Scroll Top

Aroma Karsa & Saya yang Dibuat Kerdil

Saya memang menyukai dunia baca. Tak terlalu lama semenjak saya mampu mengeja alfa beta. Namun, ketika itu, yang saya baca adalah cerita bergambar. Selain buku cetak pelajaran di sekolah, saya merasa tak sudi untuk berlama-lama menyelam di barisan kata yang panjang. Dewi Lestari, bersama karya-karyanya mengubah itu semua. Akar, bagian kedua dari Supernova, adalah barisan kata panjang pertama yang saya baca utuh. Tanpa Jeda. Dan saya jatuh cinta. Dengan semua yang ada di dalamnya, saya begitu tergila-gila. Imajinasi saya meliar. Dan saya berada dalam sensasi yang luar biasa. Sensasi yang tidak pernah saya dapatkan ketika saya membaca cerita yang disempitkan oleh gambar. Maaf, Son Goku. Saya memiliki idola lain dalam sosok Bodhi.

***

Di hampir lima belas tahun kemudian, di tahun ini, sensasi gila itu kembali saya rasakan. Oleh Aroma Karsa, karya Dee yang terbaru, gairah membaca yang sempat rusak parah kembali saya dapatkan. Tujuh ratus halaman lebih kurang saya lahap dalam waktu satu hari belaka. Jika menghapus jeda, hanya hitungan jam buku itu saya habiskan. Padahal sebelumnya, dalam satu-dua tahun terakhir, untuk buku dua ratus halaman saja saya butuh waktu dua-tiga minggu.

Siapa yang pernah membayangkan, dalam dunia tulis, sebuah bau bisa menjadi karya yang luar biasa memesona? Aroma Karsa memberikan itu semua.

Ia bercerita tentang Jati Wesi, seorang yang memiliki penciuman yang luar biasa. Di TPA Bantar Gebang, tempat ribuan ton sampah bertumpuk, Jati dijuluki Si Hidung Tikus. Untuk bertahan hidup, Ia memiliki beberapa pekerjaan sekaligus. Dari kesemuanya, satu yang paling Jati banggakan: peracik parfum. Sialnya, itu juga lah yang membawa Jati ke dalam konflik panjang dalam balutan cinta, obsesi dan dendam.

Aroma Karsa adalah sebuah bentuk penegasan bagaimana seharusnya karya dibuat. Ia bukan buku yang ditulis hanya dengan duduk manis di atas kursi belaka. Untuk melengkapinya, pasti lah butuh proses yang amat panjang. Dan dalam berbagai kesempatan, Dee pernah mengungkap waktu yang ia butuhkan untuk melakukan riset ketika menyiapkan dan menyusun Aroma Karsa. Jelas saja, Aroma Karsa menggabungkan banyak sekali sudut keilmuan. Arkeologi, Epigrafi, Mitologi, Olfaktory dan banyak hal lain. Di tambah, unsur-unsur kehidupan yang ada di dalamnya. Persahabatan, cinta, dendam, obsesi dan mimpi adalah sedikit di antaranya. Dengan duduk saja, kepingan-kepingan cerita, dengan segala yang ada di dalamnya, tidak akan menjadi sedemikian memesona. Aroma Karsa, sekali lagi, menawarkan segalanya.

Dalam banyak karyanya, Dee seringkali menyisipkan istilah-istilah yang tidak umum. Terlebih ketika tema yang dibahas bersahutan dengan satu bidang keilmuan. Karya-karya Dee seolah menjadi ensiklopedia tambahan untuk menggenapi teori-teori keilmuan. Itu untuk orang lain. Untuk saya pribadi, yang lingkar otaknya terbatas, membaca teori fisika dan metafisika yang ada di seri Ksatria Putri dan Bintang Jatuh, saya menyerah dan saya muntah. Di Aroma Karsa, istilah ‘asing’ itu tetap ada, juga tambahan banyak sekali teori. Tapi pemilihan kata yang Dee gunakan bisa membuat saya paham tanpa perlu membawa kamus tambahan sebagai alat bantu. Segala kerumitan dijelaskan dengan cara menghabiskan halaman demi halaman setelahnya.

Yang paling menyenangkan adalah bagaimana plot cerita bergerak. Aroma Karsa tidak memberikan cerita dengan satu alur yang lurus. Ia bergerak kesana kemari namun rapi dan berharmoni. Pengenalan tokoh dilakukan sedemikian cermat dan tepat. Raras Prayagung, Tanaya Suma, Arya, Khalil, Nurdin dan lainnya. Secara bergantian muncul tanpa sedikitpun merusak alur. Sebaliknya, ketika waktu dan tempat berpindah, kepingan baru muncul. Satu persatu, perlahan dan genap di akhir cerita. Dan bagaimana Dee bercerita? Tampaknya kita semua sepakat. Dee adalah salah satu pencerita terbaik yang pernah ada di negeri ini. Di Aroma Karsa, bukan sekali dua saya merasa ikut ke dalam petualangan Jati. Di hampir setiap adegan yang menjelaskan aroma, hidung saya ikut mengendus, meraba apa yang saya bisa.

Memang pada beberapa bagian ada yang membuat saya mengerenyitkan dahi. Seperti misal narasi berikut:

Ambrik meminumkan air dari dalam kendi kecil kepada kedua bayi itu secara bergantian dengan telaten. Sejak mereka meninggalkan Gunung Lawu, dua bayi itu minum air putih dari kendi yang sama. Ambrik bahkan membagi air susunya kepada bayi yang bukan anak kandungnya.

Aroma Karsa: Hal 407-408

Nantinya, dalam cerita, kedua bayi itu menjalin kasih. Dalam keyakinan yang saya amini atau dalam budaya sekalipun, dua manusia yang tumbuh dalam satu persusuan, seharusnya, tidak boleh memiliki hubungan dalam konotasi yang tidak perlu saya jelaskan. Di Aroma Karsa dogma tersebut ditabrak.

Jati Wesi, sebagai tokoh utama dalam Aroma Karsa, digambarkan sebagai seorang lelaki yang tangguh, teliti, telaten, teguh dan beberapa kebaikan yang lain. Tapi di beberapa bagian saya merasa janggal, bagaimana seorang yang tumbuh di lokasi pembuangan sampah memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa bahkan ketika berhadapan dengan orang yang, jika diukur dari pandangan manusia, memiliki derajat yang jauh lebih tinggi dari padanya.

Tapi ini fiksi, kejanggalan kecil itu, untuk saya, tidak cukup untuk merusak seluruh cerita. Benang merah tetap terjalin nyaris sempurna melalui satu kata: Aroma. Selain Akar dan Gelombang (Buku kelima dari serial Supernova), Aroma Karsa adalah cerita panjang terbaik yang pernah dibuat oleh Dee.

“Tekanan adalah kondisi yang bisa membentuk seseorang, Jati. Bukan cuma gizi. Mereka yang tertekan, mereka yang tertantang sejak awal kehidupannya, bisa keluar jadi pemenang. Seperti kamu.”

Aroma Karsa: Hal 504.

Saya yang dibuat Kerdil

Menulis? Entah kapan saya bermula. Namun, sepanjang yang saya ingat dan saya rasakan. Oleh hampir semua buku yang saya baca karakter tulis saya terbentuk. Disadari atau tidak, gaya tulis saya dipengaruhi dua-tiga penulis yang saya suka dan karyanya saya koleksi sempurna. Atau mungkin juga dengan bagaimana saya bercerita. Di awal proses, perubahan gaya tampak nyata. Di setiap saya berganti jilid cetak, apa yang saya baca seperti itu juga lah saya menulis. Membaca, meniru, atau memodifikasinya jika bisa, adalah satu-satunya cara yang saya bisa. Berhasil? Saya, sih, mulai menyukai perubahan gaya menulis saya. Tapi yang menilai, ya, kamu. Silakan, jika sedang selo luar biasa. Ambil secangkir kopi dan camilan. Lalu, bacalah tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Dari tulisan terlama, sampai yang terbaru. Apa yang kamu rasakan? Dan dengan siapa kamu akan membandingkan?

Namun, sebagai salah satu penulis yang paling saya sukai, Dewi Lestari berada di tempat yang tak terjangkau. Sekeras apa pun saya mencoba. Berusaha. Jangankan untuk meniru, apalagi memodifikasinya. Mendekati gaya menulis Dee? Tak sekalipun saya bisa. Alih-alih menjadi karya. Tulisan-tulisan itu menjadi sampah yang tak terbaca.

Di salah satu bagian di Aroma Karsa saya mengumpat.

Wajah itu sederhana, tapi memikat tatkala diperhatikan lebih cermat. Ada lapis pesona yang hanya terkupas bagi mereka yang sudi melihat dua kali. Magnet itu bersumber dari kedua mata yang selalu menyinarkan keingintahuan, selalu tampak berkilat, dan tengah menjalarinya dengan lentur.

Penjelajahan yang berjalan masing-masing itu tiba-tiba bertumbukan pada satu titik. Tatapan mereka bertemu telak dan tajam. Hawa yang menjenuhi ruang di antara mereka cuma membutuhkan satu percik untuk menjadi selendang api.

Mereka terpantik. Tercipta komunikasi kecepatan tinggi dari tubuh mereka masing-masing yang diangkut uap keringat dan kini bergumul di udara, menyampaikan pesan timbal balik, saling mengikat dan satu-satunya cara mengingkari ikatan itu adalah dengan bersandar pada logika Tak satu pun dari mereka tahu upaya untuk memadamkannya.

Aroma Karsa: Hal 407-408

Catatan: Narasi di atas adalah potongan dari Aroma Karsa. Saya mengubahnya sedikit, menyembunyikan nama lakon, agar tidak mengganggu imajinasi kamu ketika membacanya nanti.

Dari beberapa penggal kalimat di atas, kita bisa tahu apa yang terjadi antara dua tokoh yang saya samarkan tersebut. Sebuah proses menuju raga yang bersahutan. Sengaja saya mengambil potongan tersebut sebagai contoh pertama bagaimana luar biasanya Dee memainkan imajinasi. Ketika saya menulis cerita pendek Kupu-Kupu Malam saya mati-matian memainkan kata untuk menyajikan adegan binal dengan cara yang sopan. Saya gagal, apa yang ada di situ adalah yang terbaik yang bisa saya lakukan. Tapi Dee, dengan kalimat yang jauh lebih sederhana, menyajikannya dengan begitu menawan.

Saya arogan. Dan saya bangga dengan apa yang saya punya. Apa yang saya bisa. Namun, untuk urusan ini, Dee bersama karya-karyanya membuat saya begitu kerdil. Begitu kecil. Saya bukan apa-apa. Dan saya tidak bisa belum siap menjadi siapa-siapa. Aroma Karsa membuktikannya sekali lagi.

Di satu sisi alam bawah sadar, saya pernah bertanya kepada Tuhan. Kami lahir di tanggal yang sama, dua puluh Januari, tapi semua bakat dan kemampuan yang saya ingini, semua ada di Dewi Lestari.

Related Posts

Comments (1)

Jati Wesi memiliki kecerdasan, kekuatan, dan intelektual karena dia berasal dari alam Batara-Batari, yang dalam kepercayaan Jawa sudah alam setengah dewa.

Leave a comment