Scroll Top

Berhenti Menyukai Dilan

Di masa-masa sekolah waktu itu saya, oleh teman-teman, diperkenalkan kepada suatu band asal Bandung yang kerap membawakan lagu dengan lirik yang jenaka. Kopral Jono dan Cita-citaku adalah salah satu yang saya ingat. Lagam yang sederhana dengan kunci-kunci yang mudah membuat kami seringkali membawakan lagu-lagu tersebut di hampir setiap waktu kami berkumpul. The Panasdalam adalah nama band tersebut. Setelah lulus sekolah dan merantau, saya tak pernah lagi mendengarkan The Panasdalam. Sampai twitter muncul, saya dipertemukan kembali dengan salah satu personelnya. Pidi Baiq. Sang Imam Besar.

Namun di pertemuan kali ini bukan nada yang saya dengar. Twitter, yang notabene adalah kumpulan gambar dan aksara, malah memperlihatkan kepada saya sisi lain dari Sang Imam Besar. Selain piawai dalam bermusik, beliau juga tidak kalah hebat dalam menggurat kata. Cuitannya unik. Ia menggunakan bahasa baku dengan struktur kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa pada umumnya. Misalnya, seperti saat beliau menghaturkan doa: “Kita tahu harus bilang apa dalam doa sepagi ini. Ya, Allah, mudah-mudahan sederhana, tetapkanlah pikiran kami selalu melangit. Dan, dengan hati yang terus membumi”.

Maka dari itu ketika saya mengetahui beliau juga memiliki beberapa karya buku, saya merasa perlu untuk segera memilikinya. Serial Drunken adalah rangkaian cetak Sang Imam Besar yang saya miliki pertama kali. Membacanya, cukup untuk membuat saya tertawa geli. Ia adalah kumpulan cerita yang memperlihatkan keusilan Surayah, begitu biasa ia dipanggil, dalam setiap momen dalam kehidupannya. Misalnya lagi, ketika ia menghindari pertengkaran dengan istri akibat pulang telat, ia mengemukakan alasan yang sederhana di luar logika: berkelahi dengan monster.

Namun bukan serial Drunken karya Pidi yang paling fenomenal melainkan sebuah cerita cinta, yang semula ia tulis di laman blog pribadinya, kemudian menjadi sebuah buku. Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990.

Sumber gambar: @pidibaiq

Jika Anda punya kebiasaan menghabiskan waktu di toko buku pastilah Anda sering melihat Dilan di area penjualan terlaris di hampir seluruh toko buku di nusantara. Saya tidak memiliki datanya, namun saya cukup yakin Dilan juga mampu memengaruhi angka penjualan untuk buku Pidi yang lain. Sehingga, di tempat itu, seolah Pidi memesan khusus tempat untuk menjual seluruh karya miliknya.

Dilan bercerita tentang seorang anak SMA yang menyukai seorang gadis bernama Milea. Dari kalimat tersebut kita hanya menemukan satu buah cerita yang klise. Apa, sih, menariknya kisah cinta anak SMA? Di luar sana, entah berapa banyak buku yang memiliki tema serupa.

Bukan Pidi Baiq namanya jika membuat cerita biasa belaka. Olehnya, dari sudut pandang Milea, Dilan dihadirkan dalam maujud yang unik. Ia adalah seorang panglima tempur di salah satu geng motor ternama di kota Bandung. Dilan, meski tidak diceritakan detail,  adalah seorang lelaki yang gemar sekali bertarung, membuat ulah, jagoan namun romantis. Romantis yang tidak sekadar romantis. Lagi-lagi, Pidi Baiq memperlihatkan sisi lain dari sebuah romantisme. Dilan adalah seorang penggombal ulung. Tapi jangan harap Anda menemukan gombalan ala-ala yang basi. Sederhana, polos dan konyol. Namun mengenai sasaran tepat di pusatnya.

“Jangan rindu. Berat. Kau gak akan kuat. Biar aku saja” adalah salah satu kutipan Dilan yang kemudian menjadi fenomenal.

Paling menarik untuk saya ketika Dilan memberikan kado di hari ulang tahun Milea. Alih-alih coklat, bunga atau makan malam romantis. Ia malah memberikan sebuah TTS, yang sudah diisi penuh, dengan sebuah kalimat ampuh yang romantis sebagai pelengkap.

Sampai hari ini. Dilan telah memiliki tiga seri buku. Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990 sebagai pembuka. Dilanjutkan dengan Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1991 selanjutnya. Kedua buku tersebut menceritakan Dilan dari sudut pandang Milea. Dan terakhir berjudul Milea cerita lain dari sudut pandang Dilan.

Berhenti Menyukai Dilan

Kekuatan utama di buku ini adalah dialog yang sangat tidak umum. Bagaimana Dilan melakukan serangan kata saat mendekati Milea dihadirkan dengan luar biasa jenaka namun, sekali lagi, tetap mengena. Saat membaca Dilan pertama kali, saya cukup yakin jika kemudian hari akan banyak sekali orang yang akan mengikuti pola Dilan untuk melakukan pendekatan kepada wanita.

Saya membaca Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990 hanya dalam hitungan jam belaka. Secepat itu. Tidak perlu menggunakan banyak otak untuk mencerna isi buku Dilan. Secara umum, Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990 adalah buku yang menghibur dan menyenangkan. Cerita cinta yang di luar kebiasaan.

Namun, saya memutuskan berhenti menyukai Dilan ketika di seperempat awal Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1991. Alasannya sederhana: bosan.

Sudah saya sebutkan sebelumnya bahwa kekuatan utama di buku ini adalah dialog. Sayangnya, terlalu banyak sekali dialog di buku ini. Malah tidak jarang Anda akan menemukan satu halaman penuh yang berisi dialog belaka. Yang lebih menyebalkan, di satu halaman penuh dialog tersebut mayoritas di isi oleh “he he he” atau “ha ha ha”. Saya rasa, jika dialognya disederhanakan, tanpa mengurangi esensi tentu saja. Tiga buku Dilan dapat dibuat menjadi satu buku saja. Ah, iya. Jangan lupa bahwa ukuran huruf yang digunakan di buku Dilan lebih besar ketimbang ukuran pada umumnya di buku-buku lain.

Selain itu juga, yang paling utama, saya rasa Dilan adalah sebuah pengulangan dari serial Drunken. Maksud saya begini. Jika Anda juga pernah membaca serial Drunken, yang saya sebutkan di atas, pasti Anda akan menemukan banyak sekali kesamaan karakter tokoh di serial Drunken dengan Dilan. Yang membedakan hanyalah objek keusilan dari kedua tokoh tersebut. Jika tokoh di serial Drunken lebih umum. Menyentuh semua aspek dan lingkungan yang dihadapi oleh Si Tokoh. Dilan, hanya seputar Milea dan keluarganya belaka. Sisanya? Saya rasa sama.

Jika tokoh di serial Drunken itu adalah Pidi Baiq sendiri, maka dengan pola karakter yang sama, tidak sedikit orang yang menganggap Dilan adalah perwujudan Pidi Baiq di waktu muda.

Oleh karena itu, jika saya diizinkan berasumsi. Dilan yang dalam bukunya diceritakan sedemikian sempurna, setidaknya di mata Milea, tidak lain adalah cara Pidi Baiq ­me-narsis-kan diri. Salah? Tidak juga. Hak seorang penulis untuk menggambarkan atau menyombongkan dirinya dalam bentuk tokoh yang ia buat. Namun, jika di semua karya polanya sama. Ya, saya bosan.

Seandainya saya berhenti membaca Dilan di buku Dilan: dia adalah Dilanku tahun 1990 mungkin rasa bosan itu tidak akan muncul dan saya akan benar-benar menyukai Dilan. Namun, takdir berkata lain. Di buku kedua. Saya berhenti menyukai Dilan. Buku ketiga saya beli hanya untuk melengkapi koleksi.

Kekuatan Dilan adalah dialog. Seperti beberapa dialog di bawah ini. Tanpanya, Dilan-Milea hanya akan menjadi cerita cinta yang basi.

Catatan tambahan:

Sebetulnya ada aspek lain dari sisi cerita yang menurut saya, membuat Dilan akan basi jika tanpa dialog khas Pidi Baiq. Yaitu, peran Milea dalam berhubungan. Jika Dilan diceritakan begitu agresif, melakukan hampir segalanya untuk Milea. Saya tidak melihat hal-hal penting yang Milea lakukan untuk Dilan. Alasan yang remeh memang. Tapi saya percaya, kekuatan dalam sebuah hubungan, salah satunya, adalah peran masing-masing yang terlibat untuk saling menguatkan. Di sini, Milea benar-benar pasif, membiarkan Dilan menjadi pejuang dan Milea menjadi putri yang diperlakukan sedemikian mulia. Tapi, ya, ini fiksi. Semuanya boleh saja terjadi.

Oh, iya. Ulasan untuk film Dilan 1990 bisa Anda baca pada tautan: Dilan 1990: Lebih Menyenangkan dari Buku.

Related Posts

Comments (4)

Soal dialog atau gaya penulisan novel Dilan itu sempat saya sampaikan pada adik, yang kebetulan ngefans sama seri Dilan ini. Memang betul ya, Mas. Narasinya kurang. Tetapi mungkin hal itu juga yang bikin kids jaman now betah membacanya.

Aku baru baca buku 1 udah bosan lho Mas. Tapi gak afdol kalo ngomong sementara gak namatin buku. Aku ngerasa Milea emang putri banget sih

iya mas emang narasinya kurang
aku baca buku pertama aja udah gak dapat feel
sering kesulitan membayangkan siapa yang sedang bicara dan apa yang sedang terjadi di novel itu
padahal ketika baca novel saya selalu menunggu kalimat yang tajam serta deskripsi yang kuat.

Elsita F. Mokodompit

Saya suka Dilan sih
Mungkin karena saya perempuan… yang juga doyan digombalin haha

Leave a comment