gitu, enggak bikin dipanggil ‘om’ kan sama anaknya Mas Erte?” usia kami yang tidak terlalu terpaut jauh membuat Heru memanggilku Mas alih-alih Bapak. Dan Mas Erte? Frasa yang unik. Lagi, usia yang tidak terlalu jauh, membuat kami juga terbiasa dengan bercanda.

Pertanyaan Heru itu terjawab dengan korek api yang kulempar.

***

Dulu, saat keputusan itu dibuat, satu hal yang paling aku takutkan ketika harus berjauhan dengan anak adalah ikatan emosional yang hilang. Aku dan Bundanya tidak bisa mengikuti sepanjang detik tumbuh kembangnya. Nenek, memiliki waktu yang lebih istimewa bersamanya.

‘Bagaimana jika ia tidak mengenalku? Tidak mau dekat denganku?’hal-hal seperti itulah yang menjadi momok ketika berjarak dengan anak. Dan ketika ia sudah cukup untuk mengerti, ia akan jadi membenciku. Beberapa kali aku memikirkan resiko diabaikan setiap kali aku pulang, resiko penolakan ketika aku, dan pasti akan selalu, merindukannya. Beberapa kasus yang aku temukan di kehidupan kerabat, atau dari literasi psikologi yang aku baca. Di usia tumbuh, ketika seorang anak ditinggalkan orangtuanya, dengan alasan apa pun, akan sulit bagi anak untuk dekat dengan orangtuanya, baik dari sisi emosional atau pun dari sisi psikologis.

“Alhamdulillah, enggak, sih, Mas” kataku.

Heru mengangguk setuju. Maksudku, ia melihat  bagaimana anak kecil itu memperlakukanku ketika sedang di sini minggu lalu. Dan kurasa, Heru cukup tahu bahwa ketakutan yang kusebutkan sebelumnya tidak pernah terjadi. Setidaknya sampai hari ini.

Di luar komunikasi video di hampir setiap hari, mencurahkan semua waktu dan pikirku ketika bersama anak kecil itu adalah salah satu upaya untuk aku membayar utang. Utang yang lebih dari materi, lebih dari segala harta yang ada di Bumi. Utang yang muncul dari keputusan sepihak yang kuambil yang membuatnya harus tumbuh dan berkembang tanpa aku di sampingnya. Utang yang hanya bisa kubayarkan dengan aku. Ehm dan Bundanya. Tentu saja.

Maka minggu lalu, aku cuti beberapa hari. Sengaja untuk menemaninya bermain. Mengganti rugi waktunya yang banyak hilang. Dan sepanjang waktu itu, hanya mandi dan buang air besarlah yang kami lakukan sendiri-sendiri. Sisanya, kami bertransformasi menjadi sepasang anak-ayah yang kompak. Meninggalkan Bunda yang cemburu karena waktu anaknya habis untukku belaka. “Bunda canaa” candanya sesekali, “dede ama ayah aja,” dan ia tertawa berlarian ke arahku, menggoda bunda dengan cara yang memesona.

Cama ama yayah” ketika secara tidak sengaja Bunda memilihkan baju yang berwarna sama dengan baju yang kupakai. Sederhana saja kesamaan yang ia butuhkan dan ia senang luar biasa. Dalam pikirku, mungkin ‘menjadi seperti ayah’ adalah apa yang ia pikirkan dan inginkan saat ini. Jika benar tentu saja hal itu menjadi penghargaan tertinggi yang kudapatkan selama hidup. “Aku cuma ingin dia bisa bangga punya ayah seperti aku. Ya, paling enggak kaya gimana aku bangga sama papa. Sedikit aja, enggak usah banyak-banyak.” itu cita-cita yang kuucapkan ke istri saat ia bertanya: “apa keinginanmu sebagai seorang ayah?”. Sisanya? Aku hanya ingin ia menjadi apa yang dia inginkan.

***

“Enggak dibawa ke sini lagi aja, Mas?” kata Heru lagi, cerewet sekali ia malam ini. “Dijaga sama pengasuh?” lanjutnya.

Aku menggeleng. Menjelaskan kepada Heru Si Bujangan tentang tumbuh kembang dan bagaimana aku tetap menjaga ikatan emosional dengan anakku.

Ia menyalakan rokok ketiga malam ini, meminum kopi bagiannya, dan mendengarkan sebuah cerita. Bagian yang paling ia sukai setiap kali berkunjung ke rumah. “Bekal untuk saya, Mas. Biar tahun depan saya nikah, saya enggak binggung harus ngapain” katanya waktu itu.

Dan Heru, sudah menunggu cerita itu dimulai.

***

Satu, dua, dan tiga nada terdengar. Nada keempat, panggilan itu terjawab. Panggilan video kedua malam ini.

“Assalamualaikum” kataku membuka percakapan.

“Kumcalam!” ia berteriak kencang penuh semangat dengan nada yang khas seolah Tuhan menciptakan nada itu hanya untuk digunakan olehnya belaka. “Nda mana, yah?” wajahnya berubah bingung, “beyum puyang?”

“Cilukba!”

Bundanya muncul dari balik punggung ayah. Mengagetkan ia yang sedang kebingungan dan ia tersenyum senang. “Eh, Nda udah puyang. Calam duyu, ih, bunda” katanya menasihati.

Kami tertawa bertiga.

Betapa bodohnya aku. Mengecilkan dunia yang Tuhan ciptakan sedemikian luas untuk digantikan ke dunia dalam layar lima koma lima inchi. Dunia yang menjadi tempat kami menumpahkan rindu setiap malam. Bertiga. Hanya kami: dede, ayah dan bunda.

Dan ia bercerita banyak kepada bunda. Tentang apa yang ia kenakan, mainan apa yang sudah ia rusak hari ini (dek, ayah belum gajian, jangan minta ganti dulu), ayam goreng yang ia habiskan dua ketika makan malam dan ditutup dengan demonstrasi tari baru. Lagi, kami tertawa melihatnya.

“Ayah, Nda. Puyang ih cepet”

“Ke cini, ke umah mama”

“Cepet, dede kangen”

Panggilan video itu terjeda. Istriku beranjak, membiarkan air mata membasahi pipinya. Sedangkan anak kecil itu, melalui layar, hanya melihat ayahnya yang sedang mencoba berpura-pura tegar.

Ayah juga rindu, dek. Melebihi rindu yang paling berat. Dan ayah tidak kuat.

Related Posts

Comments (2)

[…] saya bisa mendapatkan minimal satu buah mainan anak yang selalu ditagih oleh Si Jagoan setiap kali panggilan video dilakukan atau satu waist bag untuk membawa mainan saya atau dengan menambah sedikit, saya bisa […]

Comment to Maret Mantap | andhikamppp.com Cancel reply